Melihat Konteks Tafsir Ayat Perang QS At Taubah (9) : 29 Dalam Tafsir Buya Hamka
Salafusshalih.com – Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan yang lalu Konsep Rahmah lil ‘Alamin dalam al-Qur’an dalam platform media yang sama, bahwa salah satu penyebab dari gerakan radikalisme dan juga aksi-aksi kekerasan atas nama agama adalah ketidakmampuan masyarakat dalam memahami ajaran agama yang dianutnya, sehingga uraian-uraian kedamaian dalam kitab suci cenderung luput dari pemahamannya. Namun, ketidakmampuan semacam ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena dalam konteks keberagaman, al-Qur’an bersikap ambivalensi. Di satu sisi ia memerintahkan untuk berperang dan di sisi lain cenderung menghidupkan ajaran-ajaran kedamaian. Berangkat dari sikap ambivalensi al-Qur’an di atas, tulisan ini akan melihat konteks Qs al-Taubah [9]: 29—yang berisi tentang perintah memerangi ahl al-kitab—dalam Tafsir Buya Hamka, Tafsir al-Azhar.
Pemilihan Tafsir Buya Hamka sebagai titik berangkat dalam memaknai Qs. al-Taubah [9]: 29, tidak terlepas dari pembahasannya yang lebih mendalam terkait konteks ayat yang dibahas. Di samping itu, Hamka juga acap kali berusaha menghadirkan penafsiran yang usefull bagi masyarakat Indonesia dalam kitab tafsirnya. Ia misalnya menafsirkan ayat sebelumnya— Qs al-Taubah [9]: 28 yang menceritakan tentang larangan orang musyrik memasuki Masjidil Haram karena mereka najis—dengan menyebutkan bahwa kenajisan mereka disebabkan mereka kotor dan tidak memahami konsep thaharah. Berangkat dari titik tersebut, Hamka mengkritik umat Muslim yang tidak memperhatikan kebersihan masjid, padahal salah satu ajaran utama Islam adalah thaharah.
Melihat konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka
Mula-mula Buya Hamka memberikan spoiler kepada pembaca bahwa pada dasarnya ayat ini tidak bermaksud untuk menimbulkan perang dengan ahl al-kitab dan begitu pun sampai sekarang, sehingga melihat konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 merupakan suatu keniscayaan. Pada konteks ini, Buya Hamka menjelaskan secara panjang lebar mengenai hubungan Yahudi-Islam dan Nasrani-Islam—terutama ketika Nabi telah bermukim di Madinah, mengingat persinggungan antar ketiga agama tersebut banyak terjadi pasca hijrah Nabi—, sebelum masuk pada penjabaran asbabun nuzul ayat tersebut.
Buya Hamka menjelaskan bahwa ketika Nabi hijrah ke Madinah, yang pertama kali dilakukannya adalah menjalin hubungan baik dengan orang Yahudi dan Nasrani dengan mengadakan perjanjian-perjanjian. Tidak bertahan lama, perjanjian yang dibuat dilanggar oleh orang Yahudi yang mengharuskan Nabi untuk bertindak tegas dengan mengusir Bani Nadhir dari Madinah dan menghukum berat Bani Quraizhah yang berkhianat dan bersekutu dengan orang Quraisy yang melahirkan dua peperangan, yaitu Perang al-Ahzab dan Perang Khaibar.
Adapun umat Nasrani pada masa itu, masih berhubungan baik dengan umat Islam. Hubungan yang baik inilah yang membuat Nabi berani menyuruh sahabat-sahabatnya hijrah ke negeri Habsyi dari Makkah dan bahkan Raja Najasyi (Negus) Habsyi sendiri dengan segala kerelaan hati memeluk Islam. Sampai-sampai hubungan mesra ini diabadikan al-Qur’an (Qs. al-Ma’idah [5]: 83-85). Adapun jikalau surat-surat Nabi yang berisikan tentang ajakan masuk Islam ditolak oleh Raja Rum di Suria (Raja Heraclius) maupun Raja Nasrani di Mesir (raja Muqauqis), hubungan di antara mereka tetap berjalan dengan baik.
Sebagai agama yang baru, Islam yang dibawa oleh Nabi berkembang sangat pesat, sehingga membuat imperialisme Rum di Arab Utara ini merasa tidak senang akan munculnya kekuatan baru di tanah Arab, yang kian lama kian besar. Sikap Rum di atas lumrah terjadi, mengingat bangsa Rum sebagai bangsa penjajah telah menguasai negeri itu selama 600 tahun. Terlebih lagi suku-suku di Arab Utara banyak yang memeluk agama Nasrani. Akibatnya, di Daumatul Jandal—wilayah perbatasan yang dikuasai Rum—kabilah-kabilah Arab Nasrani telah menyamun kafilah-kafilah Arab yang dibawah perlindungan Nabi. Maka pada bulan Rabi’ul Awwal tahun kelima Hijriah, Nabi mengirim seribu tantara Muslim di bawah pimpinan Nabi sendiri.
Pada tahap ini, hubungan Islam dengan Kerajaan Rum sebagai penganut agama Nasrani sudah mulai keruh. Hal ini diperparah ketika Nabi mengirim surat seruan untuk memeluk Islam ke Raja al-Harist bin Abu Syamr di Damaskus dan Raja al-Harits bin Umair al-Azdi di Basra—yang keduanya di bawah lindungan Kerajaan Rum—melempar surat Nabi, bahkan Raja di Basra membunuh utusan Nabi yang membawa surat tersebut. Perang pun tak dapat dielakkan, dan melahirkan dua peperangan yaitu, Perang Mu’tah dan Dzatis Salasil.
Setelah menjelaskan kisah di atas, Buya Hamka melanjutkan bahwa ayat ini turun mengenai perang lanjutan dari beberapa peperangan yang telah dijelaskan di atas, yang dikenal dengan Perang Tabuk. Pada konteks ini, segala upaya telah dilakukan, namun peperangan antara Islam dan Romawi (Nasrani) tidak dapat dielakkan lagi.
Refleksi
Berangkat dari konteks di atas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, dalam peperangan yang terjadi antar ketiga agama di atas, Islam memiliki posisi sebagai defender dan bukan attacker. Perintah perang yang terdapat dalam al-Qur’an timbul sebagai respon atas sikap lawan kaum Muslim—dimana dalam tafsir Buya Hamka disebutkan bahwa orang Yahudi melanggar perjanjiannya dan juga Nasrani menunjukkan permusuhannya kepada Islam—. Hal ini diperkuat dengan sikap adem ayem yang ditunjukkan Islam sebelum munculnya sikap permusuhan yang ditunjukkan Nasrani.
Kedua, kondisi sosial pada masa Nabi dimana eksistensi suatu kaum dipertahankan melalui peperangan, tampaknya tidak relevan lagi dengan kondisi keindonesiaan saat ini dimana umat agama yang berbeda hidup berdampingan. Jadi pada masa Arab klasik salah satu cara yang dilakukan oleh salah satu kelompok atau kabilah, terutama kabilah-kabilah kecil dalam mempertahankan eksistensinya atau melindungi kaumnya adalah dengan peperangan. Berbeda dengan sekarang yang di mana telah terdapat aturan-aturan yang dapat melindungi kelompok-kelompok masyarakat. Terlebih lagi peperangan baru diperintahkan ketika tidak ada jalan lain lagi atau berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan suatu persoalan. Wallahu a’lam.
(A. Muh. Azka Fazaka)