Menolak Pengkafiran Semangat Toleransi di Tengah Perayaan Natal
Salafusshalih.com. Setiap menjelang Hari Natal 25 Desember, media sosial dibuat bising dengan pro-kontra pengucapan hari besar orang Kristen ini. Ada yang berpendapat, bahwa mengucapkan “Selamat Hari Natal!” diharamkan bagi orang Islam. Sementara, ada yang lain yang menyebutkan, pengucapan tersebut boleh-boleh saja. Salah seorang ulama Nusantara yang membolehkan adalah ulama tafsir Prof. Quraish Shihab.
Orang yang berpendapat bahwa mengucapkan “Selamat Natal” haram karena didasarkan pada sebuah hadis: “Man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum. Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Mengucapkan “Selamat Natal” bagi orang Islam, menurut ulama tersebut, termasuk perbuatan yang menyerupai orang Kristen.
Sebaliknya, ulama yang membolehkan mengucapkan “Selamat Natal” berdasar pada surah Maryam ayat 33: “Wassalam alayya yawma ulidtu. Kesejahteraan atas aku pada hari aku dilahirkannya.” Kalimat ini termasuk doa atas kelahiran Nabi Isa yang di dalam agama Kristen disebut dengan Yesus. Mendoakan Nabi Isa tentu tidak salah alias dapat dibenarkan.
Terlepas pro-kontra tersebut, ada satu hal tetap kita ingat, yaitu toleransi. Toleransi tidak mengharuskan seseorang beragama secara plural. Toleransi cukup dengan ada saling menghormati antar agama. Tidak saling menyalahkan. Bahkan, tidak saling merasa paling benar. Menghormati keyakinan orang Kristen, salah satunya, bisa diungkapkan dengan mengucapkan Selamat Natal jika memiliki kerabat dan sahabat yang beragama Kristen.
Yakinlah, bahwa mengucapkan “Selamat Natal” tidak bakal mengubah keimanan seseorang dari yang mulanya muslim menjadi Kristen. Sekali lagi tidak begitu. Sebab, keimanan seseorang tidak ukur dari ucapannya, tetapi dilihat dari keyakinan hatinya. Bukankah dulu ada seorang sahabat yang pura-pura murtad di hadapan orang kafir, kemudian Nabi tidak mempersoalkannya? Artinya, tidak jadi masalah alias boleh-boleh saja.
Saya khawatir bahwa orang yang mengharamkan mengucapkan Selamat Natal terjebak dalam paham radikal, sehingga ia tertutup melihat ragam perbedaan yang terbentang di Indonesia. Ia dikhawatirkan terjebak dengan ketertutupan berpikir, sehingga merasa agama yang dipeluknya (Islam) termasuk agama yang paling benar dan menutup diri mengakui kebenaran agama lain. Jika kekhawatiran saya ini benar, sungguh sangat disayanginya bahwa ia benar-benar berada dalam kesesatan berpikir.
Pikiran yang sesat (tertutup) membahayakan seseorang. Ia bakal digiring pada sebuah sikap takfir (kafir-mengkafirkan) orang yang tidak seagama. Non-muslim, baginya, adalah kafir. Kemudian, saking tertutupnya mereka terdorong melakukan aksi-aksi terorisme. Jika mereka sudah berada dalam posisi ini, maka toleransi mana lagi yang mereka semai? Jelas, tidak ada sedikitpun.
Ketertutupan berpikir ini jelas mendesain pikiran sempit. Pertemanan dibatasi. Dilarang berteman dengan orang non-muslim. Bertetangga dibatasi. Diharamkan bertetangga dengan non-muslim. Dan seterusnya. Orang sempit pikirannya hanya mencita-citakan segala hal harus Islam. Termasuk, ia bersikeras menggantikan sistem Negara Indonesia dari republik-demokratis menjadi sistem Khilafah. Khilafah dianggapnya sudah Islam.
Saking ambisiusnya, kelompok radikal tersebut berargumen bahwa Khilafah adalah bagian dari syariat Islam. Sehingga, negara yang tidak menggunakan sistem Khilafah dianggap sebagai negara kafir, termasuk Indonesia. Anehnya, mereka masih betah tinggal di negara yang diklaim kafir ini. Seharusnya, jika mereka tidak suka dengan sistem yang berlaku di suatu negara, maka mereka segera hengkang. Justru dengan cara mereka betah di negera tersebut kesannya mereka masih lemah.
Sebagai penutup, menyambut Hari Natal tidak dibatasi dengan pemeluk agama Kristen saja. Semua pemeluk agama, termasuk muslim, diperbolehkan selama mereka tidak beriman atas keyakinan mereka. Menyambut Natal termasuk sikap toleransi yang penting dijaga di negara pluralis ini. Saya ucapkan: “Selamat Hari Natal!”[] Shallallah ala Muhammad.
(Khalilullah)