Mujadalah

Tafsir QS An Nisa : 3 dan QS An Nisa : 129, Respon Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Isu Poligami

Salafusshalih.com. – Salah sata isu hangat yang masih sering menjadi bahan perbincangan adalah bagaimana al-Qur’an memandang poligami. Berbagai tokoh telah membahasnya dengan berbagai macam bentuk metode dan teori yang mereka gunakan, sebut saja Amina Wadud, Riffat Hassan, Nasaruddin Umar, Musdah Mulia dan Nasr Hamid Abu Zaid. Namun pada kesempatan kali ini, penulis tidak akan mengkaji pandangan mereka terkait poligami secara keseluruhan, akan tetapi hanya membahas pandangan Nasr Hamid terkait poligami. Adapun salah satu ayat yang sering menjadi pijakan bagi para pengkaji poligami adalah Qs. al-Nisa’/4:3, sebagai berikut:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Terjemahnya

Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.

Respon Nasr Hamid Abu Zayd terhadap Isu Poligami

Melihat ayat di atas, nampaknya Abu Zaid berusaha menginterpretasikannya menjadi tiga langkah. Pertama, konteks teks ayat. Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Ketiga, mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam.

Pada langkah pertama ini Abu Zaid melihat bahwa poligami pada bangsa Arab pra Islam tidaklah dibatasi ketentuannya, sehingga datanglah Islam membatasi tradisi tersebut hanya sampai empat kali saja. Selanjutnya setelah melihat konteks ayat tersebut, Abu zaid lebih lanjut meletakkan teks tersebut dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Pada langkah ini, Abu zaid berusaha untuk menemukan makna yang “tak terkatakan” dalam al-Qur’an. Pada konteks ini, Abu Zaid membandingkan dua ayat yang cenderung saling menjelaskan, yaitu pada Qs. al-Nisa/4:3, sebagai berikut:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Terjemahnya

Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.

Pada Qs. al-Nisa/4:129, sebagai berikut:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Terjemahnya

Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Melihat kedua ayat tersebut, Abu zaid menganalisisnya menggunakan analisis linguistik. Dalam linguistik Arab dikenal istilah ‘adad syart, fi’il syart dan jawab syart. Kata “jika” pada ayat pertama di atas menurut Abu zaid merupakan adad syart, adapaun fi’il syart nya adalah pada kata “adil” dan kata “seorang” adalah jawab syart nya. Kemudian ditegaskan lebih lanjut oleh ayat kedua di atas yang menjelaskan bahwa adil merupakan sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia. Hal tersebut dikarenakan ayat tersebut menggunakan kata “lan” yang bermakna tidak akan pernah. Sehingga Abu Zaid menyimpulkan bahwa salah satu syarat untuk melakukan poligami adalah harus adil, tapi untuk bisa berbuat adil, seseorang tidak akan mampu melakukannya. Berdasarkan uraian di atas Abu zaid menyimpulkan bahwa poligami itu dilarang.

Adapun pada langkah terakhir ini, Abu zaid kurang sepakat terkait pandangan ulama-ulama terdahulu yang mengklasifikasikan poligami ke dalam bab “hal-hal yang diperbolehkan”. Menurutnya, istilah tersebut tidaklah sesuai dikarenakan pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari praktik poligami yang tidak terbatas, sedangkan pembatasan tidak berarti pembolehan.

(A. Muh. Azka Fazaka)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button