Al Qur'an

Terminologi “Kembali ke Al Quran dan Sunah” yang Dimanipulasi Kelompok Teror

Salafusshalih.com – Islam memiliki dua sumber ajaran utama berupa wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-Nya. Pertama adalah Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, di mana lafaz dan makna dari Allah, dan membacanya memiliki nilai ibadah.

Kedua adalah hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam atau juga yang disebut sebagai sunah. Hadis atau sunah adalah segala hal yang datang dari Nabi Muhammad Saw dari perkataan, perbuatan, dan keputusan atau persetujuannya atas suatu perkara.

Hadis juga dikategorikan sebagai wahyu, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surah an-Najm ayat ke-3. Bahwa sesungguhnya apa-apa yang dikatakan Nabi tidaklah datang dari hawa nafsunya, melainkan adalah sesuatu yang diwahyukan Allah kepadanya.

Yang membedakan hadis dari Al-Qur’an adalah, lafaz hadis datang dari Nabi. Bahkan dalam ilmu hadis ada kategori riwayat bil-ma’na yang mana periwayat hanya meriwayatkan makna hadis, dan lafaz dari periwayat. Sedangkan makna hadis adalah wahyu yang diberikan Allah kepada Nabi.

Dengan begitu, maka segala ajaran yang ada dalam Islam harus selalu dikembalikan pada dua sumber utama tersebut di atas. Segala hal yang dilalui seorang Muslim dari ia lahir hingga ia meninggal dunia, kesemuanya dikembalikan pada aturan-aturan yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunah.

Pun demikian, zaman dengan segala perkembangannya menuntut agar segala permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan sunah. Salah satu bentuk dinamika yang kemudian muncul dalam hal ini adalah sebuah gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan sunah.

Paradoks Berpikir

Gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan sunah sebagai sebuah istilah dan nama, bukan suatu hal yang perlu diperdebatkan. Karena sudahlah terang dan jelas bahwa Al-Qur’an dan sunah, keduanya adalah sumber primer dalam Islam yang harus selalu dijadikan landasan ajaran.

Namun jika gerakan tersebut jika dicermati secara komprehensif, bagaimana praktek dan implementasinya di tengah masyarakat. Maka akan didapatkan suatu problematika paradoks berpikir. Term tersebut kerap dimanipulasi oleh kelompok teror untuk membenarkan terorisme.

Didorong dengan euforia dan semangat keagamaan yang besar, gerakan ini justru membawa sebuah bid’ah berpikir. Mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan sunah, namun justru sering menegasikan jalan-jalan yang sudah ditempuh oleh para ulama.

Bahkan tidak jarang pengikut gerakan ini hanya bermodal pada membaca terjemahan Al-Qur’an dan hadis, kemudian menolak untuk bermazhab. Padahal salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Islam adalah ketersambungan sanad dalam ajarannya. Sehingga mengikuti jalan para alim-ulama yang sanad keilmuannya bersambung hingga Nabi menjadi suatu keharusan.

Tidak jarang pula, orang-orang yang aktif dalam gerakan ini yang justru terjebak pada pengkultusan pikiran-pikirannya sendiri tentang suatu dalil. Contohnya adalah sebuah pernyataan dan pertanyaan yang membenturkan pendapat mazhab dengan sebuah hadis, dengan berkata “Mana yang harus lebih diikuti, pendapat Imam Syafi’i atau hadis Nabi ini?.”

Padahal yang justru sedang dibenturkan adalah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat orang itu sendiri tentang suatu hadis. Karena jelas bahwa para ulama menjadikan Al-Qur’an dan sunah sebagai pedoman dan rujukan dalam segala ijtihad mereka.

Maka jelaslah permasalahan yang dihadapi dalam implementasi gerakan kembali ke Al-Qur’an dan sunah. Yakni kesadaran akan pentingnya ketersambungan sanad dalam tradisi keilmuan Islam. Di mana merujuk pada pendapat dan fatwa dari mazhab-mazhab yang ada, merujuk pada karya-karya literatur tafsir Al-Qur’an, syarah hadis, dan berbagai literatur keislaman lainnya adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindarkan.

Sebab bila tidak, justru terjebak pada kultus individu pada pikirannya sendiri dan anti-mazhab. Yang mana anti-mazhab oleh syekh Ramadhan al-Buti disebut sebagai suatu bid’ah yang paling berbahaya dalam tradisi keislaman.

Kemudian untuk juga dipahami dan dipegang kuat, yakni bahwa terjemahan Al-Qur’an sejatinya bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Sehingga penting memperkaya literasi dan bacaan terhadap karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama. Supaya tidak terjebak pada pola pikir di atas, di mana justru mengultuskan pemahamannya sendiri atas suatu ayat, atau hadis.

Tidak sedang kembali pada Al-Qur’an dan hadis, yang dilakukan hanya menegasikan urgensi sanad keilmuan, dan pemahaman yang justru memiliki kualitas sanad yang lebih utama.

Sejatinya kembali kepada Al-Qur’an dan sunah merupakan keniscayaan dalam ajaran Islam. Namun demikian, dalam proses tersebut tetaplah harus melalui jalan-jalan ketersambungan sanad. Bukan lantas memotong jalan untuk sampai pada pengertian teks dengan hanya bermodalkan pembacaan pada teks Al-Qur’an dan sunah.

Tidak juga terjebak pada pengultusan terhadap tafsir-tafsir yang ada. Tetapi kembali kepada Al-Qur’an dan sunah melalui elaborasi yang meliputi teks kedua sumber primer tersebut, tafsir-tafsir dan syarah-syarah dari para ulama, juga meliputi konteks perkembangan zaman.

Dengan demikian, kehati-hatian bersama menjadi suatu keniscayaan. Para teroris selalu memonopoli kebenaran dan memanipulasi teks-teks suci dan dalil agama, untuk membenarkan agenda politik mereka. Istilah kembali pada Al-Qur’an dan sunah itu memang harus diamalkan, sebagai umat Islam. Namun jelas dan tegas, bukan seperti yang dipahami dan dipropagandakan kelompok teror. Lawan!

Wallahu a’lam.

(Darul Siswanto)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button