Apakah Menyentuh Istri Membatalkan Wudhu? Ini Penjelasannya Dalam Tafsir Ma’alim At Tanzil
Salafusshalih.com – Pada umumnya, masyarakat kita percaya bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan dapat membatalkan wudu. Namun, acapkali hal ini dilakukan oleh sekelompok orang terutama bagi mereka yang sudah menikah. Toh juga sudah menjadi ḥalīlah, kenapa juga membatalkan wudu? Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa kulit yang bersentuhan tidak membatalkan wudu selama tidak ada nafsu diantara keduanya.
Meskipun problem di atas merupakan isu fikih, penulis berusaha mencari jawabannya melalui kitab tafsir. Sebab segala hukum dalam Islam selalu bersumber dari al-Qur`an. Mari kita lihat hukumnya melalui kitab Ma’ālim al-Tanzīl.
Sebelum masuk pada pembahasan fikih, alangkah baiknya untuk mengenal kitab ini terlebih dahulu.
Kitab Ma’ālim al-Tanzīl merupakan sebuah kitab Tafsir karya ulama Khurasan. Ulama tersebut memiliki nama Abū Muḥammad Ḥusayn al-Baghawi. Al-Bagahwi merupakan ulama bermazhab Syafii sesuai dengan lingkungan tempat ia hidup.
Al-Baghawi menggeluti banyak bidang keilmuan. Diantara keahliannya adalah hadis dan fikih. Sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya, fikih dan hadis menjadi unsur yang membangun kitab Ma’alīm al-Tanzīl. Hal ini dapat terlihat pada ayat-ayat fikih yang dijelaskan secara panjang dan tentunya mendetail.
Perlu diketahui, meskipun al-Baghawi menganut mazhab Syafii, dia bukanlah penganut yang fanatik. Hal ini terbukti ketika membuka tafsir al-Baghawi yang mencantumkan berbagai pendapat mazhab dengan perbedaan pandangan dalam hukum. Sebagaimana al-baghawi menjelaskan hukum menyentuh istri setelah berwudu. Melalui kalimat اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ pada Surah al-Nisā` ayat 43 yang berisi pembahasan mengenai sarat-sarat yang dilakukan sebelum salat.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا ٤٣ ( النساۤء/4: 43-43)
Kalimat اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ yang mengandung ikhtilāf hukum dikalangan ulama. Ikhtilāf tersebut adalah kontroversi antara batal atau tidaknya wudu saat menyentuh wanita yang sudah menjadi istri. Perdebatan tersebut dikarenakan seseorang yang akan melaksanakan salat diwajibkan untuk berwudu.
Menurut jumhur ulama fikih, jika seorang laki-laki melakukan sesuatu di badannya pada badan perempuan dan tidak ada penghalang antara keduanya, maka wudu mereka batal. Pendapat tersebut adalah riwayat Ibn Mas’ūd dan Ibn ‘Umar yang diikuti oleh al-Zuhri, al-Auzā’i, dan al-Syafii.
Menurut Mālik, Laith bin Sa’d, Aḥmad, dan Isḥaq, jika bersentuhan dilakukan dengan syahwat maka merusak sesuci, sedangkan jika tidak dengan syahwat maka tidak merusaknya. Pendapat lainnya mengatakan bahwa bersentuhan untuk menjaga tidak membatalkan wudu, hal tersebut menurut Ibn ‘Abbās yang didikuti oleh Ḥasan dan al-Thauri. Menurut Abū Ḥanifah tidak membatalkan kecuali sampai intisyār.
Hukum yang mengatakan tidak perlu berwudu setelah bersentuhan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada dua riwyat ‘Ᾱ`isyah istri Rasulullah:
- كنت انام في بين يدي رسول الله ص ورجلاي في قبلته فاذا سجد غمزني فقبضت رجلي و اذا قام بسطهما, قالت يومئذ ليس فيها مصابيح.
- كنت نائمة الى جنب رسول الله ص ففقدته من اليل قلمسته بيدي فوضعت يدي على قدميه وهو ساجد وهو يقول: اعوذ برضاك من سخطك وبمغافاتك من غقوبتك وبك منك لا احصي ثناء عليك انت كما اثنيت على نفسك.
Namun, Al-Syafii memiliki pendapat yang berbeda. Ia mengungkapkan bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudu selama perempuan tersebut masuk pada kategori mahram atau ajnābi tetapi yang masih keci. Hal itu disebabkan karena tidak disertai dengan syahwat seperti halnya menyentuh laki-laki.
Terdapat dua qaul yang berbeda mengenai maslaah ini: pertama, rusak wudu keduanya karena merasakan kenikmatan seperti wajibnya mandi saat keduanya jimak, kedua, tidak merusak wudu dengan hadis riwayat ‘Ᾱ`isyah yang mengatakan “Aku meletakkan tanganku diatas kakinya (Rasul) saat dia (Rasul) sujud”. Jika bersentuhan pada rambut perempuan, gigi, dan kuku tidak membatalkan wudu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa al-Baghawi menyajikan dua hukum yang berbeda. Namun, sebagaimana telah dicantumkan pada tafsiran al-Baghawi pembaca dapat memilih hukum tersebut sesuai dengan pendapat mazhab yang dianut. Islam adalah agama yang indah dan tidak mempersulit hidup kita, wallāhu a’lam.
Referensi:
Al-Asnawiy. Tabaqāt al-Mufassirīn. Madinah: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hikām, 1998.
Muḥammad Al-Ḥusayn bin Mas’ūd al-Baghawi. Tafsīr al-Baghawi “Ma’ālim Al-Tanzīl”. Riyāḍ: Dar Al-ṭayyibah, 1409 H.
(Aisyah)