Fikih

Berhukum Pada Hukum Yang Dibuat Manusia, Kafir?

Salafusshalih.com – Dalam kehidupan saat ini sudah banyak aturan, norma, dan hukum yang dibuat untuk mengatur dari aspek kecil semisal keluarga hingga yang besar masalah negara. Di lingkungan masyarakat ada aturan yang disepakati, di organisasi ada aturan yang mengikat anggotanya, di sekolah ada aturan yang ditaati siswa, dan di lingkungan negara ada kesepakatan, nilai dan aturan yang dijadikan pedoman bersama warga negara. Semuanya adalah aturan yang dibuat dalam rangka mencapai kemashlahatan.

Persoalan ini sudah menjadi lumrah dan dibutuhkan. Namun, ada segelintir yang mendebatkan hal teknis ini dalam wilayah teologis, bahkan filosofis. Mereka berdalih bahwa pemilik hukum tertinggi adalah Tuhan. Pemilik kuasa tertinggi adalah Tuhan. Hanya dari Tuhan aturan dan hukum itu dibuat.

Sebenarnya pernyataan di atas adalah pernyataan teologis yang sudah banyak menjadi wacana keilmuan dalam khazanah Islam. Tentang kuasa Tuhan, apakah orang sejatinya mempunyai daya atau sejatinya day aitu dari Tuhan. Semisal apakah pukulan seseorang itu berasal dari manusia atau dari Tuhan?

Diskursus Teologis yang Mengasyikkan

Ayat seperti al-Anfal 17 menjadi ladang takwil dan tafsir dari kalangan teolog Islam. Ayat itu berbunyi : Maka, (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar.

Sesungguhnya pemilik daya sebenarnya adalah Tuhan. Yang mematikan dan menghidupkan manusia adalah Tuhan. Kebenaran hakikat adalah Tuhan. Namun, secara majaz Tuhan menciptakan hukum alam (sunnatullah) berupa sebab-akibat. Manusia mempunyai kehendak melalui usaha (kasb), tetapi hakikat dari segalanya adalah Tuhan.

Perdebatan seperti ini adalah wilayah teologis sebagaimana perdebatan Jabariyah dan Qadariyah tentang ada dan tidaknya kehendak bebas manusia. Muncul pula aliran ahli kalam dari Mu’tazilah hingga Asyariyah yang berhasil menjembatani perdebatan teologis tersebut. Perdebatan ini tentu adalah bagian dari diskursus teologis yang harus terus berjalan dalam koridornya.

Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk melakukan tindakan melempar, membuat, dan berkata dan sebagainya. Tetapi hakikat wujud dan sebab aktivitas utama adalah Tuhan. Tuhan memberikan kuasa dan amanat kepada manusia di bumi sebagai khalifah untuk mengelola bumi agar tidak melakukan kerusakan. Itu fitrah manusia. Ia diberikan akal, mengerti nama-nama (konsep) dan menerjemahkan dalam aturan.

Sumber segala aturan adalah Tuhan. Sumber hukum adalah Tuhan. Manusia menafsirkan dan membuat hukum bersandarkan pada hukum Tuhan. Tuhan memberikan “kuasa” (dalam tanda kurung berarti kuasa distributif) kepada manusia untuk membuat aturan agar kehidupan manusia berjalan dengan damai dan harmonis.

Segala aturan yang dibuat manusia dari yang mengatur hal kecil hingga besar seperti negara berdasarkan hukum Tuhan. Sementara yang menyalahi aturan Tuhan adalah kafir atau orang yang mengingkari. Tuhan telah memberikan prinsip dan aturan agar manusia menjalani kehidupan yang harmoni. Dari prinsip hukum Tuhan itulah manusia menciptakan kesepakatan, aturan dan norma hingga hal kecil sekalipun.

Memperdaya Diskursus Teologis Menjadi Politis

Manusia menciptakan aturan, norma dan panduan dalam mengelola dunia agar menjadi lebih baik. Manusia diberikan akal sebagai anugerah Tuhan dalam memakmurkan bumi dan isinya. Hakikatnya, aturan dan akal dari Tuhan, bukan dari manusia itu sendiri. Manusia membuat aturan, norma, dan hukum manusia bukan berarti menyalahi atau merampas Kuasa Hukum Tuhan, tetapi bagian dari Tuhan memberikan daya kepada manusia untuk menciptakan aturan sebagai khalifah di muka bumi.

Tuhan tidak mungkin mengatur hal teknis dan detail tentang hukum, aturan, dan norma organisasi, lingkungan sekolah, masyarakat dan negara. Tuhan memberikan prinsip universal yang tidak boleh dilanggar. Sebagaimana Nabi diutus tidak mungkin tahu segalanya tentang aturan detail keduniaan.

Karena itulah, ada hadist yang sangat populer ketika Nabi menegor sahabat yang mengawinkan kurma. Namun, setelah itu kurma menjadi jelek hasilnya ketika mengikuti saran Nabi. Lalu, Nabi mengatakan : antum a’lamu bi umuri dunyakum (kamu lebih mengetahui (aturan) urusan duniamu (HR Muslim).

Maka, Al-Ma’idah 44 yang berbunyi : Dan barang siapa tidak berhukum dengan yang telah Allah turunkan, mereka tergolong orang-orang kafir” harus dimaknai dengan baik dan tepat. Jangan dibawa penafsiran kata hukum ini dalam makna teologis seperti ahli kalam memperdebatkan. Tuhan adalah Maha Pembuat Hukum dan tidak boleh ada hukum manusia dalam mengatur kehidupan.

Kesalahan kelompok Khawarij adalah membawa perdebatan teologis ini dalam wilayah sengketa politik pada masa peristiwa tahkim (arbritase) antara Khalifah Ali dan Muwaiyah. Bagi Khawarij proses tahkim seperti itu tidak sah, karena sesungguhnya Pengambil Keputusan dan Penghakiman hanya Allah semata. Karenanya, konsekuensi kata kafir, baik kelompok Ali dan Muawiyah dipandang kafir dan layak diperangi dan dibunuh.

Jika salah menempatkan perdebatan teologis tersebut dalam konteks yang tidak tepat tentu sangat berbahaya. Sebagaimana bahaya Khawarij ketika menanggap kesepakatan damai Sayyidina Ali dan Sahabat Muwaiyah dalam konteks perdebatan teologis. Jika hal itu terjadi, tidak mungkin ada aturan yang bisa dibuat manusia dalam menjamin keamanan suatu negara. Karena sesungguhnya pemilik hukum adalah Tuhan.

Jika semua dilarikan ke arah teologis, banyak orang yang melanggar aturan lalu lintas karena menganggap itu aturan yang dibuat manusia. Tuhan tidak pernah membuat aturan lalu lintas. Apakah Tuhan pernah membuat hukum dan tata cara berkendaraan? Jadi manusia bisa melanggarnya karena bukan hukum buatan manusia.

Aturan Manusia Berdasarkan Prinsip Hukum Tuhan

Pertanyaan selanjutnya, jika semua aturan yang ada sekarang yang dibuat untuk mengatur kehidupan manusia dari hal kecil dianggap bukan hukum Tuhan dan tidak layak diikuti, bagaimana kita bisa hidup damai tanpa aturan?

Hukum Tuhan adalah wilayah universal yang mengatur prinsip dasar. Manusia melalui daya yang diberikan Tuhan menafsirkan hukum Tuhan dalam bentuk aturan yang dibuat manusia. Selama aturan itu tidak bertentangan dengan prinsip universal hukum Tuhan, itulah bagian dari mandat Tuhan untuk manusia dalam mengelola bumi.

Karena itulah, amir dalam Islam menjadi kewajiban karena bertugas membuat aturan, dan membuat kebijakan dalam mendukung kewajiban beragama. Taat kepada pemimpin yang membuat aturan adalah kewajiban. Islam tidak pernah mengajarkan pembangkangan terhadap aturan dan keluar dari pemimpin. Apalagi alasan keluar dari ketaatan pada pemimpin dengan alasan hanya taat kepada hukum Tuhan.

Demokrasi, misalnya, yang dianut oleh berbagai negara saat ini termasuk negara muslim, bukan berarti mencuri kedaulatan Tuhan dan diberikan kepada rakyat. Demokrasi adalah prinsip dan mekanisme dalam mengatur warga negara. Tuhan berada dalam posisi Tertinggi ketika memerintahkan manusia untuk bermusyawarah dalam segala urusan.

Berdemokrasi bukan berarti menyaingi Tuhan sebagai yang Maha Hakim. Namun, segala urusan negara, kekuasaan harus dikelola secara distributif baik dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif agar hukum Tuhan tentang keadilan dan kesetaraan terwujud. Justru, penguasa yang memonopoli kekuasaan tanpa kontrol sejatinya pesaing Tuhan karena ingin menguasai negara secara absolut. Itu jelas bertentangan dengan hukum Tuhan.

 

(Farhah Salihah)

Related Articles

Back to top button