Ulul Amri

Kisah Ibrahim bin Adham, Mantan Raja yang Jadi Buruh Kebun Delima

Salafusshalih.com – Syekh Ibrahim bin Adham adalah seorang sufi terkemuka yang sebelumnya meninggalkan kemewahan istana. Usai tak lagi menjabat raja, Ibrahim bin Adham terus memperkuat dimensi spiritualnya dan menjalani hidup layaknya rakyat biasa, bahkan ia pernah menjadi seorang pekerja di kebun delima.

Yahya bin Aswad Al-Kilabi, seorang penduduk Asqalan, bercerita bahwa Ibrahim bin Adham  pernah bekerja menjadi tukang kebunnya selama satu tahun. Karena tidak tahu Ibrahim bin Adham seorang ulama besar, Al-Kilabi memperlakukan Ibrahim seperti pada tukang kebun pada umumnya.

Suatu hari, kata Al-Kilabi, teman-temannya datang bertamu dan mengunjungi kebun delima miliknya. Ia kemudian meminta Ibrahim untuk memetik buah delima dan disuguhkan kepada tamunya.

“Beri kami buah delima yang manis,” kata Al-Kilabi kepada Ibrahim bin Adham, sebagaimana diungkap Imam Ibnu Jauzi dalam kitab Uyunul Hikayat. (Ibnu Jauzi, Uyunul Hikayat, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], halaman 71).

Tidak lama kemudian Ibrahim datang membawakan buah delima yang ternyata rasanya tidak manis. Al-Kilabi kemudian komplain dan bertanya kepada Ibrahim bin Adham.

“Kamu sudah setahun berada di kebun ini, tetapi kenapa tidak bisa membedakan buah delima manis dan asam?” tanya Al-Kilabi.

Al-Kilabi kemudian menjelaskan ciri-ciri dan karakter buah delima yang rasanya manis. Pada saat yang sama, ia pun menyalahkan Ibrahim bin Adham yang tidak mengetahui buah delima manis.

Beberapa saat kemudian, seorang yang tidak dikenal mendatangi Al-Kilabi. Ia menanyakan keberadaan Ibrahim bin Adham. Saat keduanya bertemu, Al-Kilabi dibuat heran karena tamu itu mencium tangan Ibrahim bin Adham dan memuliakannya.

 

Sedikit ada perbedaan, Fariduddin Ath-Thar dalam kitab Tadzkiratul Auliya mengungkapkan jawaban Ibrahim bin Adham saat dikomplain majikannya, sebagaimana berikut:

“Aku ini penjaga kebun, (tugasku) bukan memakan buah delima hingga tahu mana yang masam dan mana yang masak.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya, [Damaskus: Darul Maktabi, 2009], halaman 146)

Dari kisah ini, ada sejumlah hikmah yang bisa dipetik pelajarannya. Di antaranya adalah tentang pentingnya memiliki semangat kerja karena bekerja termasuk ibadah. Syekh Ibrahim bin Adham, seorang ulama sufi yang dikenal zuhud pun masih tetap bekerja sebagai tukang kebun.

Rasulullah menegaskan bahwa lebih baik bekerja daripada meminta-minta pada orang lain. Beliau bersabda:


لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Artinya: “Kalau salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali lalu pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi atau pun tidak.” (HR. Bukhari)

Selain itu, saat bekerja diupayakan untuk selalu menjaga diri dari perbuatan yang bisa menimbulkan mudarat, baik untuk diri sendiri maupun keluarga, misalnya dengan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.

 

Umat Islam diharuskan untuk menjaga diri dari makan makanan yang belum jelas kehalalannya. Makanan akan mempengaruhi terhadap hati, pikiran, dan perilaku seseorang. Tubuh yang banyak diisi dengan makanan halal akan mudah untuk diajak beribadah kepada Allah. Sebaliknya, tubuh yang banyak diisi dengan makanan syubhat apalagi haram akan mudah untuk bermaksiat kepada-Nya. Wallahu a‘lam.

(Aiz Luthfi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button