Mujadalah

Mungkinkah Dunia Pesantren Berkolaborasi Dengan Salafi-Wahabi?

Salafusshalih.com. Inklusivisme atau keterbukaan dalam berpikir mulai dipertanyakan di tengah-tengah pesantren. Pesantren yang diharapkan sebagai benteng Indonesia ternyata tertutup dalam melihat persoalan. Dibuktikan, pesantren anti-kritik dan fanatik.

Saya punya cerita begini. Kemarin saya menyampaikan statemen bahwa pesantren menjadi sarang predator seksual. Statemen sesungguhnya bukan bermaksud merendahkan pesantren. Tapi, saya ingin membunyikan alarm bahwa pesantren sekarang sedang dalam kondisi tidak baik.

Pesantren sekarang sedang dijadikan jembatan yang menghubungkan predator seksual ke santri putri untuk memuaskan hawa nafsunya. Tak heran, jika kasus pelecehan seksual mulai marak terjadi di lingkungan pesantren, bahkan pelakunya pimpinan pesantrennya sendiri. Sebut saja, kasus pelecehan seksual yang dilakukan pimpinan pesantren di Bandung Herry Wirawan terhadap belasan, bahkan puluhan santri putri. Naudzubillah!

Perbuatan serupa bukan hanya dilakukan seorang Herry saja. Masih banyak deretan pimpinan pesantren yang melakukan perbuatan biadab tersebut. Untuk lebih jelasnya, saya sudah kutipkan deretan pelakunya di tulisan opini saya berjudul “Pelecehan Seksual dan Masa Depan Pesantren“.

Membaca kritik saya terhadap pesantren, banyak alumni lembaga keagamaan tertua ini yang menyerang saya. Dituduhlah saya menjatuhkan martabat pesantren, saya bagaikan kacang lupa kulitnya karena saya sebagai lulusan pesantren lupa akan jasa yang diterima, dan masih banyak lainnya.

Membaca kritik balik lulusan pesantren yang tidak sependapat, membuat saya pesimis pesantren akan selamat dari pelaku pelecehan seksual. Saya melihat, anti-kritik termasuk biang timbulnya kehancuran. Karena, ia merasa paling benar, paling suci, sehingga tidak pernah keliru.

Padahal, seluruh makhluk masih memiliki banyak kekurangan tanpa terkecuali. Kekurangan ini dapat disempurnakan dengan kritik tersebut. Karena, kritik itu bagaikan obat yang menyehatkan dan pupuk yang menyuburkan.

Pesantren yang tertutup jelas bertentangan dengan prinsip Negara Indonesia. Di negara ini terbentang beragam perbedaan, mulai perbedaan ideologi hingga perbedaan agama. Ketertutupan ini pasti memandang perbedaan ini sebagai petaka, bukan rahmat. Disebutkan dalam kalimat bijak, “Al-Ikhtilaf rahmah. Perbedaan itu rahmat.”

Karena anti-kritik, pesantren berani menyudutkan Kelompok Syiah. Herry dituding oleh lulusan pesantren sebagai pengikut Syiah yang memperbolehkan nikah muth’ah atau nikah kontrak. Sayangnya, tuduhan itu keliru, justru Herry itu anti Syiah. Ada informasi yang menyebutkan, bahwa Herry termasuk kelompok Salafi seperti ISIS yang memperbolehkan milkul yamin atau seks non-marital.

Tidak dibenarkan Syiah disudutkan, padahal kelompok ini bukanlah kelompok radikal. Tidak seperti kelompok salafi semisal Wahabi, ISIS, HTI, dan kelompok teroris. Islam versi Syiah Ja’fariyah dinilai moderat dalam berpikir, semisal pemikiran tokoh Syiah Thabathaba’i yang sering gagasannya dikutip dalam karya tafsir Prof. Quraish Shihab.

Berbeda, Islam salafi termasuk gaya beragama yang persis dengan kelompok Khawarij. Kelompok ini yang telah menghalalkan darah Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib beserta pengikut-pengikutnya. Khawarij berdalih, Ali telah kafir, karena ia memutuskan hukum di luar hukum Allah.

Doktrin Khawarij terus berkembang hingga sekarang. Lihatlah paham keagamaan yang dibangun oleh HTI yang memaksakan tegaknya Khilafah di Negara Indonesia. Sebab, sistem Khilafah dianggap mereka sebagai satu-satunya sistem yang paling benar dan diklaim sebagai syariat. Sungguh keterlaluan!

Pesantren yang dipercaya sebagai benteng NKRI hendaknya tidak terpengaruh gaya berpikir kelompok Salafi yang cenderung tertutup. Jika pesantren tidak berhati-hati, maka tunggu saatnya kehancuran karena digiring menjadi pengikutnya.[] Shallallah ala Muhammad.

(Khalilullah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button