Hukum Nikah Secara Paksa
Salafusshalih.com – Selama ini, ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fikih Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pandangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini ialah ayah atau kakeknya. Sehingga menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman yang dikenal sebagai hak ijbar.
Dalam bahasa Arab terdapat beberapa kata yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan paksaan/memaksa, atau yang memiliki konotasi sama. Antara lain ialah kata ikrah dan taklif. Al-Qur’an, misalnya, menyebutkan:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam agama…”. (QS. Al-Baqarah: 256)
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“…. kecuali orang dipaksa, sedangkan hatinya masih beriman….”. (QS. An-Nahl: 106)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak memaksa (beban) kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya…”. (QS. Al-Baqarah: 286)
Kata ketiga ialah ijbar. Dalam kamus Al-Munawwir misalnya dikatakan: ajbarahu ‘ala al-amr, berarti mewajibkan, memaksa agar mengerjakan.
Pada ketiga kata bahasa Arab tersebut, sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam kajian ini. Ikrah adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, dengan suatu ancaman yang membahayakan jiwa atau tubuhnya, tanpa yang bersangkutan melawan. Sementara, bagi orang yang dipaksa, perbuatan tersebut sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nurani atau pikrannya. (Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syar’i, DKI, j. VII, h. 175-176)
Taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Akan tetapi, pekerjaan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari penerimaannya atas suatu keyakinan. Jadi, pekerjaan tersebut sebenarnya merupakan suatu kewajiban bagi orang tersebut (mukallaf), karena ia telah secara sadar menjatuhkan pilihan untuk mengikuti atau mengakui suatu keyakinan. Ini juga sama dengan kewajiban melaksanakan suatu aturan atau undang-undang negara, organisasi, dan sebagainya.
Adapun ijbar adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab. Istilah ijbar dikenal dalam fikih, kaitannya soal pekawinan. Dalam fikih mazhab Syafi’i, orang yang berhak mengawinkan putrinya –yakni wali mujbir– meskipun tanpa persetujuan dari perempuan yang bersangkutan ialah ayah atau (kalau tidak ada) kakek, dan perkawinan ini dipandang sah secara hukum. Hak ijbar ini dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab ayah terhadap anaknya, karena keadaan sang anak yang dianggap belum/tidak memiliki kemampuan atau lemah untuk bertindak sendiri. (al-Fiqh al-Islami, DKI, j. IX, h. 6691)
Dari segi akibat hukum, maka antara ikrah dan taklif memiliki perbedaan yang berlawanan. Memaksa orang lain secara ikrah dapat melanggar HAM. Jika perbuatan yang dipaksakan terlaksana maka perbuatan tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, mengutip pendapat para ulama mazhab fikih, mengatakan:
“Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua. Jika salah satunya dipaksa secara ikrah dengan suatu ancaman, misalnya membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad perkawinan tersebut menjadi fasad (rusak)” (al-Fiqh al-Islami, DKI, j. IX, h. 6567)
Sebaliknya, memaksa orang lain untuk mengerjakan sesuatu secara taklif justru diganjar pahala karena masuk dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar. Sedangkan penolakan atas paksaan ini merupakan pelanggaran hukum, pelakunya berdosa atau harus dihukum.
Jadi, sekali lagi perlu dikatakan bahwa ijbar bukanlah suatu tindakan pemaksaan kehendak sang wali dalam menentukan calon suami. Dengan demikian, maka kalimat “tanpa izinnya”, hendaknya diartikan sebagai “tanpa harus ada pernyataan secara eksplisit darinya (perempuan)”. Semoga bermanfaat!
(As’ad Humam)