Mujadalah

Upaya Monopoli Islam Oleh Kelompok Ekstremis Yang Harus Dilawan

Salafusshalih.com – Islam dan pemahaman tentang Islam adalah dua hal yang berbeda. Islam adalah apa yang menjadikan orang-orangnya mendekatkan diri kepada Allah swt dan berkasih-sayang antar sesama. Sedangkan pemahaman terhadap Islam adalah bagaimana seseorang atau suatu kelompok memahami Islam. Lebih sempit lagi, bagaimana seseorang memahami hukum fikih.

Islam mengajarkan untuk berwudu ketika ingin shalat. Tapi bagaimana cara berwudu itu adalah daerah fikih dan pemahaman. Islam memerintahkan untuk shalat, tapi bagaimana cara membaca al-Fatihah  adalah pemahaman terhadap Islam. Islam menyuruh untuk berpegang teguh kepada tali agama Allah, tapi mengimplikasikan pesan-pesan tersebut adalah perkara lain.

Islam sebagai agama adalah satu kesatuan yang meliputi kehidupan seorang Muslim. Islam memiliki prinsip umum rahmatan lil ‘alamin. Rahmat identik dengan kasih sayang Allah secara keseluruhan. Seluruh makhluk, tidak dibedakan antara latar belakang, rahmat meliputi segala hal. Maka Islam sebagai rahmat bisa dimaknai sebagai Islam mengandung sifat kasih sayang yang universal.

Demikianlah Islam yang hakiki. Ada pun orang-orang yang memahami Islam secara sempit hingga menimbulkan kekacauan bukanlah Islam. Bahkan bertentangan dengan sifat rahmat tadi. Bagaimana pun bentuknya, sekali pun ada yang membawa-bawa nama Islam tapi tindakannya penuh kebencian, itu bukanlah Islam, tapi pemahamannya tentang Islam.

Dalam sejarah Islam banyak terdapat kelompok yang mencoba memonopoli Islam dan memaksakan pemahaman sendiri. Akibatnya timbul kekacauan. Di zaman Sayyidina Ali ada kelompok Khawarij yang memerangi kaum muslimin dan menuduh Imam Ali keluar dari (agama) Islam. Mereka menafsirkan “laa hukma illallah” dalam pengertian yang sempit dan menimbulkan kekacauan.

Di abad 18 kaum Wahabi menyebarkan pemahaman mereka di Arab Saudi dengan kekerasan. Dibantu dengan Bani Saud, Wahabi memulai aksinya. Dalam penyebaran pemahamannya tersebut, bangunan-bangunan, seperti keburan, hingga tempat kelahiran Nabi dan kediaman baginda dengan Khadijah, yang mereka anggap tidak benar itu dihancurkan.

Dan ketika gerakan ini masuk ke Minangkabau, Sumatera Barat, di abad ke 18 juga menimbulkan konflik. Ternyata konflik yang terjadi bukan hanya sekadar kaum adat—yang digambarkan banyak bermaksiat—bertentangan dengan ulama. Tapi juga kelompok ‘putih’ yang baru kembali ke Timur Tengah melawan ulama-ulama lokal yang bercorak tarekat.

Pemahaman yang eksklusif terhadap Islam malah melahirkan corak Islam yang kering. Dimensi Islam yang relevan fi kulli hal wa fi kulli zaman jadi terabaikan. Islam dipertentangkan dengan segala hal yang tidak sesuai dengan pemahaman tekstual. Citra Islam bisa tercemar hanya lantaran tafsiran sempit dari kelompok-kelompok tertentu. Citra-citra itu terlihat pada kelompok seperti Hizbut Tahrir, Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Taliban, dan sejenisnya.

Prinsip Kelompok Radikal dan Jawaban Kita

Pemahaman yang sempit itu menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Sikap merasa paling benar dan merasa diri menjadi wakil Tuhan untuk membebaskan manusia dilakukan secara masif. Hizbut Tahrir, organisasi yang lahir di Palestina tahun 1953 ini membangun jaringan transnasional demi tegaknya khilafah Islamiyah. Demikian juga dengan Taliban yang mencoba memaksakan keyakinan mereka di Afghanistan. Keduanya adalah gerakan politik, yang bila perlu tidak segan menggunakan kekerasan.

Dalam menjalankan aksinya kelompok Islam garis keras ini—pendukung khilafah, formalisasi fiqih Islam dan sejenisnya—ini menyasar kelompok awam terlebih dahulu. Kelompok yang tidak memiliki kesempatan mempelajari agama secara komprehensif atau pun orang-orang kaya yang sedang dilanda krisis spritual. Serta pejabat-pejabat yang ‘lemah imannya’. Gerakan ini biasanya dengan cara dakwah, menerbitkan buku, buletin, seminar, halaqah dan sebagainya.

Kelompok awam bisa menjadi basis pergerakan, orang-orang kaya bisa menjadi penyedia dana, dan orang-orang yang berada di pemerintahan dapat menjadi permulus agenda-agenda mereka. Kelompok-kelompok ini sangat rentan dipengaruhi. Apalagi membawa label Islam. Agama memang menjadi semacam dorongan psikologis yang paling ampuh untuk mendapatkan simpati. Selain, gerakan politik, juga disertai dengan argumen teologis dan slogan-slogan tertentu.

Di antara slogan-slogan tersebut seperti “Penegakan  syari’ah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa” (MMI); “Selamatkan Islam dengan syari’ah” (HTI); “krisis multi-dimensi akan berakhir dengan diberlakukannya  syari’ah Islam”; Islam adalah solusi” (PKS). (Ilusi Negara Islam, 2009, hal. 130 ). Slogan-slogan ini punya satu kesamaan, memformalitasi syari’ah—sesuai pemahaman mereka—ke dalam kekuasaan.

Tidak ada satu pun dalil yang mengharuskan umat Islam mendirikan negara Islam seperti yang dipahami kelompok-kelompok garis keras. Di Madinah, Nabi tidak mendirikan negara bangsa, Al-Qur’an adalah hukum antar sesama Muslim. Sedangkan dalam kehidupan bernegara Nabi melahirkan apa yang disebut dengan Piagam Madinah.

Bukan bentuk formalisasi agama yang dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang islami. Menjadi Muslim yang baik dapat dilakukan melalui keikhlasan dan kesadaran spritual. Setiap kepentingan ke arah itu patut dicurigai sebagai politik terselubung untuk meraih kekuasaan.

Tidak mendirikan negara Islam bukan berarti tidak Islam. Islam tergambar dalam kehidupan sehari-hari. Saling tolong menolong, gotong royong, ramah tamah, suka membantu, bersabar, adalah Islam. Islam tidak harus dimasukkan ke dalam kotak sempit legislasi. Syari’ah bisa diintegrasikan dalam bentuk yang berbeda. Selama tidak bertentangan dengan syariat, maka ia bisa menjadi hukum. Termasuk di dalamnya adat.

Sehubungan dengan itu, tindakan-tindakan mengatasnamakan Tuhan adalah tindakan kurang ajar. Tindakan merasa paling benar, paling Islam, dan memandang buruk yang lainnya hanya karena pemahaman agama yang sempit adalah sikap yang bertentangan dengan Islam. Apalagi klaim dan tindakan tersebut hanya dipicu oleh ambisi buta dan bukan atas dasar ilmu.

(Daniel Osckardo, S.H.)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button