Ulul Amri

Abdullah bin Uraiqit: Ihwal Agama, Kejujuran, dan Profesionalitas

Salafusshalih.com – Mendengar nama Abdullah mungkin kita akan menganggapnya sebagai seorang muslim. Ternyata tidak. Abdullah bin Uraiqit adalah non muslim dari kalangan Quraisy yang masih memeluk keyakinan nenek moyangnya, latta dan uzza.

Ada apa dengan Abdullah bin Uraiqit? Ini sangat menarik dan penting menjadi pelajaran kita bersama. Terkadang kita memiliki pandangan tentang ketidaksukaan kepada seseorang karena perbedaan agama. Bahkan dalam kasus tertentu perbedaan agama menjadi salah satu tolok ukur, bahkan parameter utama untuk memilih teman dan orang yang bisa dipercaya.

Pandangan ini harus segera diperbaiki. Dalam hubungan sosial, pertemanan sangat terkait dengan kejujuran. Mau muslim atau non muslim, orang yang berpotensi berkhianat tidak layak menjadi teman. Karena itulah, ayat Al-Quran seperti Al Maidah 51 yang berbicara tentang larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman (auliya’) dalam konteks kecenderungan mereka yang berkhianat dalam perjanjian Madinah dan dapat mengancam eksistensi komunitas (ummat) Madinah.

Kita balik ke Abdullah bin Uraiqit. Ia juga dikenal dengan Abdullah bin Arqat yang berasal berasal dari suku Bani Ad-Dil, salah satu cabang dari suku Quraisy. Di kalangan masyarakat Mekah, ia memiliki reputasi yang baik dan profesionalitas yang diakui dalam keterampilan navigasi. Tentu saja, trackrecord lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah soal kejujurannya.

Ia dikenal sebagai seorang penunjuk jalan atau pemandu yang sangat mahir dalam navigasi dan mengenal baik medan gurun yang luas dan sulit di Jazirah Arab. Tidak salah, jika ia sering disewa untuk memandu kafilah dagang atau individu yang melakukan perjalanan di daerah yang berbahaya.

Abdullah bin Uraiqit dipilih oleh Nabi Muhammad dan Abu Bakar sebagai navigator dalam perjalanan bersejarah “hijrah” ke Madinah pada tahun 622 M. Karena tekanan dan intimidasi yang mulai ekstrem dari kaum Quraisy untuk menangkap dan membunuh Nabi, atas perintah Allah Nabi melakukan hijrah.

Artinya, situasi Nabi dalam kondisi genting yang salah perhitungan akan mengancam keamanannya. Kenapa memilih orang di luar Islam dalam situasi yang mengancam keamanan bahkan nyawa? Ini keputusan yang memiliki resiko yang sangat tinggi.

Inilah persoalan keahlian, kompetensi, profesionalitas dan paling penting adalah kejujuran. Abdullah bin Uraiqit dipilih karena memiliki kriteria tersebut. Nabi memilih orang yang mempunyai reputasi yang baik dan jujur. Dan Abdullah bin Uraiqit yang menguasai medan mampu membawa Nabi dan Abu Bakar dalam rute yang tidak biasa karena menghindari kejaran dari kaum kafir Quraisy.

Atas perjanjian yang telah disepakati, Abdullah bin Uraiqit diminta untuk menemui Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsur setelah tiga hari persembunyian di sana untuk menghindari pencarian intensif oleh kaum Quraisy. Harus diakui, Abdullah bin Uraiqit telah berjasa dalam menghantarkan Nabi dan Abu Bakar selamat ke Madinah. Jasa yang tentu tidak bisa dilupakan karena tidak hanya menyangkut keamanan dan keselamatan Nabi, tetapi hijrah menjadi milestone kejayaan Islam.

Apakah Abdullah bin Uraiqit hanya seorang professional yang tidak mempunyai integritas? Ingat di sisi lain, kaum Quraisy juga mengimingi bayaran yang luar biasa bagi yang dapat memberikan informasi dan menangkap Nabi dan Abu Bakar. Tidak tanggung-tanggung, ganjarannya 100 unta. Dalam konteks ini, bukan hanya persoalan profesionalitas untuk mendapatkan bayaran. Bisa saja, ia berkhianat memilih iming-iming yang lebih. Tetapi, profesionalitas itu dibarengi dengan komitmen dan kejujuran.

Pelajaran yang sangat menarik dari sini adalah persoalan komitmen, kepercayaan, kejujuran dan profesionalitas dalam mempercayakan seseorang tidak hanya sekedar berteman, tetapi sebagai pemandu. Apakah Nabi berarti mempercayakan diri dipandu oleh non Muslim? Bukan itu poinnya. Bukan di latar belakang agamanya, tetapi aspek kejujuran, kompetensi dan profesionalitas.

Penggunaan sumber daya dalam mencapai tujuan kepentingan bersama tidak merujuk pada aspek latar belakang agama, suku, budaya, etnik dan pertimbangan primordial lainnya. Dalam konteks mencapai tujuan unsur profesionalitas, kompetensi dan kejujuran menjadi aspek utama. Artinya, faktor perbedaan tidak boleh dijadikan dasar sebagai penghakiman yang dapat membutakan diri kita terhadap aspek kompetensi, profesionalitas dan kejujuran seseorang.

(Redaksi)

Related Articles

Back to top button