Kronologi Perbedaan Ceramah Gus Miftah dan Khalid Basalamah
Salafusshalih.com. Setelah beberapa hari jagat media sosial diributkan dengan ceramah Khalid Basalamah, kini disusul dengan pertunjukan wayang Gus Miftah yang di dalamnya terdapat wayang mirip Khalid Basalamah yang dihajar habis-habisan oleh wayang Prabu Bolodewo. Pertunjukan yang berlangsung di Pesantren Gus Miftah ini menuai kontroversi di tengah jagat media sosial. Hampir netizen tidak setuju dengan cara Gus Miftah yang mengkritik ceramah Khalid Basalamah.
Alasan sederhana ketidaksetujuan warganet tersebut adalah cara kritik Gus Miftah yang terkesan mempermalukan Khalid Basalamah di depan publik, bukan menyadarkannya. Apalagi, kemarin Khalid Basalamah sudah meminta maaf atas kekeliruan isi ceramahnya di depan publik. Maksudnya, kontroversi ceramah Khalid Basalamah sudah diklarifikasi dan direvisi, bahwa wayang merupakan budaya yang dapat diterima di Indonesia dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Melihat kedua kasus yang kurang elok tersebut, baik isi ceramah Khalid Basalamah maupun kritik Gus Miftah, kita tidak perlu mempersoalkannya, sehingga berbuntut panjang yang berakibat terjadinya perpecahan antar sesama. Kita cukup memaafkan kesalahan kedua dai tersebut. Memaafkan termasuk cara terbaik yang perlu kita lakukan sebagai seorang muslim. Karena, manusia itu tidak lepas dari salah dan dosa.
Khalid Basalamah mungkin keseleo lidah dulu ketika menjawab pertanyaan jamaah tentang wayang. Begitu pula, Gus Miftah mungkin terlalu baper menanggapi isi ceramah Khalid Basalamah tersebut. Keseleo lidah dan baper adalah dua sifat manusia yang sulit dihindari. Khalid Basalamah keseleo lidah disebabkan cara berpikirnya yang cenderung tekstualis. Sementara, Gus Miftah cenderung baper karena dia termasuk penceramah yang kontekstualis.
Cara berpikir Khalid Basalamah lebih mengedepankan Al-Qur’an dan hadis dan menghindari perkembangan budaya. Penceramah kondang ini berpikir bahwa kedua kitab ini memiliki kebenaran yang mutlak dan tak terbantahkan. Berbeda dengan budaya yang diciptakan oleh manusia yang belum tentu benar. Cara berpikir seperti ini adalah menjadikan Islam sebagai budaya.
Hal ini berbeda dengan Gus Miftah yang cenderung kontekstualis dan lebih terbuka terhadap perkembangan budaya. Sehingga, cara berpikir Gus Miftah ini adalah menghadirkan budaya ke dalam Islam selagi budaya ini tidak bertentangan dengan ajaran agama. Baik budaya tersebut berasal dari orang Islam sendiri maupun dari luar Islam.
Khalid Basalamah dan Gus Miftah adalah penceramah kondang yang memiliki cara pandang yang berbeda dalam memahami teks agama. Dalam ranah penafsiran, Khalid Basalamah termasuk penceramah yang mengidolakan penafsiran bi al-ma’tsur atau bi ar-riwayah. Gaya penafsiran ini hanya bertumpu pada sumber Al-Qur’an dan hadis. Banyak model penafsiran semacam ini, yaitu tafsir ath-Thabary, Ibnu Katsir, dan lain-lain.
Gaya penafsiran semacam itu tidak keliru. Hanya saja, kurang berkembang. Karena, teks Al-Qur’an dan hadis dihidangkan pada beberapa abad silam. Sehingga, untuk terus menghadirkan pesan kedua kitab ini terus membumi, perlu menghadirkan tafsir bi ar-ra’yi yang digunakan oleh Gus Miftah dalam dakwahnya. Gaya tafsir Gus Miftah ini lebih menghadirkan ijtihad atau olah pikir dalam menafsirkan teks agama, sehingga ketika melihat budaya wayang masuk ke dalam agama tidak langsung diklaim haram.
Penafsiran bi ar-ra’yi yang digunakan Gus Miftah sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Banyak ulama Nusantara yang lebih dulu terjun di dalamnya. Sebut saja, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, dan masih banyak lainnya.
Penafsiran bi ar-ra’yi lebih banyak digandrungi dibanding penafsiran bi al-ma’tsur karena tafsir bi ar-ra’yi lebih membumi. Karena, gaya penafsiran bi ar-ra’yi bukan hanya menghadirkan sumber Al-Qur’an, tetapi melibatkan peran budaya. Sehingga, penafsiran bi ar-ra’yi terlihat lebih menarik dan kontekstual.
Sebagai penutup, kita tidak perlu memperpanjang perbedaan pemikiran antara dua penceramah kondang Khalid Basalamah dan Gus Miftah. Keduanya memiliki jalan yang bisa jadi kedua jalan ini sama-sama benar. Bukankah untuk menuju satu tujuan tidak harus melawati satu jalan? Bukankah masih banyak jalan lain yang dapat mengantarkan ke tujuan yang dimaksud?[] Shallallah ala Muhammad.
(Khalilullah)