Mujadalah

Tahlil Masih Dipertentangkan, Bagaimana Islam Mengkompromikannya?

Salafusshalih.com – Sebagai orang yang terlahir di Madura, belum lengkap rasanya jika tidak menyebut tahlilan sebagai amaliyah NU yang sudah tertanam sejak lahir. Sebab salah satu tradisi keislaman ini, melekat dalam diri masyarakat, bahkan menjadi bagian dari kehidupan. Justru menjadi sangat aneh, bahkan dipertentangkan apabila menjadi bagian dari NU, tapi tidak melaksanakan tahlil pasca kematian seseorang, bahkan dianggap aneh.

Perlu diketahui bahwa, tahlilan adalah ritual/upacara selamatan dan sedekah yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, tahun ke-1 hingga hari ke 1000 memperingati kematian.

Amaliyah yang lekat sekali dengan NU ini merupakan ciri khas yang melekat dalam diri mayarakat. Artinya, sangat bermasalah ketika ada yang mengangap bahwa tahlilan adalah bid’ah bahkan kafir karena tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.  Pertentangan ini masih ditemui dalam sebuah akun twitter @salima252lagi lagi ketika menanggapi sebuah video pendek yang berisi tentang biaya tahlilan mengeluarkan uang sebanyak 40 juta. Uang banyak tersebut dikarenakan digunakan untuk membeli makanan, memberikan sedekah kepada orang, hingga melakukan perayaan lainnya.

“Petinggi NU harusnya sadar & mau menjelaskan kepada  umatnya/ jemaahnya* bahwa tradisi seolah mewajibkan perayaan kematian keluarga di hari ke 7–14-40-100 itu ga wajib bahkan ga ada tuntunannya Dan hanya memberatkan jelata saja. Faktanya org miskin di Indonesia ini banyak dr NU. Ga miris kah melihat warga miskin atau menengah ke bwh yg makan saja susah ketika kemalangan malah masih direpotkan memikirkan makan org lain Masih inget sya PRT saya nangis bgtu ibu tersayangnya meninggal dan dia ga ada uang Memohon kami meminjami uang 4juta unt perayaan 40 hari,” tulisnya.

Cuitan tersebut mendapatkan banyak respon dan komentar dari berbagai pihak. Tidak sedikit yang menganggap tahlilan bid’ah karena tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah. Beberapa akun yang lain justru menyayangkan cuitan pemilik akun tersebut karena seolah-oleh mendikreditkan NU dari berbagai  sisi. Pertentangan di kolom komentar mengarah kepada pertentangan hukum oleh masing-masing akun Menanggapi hal ini, bagaimana sebenarnya melihat hukum tahlilan?

Tahlil Menurut 4 Madzhab

Dalam konteks ini, khususnya persoalan tuduhan bid’ah bahkan kafir terhadap ziarah kubur, KH. Ali Maksum, kiai yang sangat famous di Yogayakarta, khususnya Pondok pesantren Krapyak, Yogyakarta, secara tegas melalui kitab karangannya yakni Hujjah Ahlussunah wal Jama’ah. Melalui kitabnya, ia menggunakan pendekatan maqasyid Syariah yang berpijak pada manhaj ushuli pemikiran-pemikiran ulama.

Di dalam kitab tersebut, KH. Ali Maksum menjelaskan berbagai argumentasi yang diberikan oleh empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) mengenai hukum ziarah kubur. Dalam kitab tersebut, Mazhab Syafi’I membenarkan pahala Sodaqoh sampai kepada mayit. Dalam madzhab Maliki dijelaskan bawha tidak ada perselisihan di dalam membaca Al-Quran atas mayit serta tidak ada perdebatan atas pahala dari sodaqoh yang dilakukan. Berbeda dengan dengan pendapat dua madzhab tersebut, Mazhab Maliki justru memakruhkannya. Akan tetapi, Mazhab Maliki justru memperbolehkannya. Dari sinilah argumen yang dibawa oleh KH. Ali Maksum memperjelas sanad dan perbedaan pandangan dari berbagai mazhab agar kita tidak ragu dalam menjalakan praktik keagamaan yang kita pilih.

Selayaknya perbedaan pandangan yang terdapat dalam pandangan 4 Imam madzhab tersebut, perlu kita berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa, perbedaan masing-masing imam berkenaan dengan tahlil, perlu dipahami secara bijak supaya, tidak lagi tragedi saling membid’ahkan satu sama lain. Klaim kebenaran dengan merasa paling ‘Islam’ dan merasa paling sesuai ‘syari’at’ kemudian ditunjukkan kepada orang lain, justru menjadi bukti bahwa dalam persoalan keberagamaan, kita masih labil untuk bersikap saling menghormati masing-masing keyakinan.

Dalam konteks ini, tahlilan perlu dilakukan sesuai dengan kemampuan keluarga yang bersangkutan. Faktor kemampuan ekonomi pihak keluarga harus dipertimbangkan. Jangan sampai, hanya karena tuntutan sosial, menimbulkan beban bagi keluarga yang sedang mengalami kesusahan. Kesadaran ini juga harus disampaikan oleh para kiai, ulama yang ada di kampung untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar, melaksanakan slametan sesuai dengan kapasitas dari pihak keluarga, jangan sampai membebani diri, ataupun melakukan hal di luar kapasitas ekonomi yang dimiliki. Wallahu a’lam.

(Muallifah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button