Empat Perkara Poligami yang (Mungkin) Luput dari Ingatan Coach Hafidin
Salafusshalih.com-Beberapa hari lalu, Narasi Newsroom mengunggah reportase berjudul “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar” di YouTube channelnya. Dengan mewawancarai KH. Hafidin (praktisi poligami 4 istri 25 anak), Narasi mencoba menguak alasan Pendiri Ma’had Yashma Banten ini membuka kelas berbayar, serta mengapa sejumlah orang tertarik mengikutinya. Tak hanya itu, reportase ini juga menampilkan berbagai sisi lain dari praktik poligami, termasuk kehidupan Kyai Hafidin yang “dianggap” telah sukses berpoligami.
Beberapa tahun terakhir, materi poligami memang telah masuk ke dalam workshop-workshop berbayar. Praktik menikahi perempuan lebih dari satu ini seolah bukan lagi menjadi urusan pribadi, melainkan sudah diglorifikasi sedemikian rupa. Lelaki yang akrab disapa Coach Hafidin ini bahkan meyakini bahwa pada 2050 mendatang, tren poligami akan semakin semarak, lantaran kejayaan Islam semakin terlihat. Salah satu tanda kejayaan Islam yang ia sebut adalah kemenangan Taliban di Afghanistan.
Saat ditanya mengapa banyak orang yang tertarik untuk ikut mentoring poligami, Pendiri Ma’had Yashma Banten ini menjawab, “Libido mereka kuat naik, sementara mau berzina takut.”
Coach Hafidin sendiri sudah enam kali menikah. Saat ini ia hidup bersama empat orang istri. Dua istri sebelumnya telah diceraikannya. Satu istri diceraikannya karena sudah menopause, sedangkan satu lagi merupakan perempuan yang dinikahinya dalam keadaan janda, namun kemudian berpisah dengan alasan “tidak layak untuk diteruskan.”
Di sepanjang video, saya begitu tercengang mendengar penuturan Coach Hafidin yang menurut saya justru jauh dari nilai dan tujuan Islam yang memuliakan perempuan. Maka, marilah kita lihat beberapa perihal poligami yang mungkin luput dari ingatan Coach Hafidin.
Nabi SAW tidak menceraikan perempuan hanya karena menopause
Selepas wafatnya Khadijah, Rasulullah SAW sering kali terlihat murung, beliau begitu terpukul atas kematian istri tercintanya. Karena itu, Khaulah binti Hakim mendatangi Nabi SAW untuk menjodohkan beliau. Ia menawarkan dua perempuan, pertama Saudah binti Zam’ah dan kedua Aisyah.
Namun karena Aisyah masih amat belia, Rasulullah SAW memilih menikah dengan Saudah. Kala dinikahi Nabi SAW, Saudah tak lagi berusia muda, bahkan dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa perawakan Saudah pun besar dan gemuk.
Sejatinya, Saudah sudah tak berkeinginan menikah lagi, namun ia tetap menerima pinangan Rasulullah Saw. Dalam al-Ishabah fit Tamyiz as-Shahabah disebutkan, berdasarkan riwayat Ma’mar, Saudah binti Zam’ah berkata, “Tidaklah aku berkeinginan menikah, kecuali aku berharap jika Allah SAW membangkitkanku di hari kiamat dalam keadaan menjadi pasanganmu (Nabi SAW).”
Dari pernikahan Nabi SAW dengan Saudah, terlihat jelas bahwa tujuan beliau menikah adalah untuk menggapai sakinah, bukan mengutamakan syahwat semata dengan menikahi perempuan cantik lagi muda.
Saat memasuki usia senja, Saudah memberikan “jatah” harinya bersama Rasulullah SAW kepada Aisyah Ra. Namun Nabi Muhammad SAW tak menceraikan Saudah hingga akhir hayatnya.
Hikmah poligami Nabi: Menolong janda yang suaminya wafat karena perang
Salah satu hikmah poligami Nabi Saw adalah menolong para janda yang suaminya syahid dalam pertempuran, bukan malah membuat perempuan jadi janda hanya karena ia tak bisa bereproduksi lagi.
Selain Aisyah, semua istri Nabi SAW adalah janda. Nabi SAW menikahi Ummu Salamah yang suaminya wafat usai perang Uhud dan Bani Asad. Luka-luka pascaperang menjadi wasilah pertemuannya dengan Allah SWT.
Demikian pula Hafshah, putri Umar bin Khattab ini menjanda usai suaminya, Khunais bin Hudzafah wafat karena luka yang dialaminya dalam perang Badar. Hafshah kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW.
Ada pula Shafiyah binti Huyay, perempuan Yahudi yang ayah dan suaminya wafat dalam pertempuran Khaibar. Shafiyah kemudian masuk Islam dan Nabi SAW menikahinya. Karena pernikahan itu pula, ada ikatan kekeluargaan antara kaum Muslimin dengan Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraidzhah, yang merupakan suku ayah dan ibu Shafiyah.
Poligami bertujuan untuk membatasi, bukan menambah istri
Di masa jahiliyah, perempuan seolah tak bernilai, mereka diwariskan bagai barang, dipoligami tanpa batasan, bahkan bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena keberadaannya dianggap “aib” keluarga. Tatkala Islam datang, ia turut membawa angin segar bagi para perempuan. Salah satunya melalui pembatasan poligami, maksimal empat orang istri.
Kita dapat melihat bagaimana Rasulullah SAW justru menegur orang-orang yang dahulunya telah memiliki banyak pasangan. Bukan orang yang awalnya bermonogami kemudian didorong untuk berpoligami.
Kala itu, memang banyak lelaki yang memiliki istri lebih dari empat. Sehingga Rasulullah Saw meminta mereka untuk mempertahankan empat istri dan menceraikan lebihnya.
Dalam HR Bukari disebutkan, Ghailan bin Salamah as-Tsaqafi masuk Islam. Ia memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliyah. Istri-istrinya pun ikut masuk Islam bersamanya. Kemudian Nabi SAW meminta Ghailan untuk memilih empat saja di antara mereka. (Lihat HR Bukhari nomor 1128)
Dalam riwayat lainnya, dari Naufal bin Muawiyah, ia berkata “Aku masuk Islam dalam keadaan memiliki lima istri. Rasulullah SAW lalu berkata kepadaku ‘Pertahankanlah empat di antara mereka yang engkau kehendaki, dan berpisahlah dengan lainnya” (HR Asy-Syafi’i, lihat al-Umm no hadis 1111, 1284 dan Musnad as-Syafi’i no hadis 2133).
Perempuan boleh menolak dipoligami
Ketika Coach Hafidin ditanya apakah meminta izin kepada istri-istrinya yang lain sebelum menikah lagi, ia justru menjawab “Ngapain izin? Emang istri saya kepala dinas?”
Meskipun dalam syariat memang tidak ada kewajiban meminta izin istri untuk berpoligami, namun bukan berarti seorang suami bisa mengabaikan suara dan pertimbangan istri begitu saja. Pasalnya, pernikahan adalah ikatan antar suami istri, artinya ridha istri ada pada suami, dan ridha suami ada pada istri.
Selain itu, perempuan juga boleh menolak dipoligami. Putri Rasulullah Saw, Fatimah bahkan pernah mengadukan perihal suaminya, Ali bin Abi Thalib yang hendak menikah lagi. Lalu bagaimana tanggapan Nabi Saw? Beliau justru melarang menantunya itu untuk menikah lagi, bukan malah menyudutkan Fatimah. Beliau berkata:
إِنَّما فاطِمةُ بضْعةٌ مِنِّي يُؤذيني ما آذاها
“Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dariku, apa yang menyakitinya berarti juga menyakitiku”
Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw tentu mengerti bahwa poligami dapat menyakiti hati putri tercintanya ini. Maka, Ali pun mengurungkan niatnya untuk berpoligami. Ia baru menikah lagi selepas Fatimah menutup usia.
Ada hal menarik lainnya dari ungkapan Rasulullah SAW, beliau bersabda “Orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istri mereka.” Bayangkan, beliau tidak menyatakan orang yang terbaik adalah yang paling banyak istrinya, atau yang paling tinggi jabatannya. Orang yang terbaik justru ialah yang memperlakukan istrinya dengan baik.
Jadi, dari pada sibuk memikirkan untuk menambah pasangan, sebaiknya jalankan perintah Nabi SAW dengan selalu berbuat baik pada istri.
Wallahu a’lam bisshawab
(Fera Rahmatun Nazilah)