Mujadalah

Bulan Ramadhan dan Gerilya Radikalisasi, Bagaimana Menanganinya?

Salafusshalih.com – Ramadhan sudah tersisa sepekan lagi. Dalam konteks maraknya radikalisasi dan indoktrinasi ekstremisme, internalisasi dan eksternalisasi makna lailatulqadar—pada sepuluh malam terakhir Ramadan—merupakan sesuatu yang penting. Bagaimana tidak, pahala dilipatgandakan dan doa-doa diterima. Namun, bagaimana menghubungkan makna tersebut dengan tantangan radikalisasi yang mengintai masyarakat?

Menarik dicatat, internalisasi makna lailatulqadar mengajarkan pentingnya introspeksi diri dan refleksi spiritual. Ini merupakan saat yang tepat untuk mengevaluasi nilai keislaman yang sejati—menemukan kedalaman iman di bulan keberkahan. Dalam konteks radikalisasi, introspeksi semacam itu membuat umat Islam bisa mendiferensiasi pemahaman yang hak dan batil. Tujuannya, agar selamat dari radikalisasi itu sendiri.

Lailatulqadar adalah core Ramadan. Itulah mengapa ia penting dalam segala aspek, termasuk dalam kontekstualisasi makna melawan radikalisasi. Ihwal berbagi kebaikan dan harmoni sesama, misalnya. Dalam konteks radikalisasi, eksternalisasi lailatulqadar menuntut peran aktif memerangi intoleransi dan radikal-terorisme yang bertebaran di mana saja. Artinya, segala upaya perbaikan diri bertolak dari konter terhadap dua aspek itu.

Melalui internalisasi dan eksternalisasi makna lailatulqadar, lingkungan inklusif dan toleran tercipta. Hingga pada akhirnya semua keberkahan Ramadan tercapai, yang dalam hal ini ialah melawan gerilya radikalisasi. Tentu saja ini memerlukan kolaborasi dalam mempromosikan kebelas-kasihan Islam dengan pendekatan holistik di satu sisi dan optimasi kontra-radikalisasi di sisi lainnya.

Itulah tanggung jawab bersama untuk membangun masyarakat yang harmonis dan menghormati kebhinekaan. Dalam suasana Ramadan, khususnya sambil menjemput lailatulqadar, bersatu dalam semangat perdamaian, persatuan, dan wasatiah merupakan bekal utama. Caranya, paling sedikit, meliputi dua hal, yakni melawan provokasi online dan penyemaian wawasan moderasi.

Provokasi Daring

Di era digital ini, provokasi daring telah menjadi salah satu strategi utama kelompok radikal untuk menyebarkan radikal-terorisme dan menciptakan ketegangan sosial—bahkan chaos. Melalui media sosial, website, dan platform daring lainnya, para radikalis merancang pesan-pesan yang memanfaatkan ketidakpuasan, ketidakadilan, dan ketegangan politik untuk menarik simpati dan merekrut pengikut baru. Meresahkan.

Provokasi daring kerap muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari meme yang merendahkan kelompok tertentu hingga kampanye pembohongan yang didesain untuk memicu kebencian dan konflik horizontal. Mereka juga sering menggunakan narasi Islam untuk menjustifikasi gagasan dan tindakan yang berorientasi pada kekerasan. Tujuannya satu, yaitu menggalang dukungan dan memperluas jangkauan gerilya radikalisasinya.

Karena itu, adalah krusial untuk mewaspadai provokasi daring ini: mengidentifikasi serta menanggapi ancamannya. Literasi digital kepada masyarakat bisa menjadi titik tolak, agar mereka dapat membedakan antara informasi yang sahih dan propaganda radikalis-ekstremis. Demikian karena hanya ketika paham, masyarakat dapat diajak untuk lebih mawas diri dan tidak mudah terprovokasi.

 

Pada saat yang sama, lembaga pemerintah, NGO, dan platform media sosial juga memiliki peran penting dalam menanggulangi provokasi daring tersebut. Pengawasan terhadap konten yang mengandung hate spin atau propaganda ekstremis, sebagai contoh, mutlak wajib. Di sinilah, media keislaman daring seperti Harakatuna menemukan perannya. Prinsipnya adalah ketahanan (sustainability).

Mengapa sustainability mesti menjadi prinsip utama? Sebab militansi para radikalis dalam meradikalisasi masyarakat jauh melampaui militansi NGO, misalnya. Provokasi daring semacam apa yang belum dilakukan untuk radikalisasi? Tidak ada. Kontra-radikalisasi juga kerap dilakukan, namun kadang tumbang lebih awal. Baik karena keterbatasan resources maupun yang lainnya. Inilah mengapa cara penanganan yang kedua penting.

Menyemai Spirit Moderasi

Perlu ditegaskan bahwa, anggapan moderasi sebagai “paham salah kaprah atau inferiositas Islam” sepenuhnya merupakan bagian dari gerilya radikalisasi. Tujuannya adalah menciptakan ketidakpercayaan kolektif umat Islam terhadap otoritas keagamaan mainstream di satu sisi, dan menarik umat ke jurang radikalisme di sisi lainnya. Sampai di sini bisa dipahami: di mana posisi moderasi dalam atmosfer keberislaman masyarakat.

Puasa Ramadan mengajarkan umat Islam untuk memperkuat kontrol diri. Dalam konteks ini, toleransi menjadi kunci penting, karena puasa mengajarkan penghormatan pada keberagaman dan memahami sesama secara tenggang rasa. Dengan menahan diri dari tindakan dan perkataan yang merugikan orang lain, hubungan harmonis dengan sesama akan tercipta. Singkatnya, moderasi akan secara otomatis terimplementasikan.

Jelas, moderasi dalam Islam bukanlah antitesis ekstremisme belaka, tetapi hal-ihwal menemukan keseimbangan dalam segala hal. Interaksi sesama, berbicara, berpikir, dan bertindak secara proporsional serta bijaksana merupakan ciri orang moderat. Dengan menerapkan spirit moderasi, konflik akan terhindarkan dan kerukunan antarumat akan semarak. Tawazun dan tasamuh, intinya.

Karena itu, dalam suasana Ramadan yang penuh berkah, menyemai spirit moderasi adalah keniscayaan. Faktanya, Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang meningkatkan kesadaran moral dan spiritual. Menjadi agen kedamaian dan toleransi termasuk suksesnya seseorang mendapat keberkahan Ramadan. Sebaliknya, terjerumus dalam gerilya radikalisasi adalah bukti bangkrutnya amal dan pahala Ramadhan seseorang.

(Ahmad Khoiri)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button