Ulul Amri

Bekal Menuju Armuzna: Drama Romantis Ibrahim dan Hajar Masa Kini

Salafusshalih.comH-1 Armuzna—Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Hari besar itu hampir tiba: wukuf di Arafah, puncak ibadah haji yang menjadi tempat berkumpulnya harap, taubat, dan pengakuan tertinggi seorang hamba di hadapan Rabb-nya.

Di tengah keheningan kamar hotel menjelang hari yang superistimewa, terngiang satu nasihat menyentuh dari Ustaz Muhammad Sholeh Drehem yang berkata, “Jadilah Ibrahim dan Hajar di masa kini, jangan hanya fokus pada rukun dan wajib haji, kesehatan fisik, tetapi kuatkan pula ruh, adab, dan relasi selama ibadah.”

Beliau mengajak kami merenungi Surah Al-Baqarah:197 tentang tiga larangan utama selama haji: rafas, fusuk, dan jidal, tiga penjaga agar haji ini tidak sekadar sah, tetapi benar-benar membekas dan mabrur.

Menahan Rafas, Saling Menjaga Kesucian

Rafas adalah segala hal yang mengarah pada syahwat, ucapan tidak senonoh, atau candaan suami-istri yang tidak pada tempatnya, sehingga kami belajar menjaga batas, memilih menyampaikan cinta melalui doa, bukan sentuhan, serta melalui senyum yang menguatkan, bukan rayuan yang menggelincirkan.

Ibrahim dan Hajar masa kini pun bisa romantis, tetapi dalam versi yang lebih tinggi: romantis karena saling menjaga kesucian ibadah, seperti siang tadi ketika kami berjalan melewati keramaian, tanpa sengaja mata ini terarah pada sesuatu yang “menarik” seperti magnet, hingga istriku berbisik pelan, lembut tetapi tegas, “Wahai Ibrahimku… jaga pandangan mata.”

Aku tersentak, menunduk, tersenyum kecut, dan malu, lalu kujawab perlahan, “Astagfirullah… terima kasih, Hajarku, kau bukan hanya penyejuk mata, tapi penjaga jalanku menuju mabrur.”

Kami tertawa kecil, tetapi hati kami tahu itu bukan hal sepele, karena itulah cinta yang benar: saling mengingatkan, bukan saling menyudutkan; saling menuntun, bukan saling menghakimi.

Menjauhi Fusuk, Saling Mengingatkan dalam Taat

Kami sadar, fusuk bisa datang dalam bentuk paling kecil, seperti membentak saat capek, melengos saat kesal, atau lupa bersyukur atas layanan petugas haji, sehingga kami pun ingat bahwa setiap langkah di Tanah Suci ini adalah bagian dari pengabdian, yang berarti tak layak ada keluhan, apalagi maksiat.

Hajar tidak pernah mengeluh saat ditinggal di padang tandus, justru ia berlari, mencari air dengan iman dan harap, dan kami pun ingin berlari, bukan dengan emosi, tetapi dengan semangat taat bersama.

Menahan Jidal, Saling Mengalah Bukan Saling Menang

Jidal adalah pertengkaran, adu argumen yang menguras energi spiritual, dan kami menyadari bahwa ego mudah muncul saat tubuh lelah, antre panjang, atau salah ambil arah, tetapi haji bukanlah tempat mencari menang, melainkan ladang menanam sabar.

Jidal adalah percikan kecil dari ego yang tak dikendalikan, kadang bukan karena ingin bertengkar, tetapi karena merasa kecewa, dan justru di sanalah haji mengajarkan makna pengendalian yang sesungguhnya.

Usai tawaf wajib malam hari, saya tidak mendampingi istri karena menemani jemaah lansia yang tertinggal, hingga istriku berbisik pelan, tetapi terasa begitu dalam, “Katanya mau jadi Ibrahim untuk Hajarnya… tapi pas tawaf, aku justru sendiri, Ibrahimku ke mana?”

Aku menatap penuh pengertian, “Aku memang tak menggenggam tanganmu tadi, tapi aku tetap mengelilingi Ka’bah dalam orbit yang sama, bedanya, aku berjalan lebih pelan, menemani yang hampir tumbang,” lalu kutambahkan, “Menjadi Ibrahim bukan soal selalu bersama, tapi tentang tahu kapan harus mendampingi dan kapan harus mendahulukan mereka yang paling lemah.”

Istri menunduk, menahan haru, “Maafkan aku… ternyata aku belum setegar Hajar.”
Aku tersenyum dan menimpali, “Dan aku belum sekuat Ibrahim, tapi semoga kita saling menguatkan, sampai thawaf terakhir kita… di surga nanti.”

Cinta yang Terus Bertumbuh di Tanah Suci

Kami ingin menjadi pasangan yang bukan hanya sampai ke Makkah, tetapi juga sampai pada derajat mabrur bersama, menjadi Ibrahim dan Hajar masa kini yang saling menjaga, bukan saling menguji; yang sabar dalam kekurangan dan bersyukur dalam kecukupan; serta yang tidak menuntut kesempurnaan, tetapi saling menyempurnakan.

Semoga haji ini mengukir bukan hanya sejarah perjalanan, tetapi jejak kemabruran cinta yang terus tumbuh hingga ke surga.

(Firman Arifin)

Related Articles

Back to top button