Bolehkah Pemerintah Ikut Campur Mengatasi KDRT?
Salafusshalih.com – Setiap pasangan suami & istri pasti mengidamkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat. Keinginan ideal ini bisa terwujud dengan adanya kesadaran dari setiap pasangan untuk saling kerjasama dalam menjalani tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing. Namun kondisi ideal ini tak selalu sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan. Sampai hari ini konflik dalam rumah tangga masih terus terjadi, bahkan sampai ada yang berujung kekerasan. Mayoritas korbannya adalah perempuan sebagai perempuan yang disebabkan adanya ketimpangan kekuatan pada sisi fisik serta sisi emosional yang cenderung condong pada pihak laki-laki sebagai pihak laki-laki.
Meskipun begitu, pihak istri sebagai pihak korban acapkali enggan melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Sebab ada anggapan bahwa segala tindak laku dalam keluarga sudah masuk ranah privat dan tergolong tabu – menurut adat ketimuran- untuk dibicarakan dalam ruang publik. Menurut mereka, segala permasalahan keluarga – termasuk kekerasan dalam rumah tangga- merupakan masalah intern yang harus dijaga dan dirahasiakan agar tidak diketahui oleh pihak lain. Tak jarang pula mereka memilih diam karena takut akan ancaman kekerasan yang lebih keras dari suaminya, atau tidak akan mendapatkan uang nafkah sehari-hari.
Pandangan ini berkembang di tengah wacana yang ada mewajibkan setiap pasangan untuk merahasiakan segala hal yang terjadi dalam rumah tangganya. Istri perlu memprioritaskan kesabaran, bersikap halus sebisa mungkin, dan tidak boleh untuk mengeluhkannya kepada pihak lain (Faiḍal-Qadĭr Syarh al-Jāmi’ al- Ṣaghĭr, 3/20). Oleh karena itu, setiap pasangan dituntut untuk menyelesaikan problematika rumah tangganya dan berusaha menutupi cela & aib yang terjadi dalam keluarga mereka.
Padahal hukum Islam sendiri cukup memberikan ruang intervensi dalam penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga, utamanya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan (ulil amri). Sebab, negara mempunyai tanggung jawab begitu besar dalam menjamin kedaulatan serta kemerdekaan setiap warga individu sehingga tidak direnggut oleh orang lain (Al-Fiqh al-Islāmĭ wa Adillatuhū, 8/6416). Pemangku kekuasaan memiliki kewajiban untuk menjamin pemenuhan segala hak semua warganya, termasuk pula hak-hak korban tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam konteks ini, pemerintah menjadi pihak ketiga diangkat menjadi hakim untuk menyelesaian persengketaan yang terjadi dalam relasi suami-istri, sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an, an-Nisa’ (4): 35:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan apabila kamu khawatir muncul persengketaan di antara kedua pihak, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga pihak suami dan seorang juru damai dari keluarga istri. Jika kedua pihak (juru damai itu) berkeinginan adanya perbaikan, niscaya Allah memberi pertolongan kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.
Ibnu ‘Asyur dalam bukunya, al-Tahrĭr wa al-Tanwĭr, 5/45-46, menjelaskan bahwa objek bicara dalam ayat ini adalah ulil amri (pemegang kekuasaan tertinggi). Dengan demikian, yang berperan aktif dalam menentukan dan mengurus juru damai adalah pemerintah atau pengadilan. Jadi, ayat ini secara terbuka memandang perlunya pihak sebagai penengah karena beranggapan bahwa problematika rumah tangga juga merupakan tanggung jawab masyarakat secara bersama. Secara literal teks, dua juru damai ini berasal dari masing-masing keluarga suami & keluarga istri, karena mereka yang lebih tahu dan memahami karakter dan kondisi pasangan yang bertikai tersebut.
Namun menurut Ibnu ‘Asyur, pendapat yang lebih jelas adalah bolehnya orang luar (selain famili dari kedua pihak) yang menjadi juru damai sebab pemilihan juru damai dari keluarga bersifat sunnah saja. Pendapat ini lebih relevan untuk diterapkan dalam konteks kekinian, saat pengertian hakamtidak hanya sebatas pada sanak keluarga. Bahkan bisa diperluas lagi mencakup mediator, lembaga peradilan, lembaga bantuan hukum, atau pusat pelayanan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga ini, menurut Ibnu ‘Asyur, bisa juga berasal dari kesalahpahaman tentang tahapan untuk menyelesaikan sikap nūsyuz yang dijelaskan dalam an-Nisa’ (4) ayat 34:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Perempuan-perempuan yang kamu takutkan akan nūsyuz mereka, maka hendaknya kamu memberi nasehat kepada mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) beri pukulan kepada mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi, Mahabesar
Ayat ini menjelaskan penyelesaian untuk sikap nūsyuz secara bertahap. Tahapan ini diawali dengan cara menasehati istri, kemudian dilanjutkan dengan tahapan pisah ranjang dengan batas tidak boleh melebihi durasi yang memberi efek buruk kepada istrinya. Dan tahapan paling akhir adalah tindakan memukul yang tidak menyakitkan. Dua tahapan terakhir baru bisa dilakukan apabila sikap nūsyuz benar-benar ditampakkan oleh istri, bukan masih terduga-duga & belum dilakukan.
Tujuan kebolehan menggunakan pemukulan sendiri untuk memperbaiki hubungan dan mengembalikannya menjadi lebih baik. Sehingga bila kenyataannya oleh laki-laki digunakan untuk yang tidak semestinya, malah bertujuan untuk menyakiti istrinya, maka laki-laki tersebut tergolong orang yang melanggar hukum.
Oleh karena itu, Ibnu Asyur menegaskan bahwa objek pembicara (khiṭāb) dalam ayat ini tidak hanya tertuju pada laki-laki sebagai suami, pun juga mencakup kepada pemerintah sebagai ulil amri (pemangku kekuasaan tertinggi). Oleh karena itu, negara perlu hadir dalam menyelesaikan problematika rumah tangga, terlebih bila kasusnya sudah diadukan kepada mereka.
Dan pemerintah boleh mengamandemenkan regulasi yang menghukum tegas suami yang melampaui dari batas-batas yang ditentukan oleh syariat dalam mengatasi nūsyuz sehingga kekerasan kepada istri dengan mudahnya dilakukan. Regulasi ini harus diatur agar tidak ada lagi tindakan apapun yang membahayakan antara suami-istri.
(Afif Thohir Furqoni)