Hubbul Wathan

Politisasi Agama; Ancaman Bagi Demokrasi di Indonesia

Salafusshalih.com-Tentu kita masih ingat bagaimana Nietzsche mengatakan bahwa “Tuhan sudah mati”. Kata ini barangkali menjadi kesimpulan yang sangat tepat bagi orang-orang yang menggunakan dalil agama sebagai pemuas nafsu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat dalam pemilihan.

Biasanya dalil-dalil tersebut digunakan oleh para politisi, bahkan pendukung serta simpatisan untuk menunjukkan superioritas dalam melihat perbedaan. Kendati demikian, disamping fenomena tak terbantahkan tersebut, banyak sekali narasi-narasi agama yang digunakan oleh beberapa kelompok ketika melihat suatu permasalahan. Hal itu kemudian mengakibatkan perpecahan serta menimbulkan keresahan antar kelompok.

Politisasi agama ini juga terjadi dengan adanya ruang demokrasi yang dimiliki oleh negara. Semakin menguatnya politisasi ini tidak lain bisa dilihat bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh para politisi, kelompok ormas dalam melakukan segala upaya untuk mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, politisasi agama tidak hanya dilakukan oleh pimpinan daerah, ormas yang kemudian berakibat pada produk hukum.

Politisasi agama juga muncul melalui kekerasan verbal seperti kasus intoleransi. Kasus intoleransi yang sering kita temui dengan sikap yang tidak ramah terhadap kelompok agama, ras, suku lain menyebabkan sikap diskriminatif muncul. Akibat dari sikap tersebut adalah permasalahan antar kelompok yang tidak kunjung selesai. Memaksakan orang lain sama dengan pemahaman, ajaran yang kita anut. Sehingga hal ini juga menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia. Dimana tidak ada lagi ruang untuk saling menghargai perbedaan, menerima segala bentuk perbedaan yang ada.

Beberapa kasus yang menjadi contoh dalam fenomena ini seperti pemaksaan berjilbab pada siswa, peraturan daerah (Perda) syari’ah yang cukup mewarnai kehebohan publik, menjadi sebuah bukti menguatnya politisasi agama di Indonesia.  Melalui fakta tersebut, setidaknya kita bisa memahami bahwa persoalan ini akan terus ada dan menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia.

Meruntuhkan persatuan dan kesatuan

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritas menganut agama Islam. Tentu, kenyataan ini membuat kita memahami bahwa sebagai masyarakat muslim memiliki power yang lebih dalam persoalan suara, kesepakatan, hingga pelbagai kebijakan. Kenyataan ini juga membuat partisipasi sosial-politik masyarakat Indonesia bagi kaum muslim berasal dari ajaran agama yang dianutnya.

Sehingga dalam memilih dan menentukan pilihan terhadap seorang pemimpin, masyarakat muslim tidak melepaskan dari ajaran, prinsip dan nilai-nilai keislaman. Sebab partisipasi ini juga merupakan bagian dari perintah Allah untuk “menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan” (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy’n al-munkar).

Permasalahan yang muncul adalah Ketika dalil-dalil agama digunakan untuk menaikkan seseorang dalam ruang politik, kemudian menyingkirkan orang lain menggunakan nash yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk kepentingan yang dibawa oleh kelompoknya. Fenomena ini tidak jarang kita temui, bahkan dalam tahun-tahun politik yang sangat akrab sekali dengan pertikaian antar narasi, pertengkaran antar kelompok, memicu konflik yang tidak berkesudahan.

Dalam ruang lingkup negara yang majemuk ini, politisasi agama berpotensi besar meruntuhkan persatuan dan kesantuan negara Indonesia. Hal ini karena, masalah tersebut akan menciptakan sisi superioritas antara yang satu kelompok dengan kelompok yang lain. Fenomena tersebut  merupakan ancaman bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Penggunaan simbol-simbol agama pada ruang publik semestinya lebih berbobot dan berkualitas. Dalam arti, tidak memanipulasi nash yang terdapat dalam kitab suci secara subjektif dan sepihak demi untuk mengejar posisi dan jabatan tertentu yang sifatnya relatif dan keduniawian. Kehadiran simbol agama dalam ruang publik khususnya ruang politik sebagai ajang memperkenalkan diri dan membawa kemashlahatan bagi masyarakat secara luas, semakin baik ketika diimplementasikan dan diaplikasi untuk menjawab permasalahan sosial.

Sehingga simbol agama tidak lahir sebagai alat berperang yang sewaktu-waktu digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan terdapat dalam diri dan diaplikasikan untuk kepentingan masyarakat serta diobjektifikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menanggapi masalah tersebut, sebagai anak muda, seyogyanya kita tidak gampang untuk terprovokasi oleh masalah-masalah politik yang mengatasnamakan agama, yang berpotensi memecah belah bangsa Indonesia. Apalagi dengan semakin mudahnya mengakses informasi yang berasal dari media sosial, narasi liar yang mengatasnamakan agama diserta dalil-dalil Al-Qur’an perlu kita telaah lebih jauh agar tidak semakin memperkeruh masalah yang terjadi.  Semangat itu harus terus kita pegang untuk menjadikan agama sebagai penunjuk jalan kehidupan dan rahmatal lil ‘alamin bukan sebaliknya. Wallahu a’lam

(Muallifah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button