Civil Society, Muhammadiyah, dan Jihad Menangkal Ekstremisme

Salafusshalih.com – Muhammadiyah sedang menjadi sorotan karena menerima izin usaha tambang yang diberikan pemerintah. Banyak netizen menyayangkan dan menuduh semua civil society sudah tidak lagi mengindahkan keinginan rakyat. Namun tulisan ini tidak hendak mengulas Muhammadiyah sebagai civil society dalam hal konsesi tambang, melainkan jihad menangkal ekstremisme.
Untuk diketahui, sebagai civil society, Muhammadiyah telah menunjukkan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang. Dalam pendidikan, misalnya, Muhammadiyah mengelola ribuan sekolah, madrasah, dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui pendidikan, civil society tersebut menanamkan nilai-nilai moderasi dan toleransi, membentengi generasi muda dari kubangan ekstremisme.
Selain itu, dengan jaringan rumah sakit dan klinik yang luas, Muhammadiyah juga berkhidmat untuk Masyarakat di bidang kesehatan. Itu semua dalam rangka jihad, yang bermakna upaya sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebaikan dan mencegah keburukan. Namun, jihad menangkal ekstremisme sendiri mengemuka dalam tubuh Muhammadiyah melalui cita-cita moderasi beragama.
Dalam menjalankan perannya, Muhammadiyah menghadapi sejumlah tantangan, termasuk resistensi dari kelompok-kelompok ekstrem dan menjaga semangat moderasi di antara anggotanya. Melalui jihad yang istikamah dan kontinu, Muhammadiyah berperan penting dalam menjaga keutuhan bangsa, menciptakan masyarakat moderat, dan menyelamatkan tatan sosial dari destruksi ekstremisme.
Ekstremisme Menghancurkan Tatanan Sosial
Kalau mau disebutkan berdasarkan hierarki, ekstremisme berada di antara dua titik, di tengah-tengah antara radikalisme dan terorisme. Jika radikalisme bercita-cita mengganti sistem negara, meka perlu digarisbawahi, perjuangannya hanya di narasi belaka. Tetapi ekstremisme satu langkah lebih jauh dan lebih riskan dari radikalisme tadi. Ekstremisme bercita-cita mendelegitimasi pemerintah melalui doktrin dan pergerakan.
Para ekstremis tidak segan tindakan anarkis yang dilakukan untuk menyusul cita-citanya itu. Namun perlu digarisbawahi pula, keanarkisannya selevel lebih rendah daripada terorisme. Ekstremisme tidak meledakkan bom, melainkan melakukan intimidasi, persekusi, sweeping, dan sejenisnya. Tentu saja terlepas dari susuan hierarkisnya, ketiganya sama-sama sangat berbahaya, dan pelaku dari ketiganya tidak hanya satu agama, Islam misalnya.
Dengan demikian, mengidentikkan patologi agama seperti ekstremisme hanya ada dalam Islam adalah kekeliruan fatal. Jihad memerangi ekstremisme yang ditempuh Muhammadiyah adalah manifestasi pembelaan terhadap kemurnian kebelaskasihan agama. Perlu bahu-membahu semua elemen: pemerintah dan tokoh agama, sementara civil society berperan sebagai penggeraknya.
Orientasi jihad Muhammadiyah adalah lanjutan dari konsep Islam Berkemajuan yang diusungnya. Ada beberapa hal yang hendak dilakukan Muhammadiyah, yaitu mendorong pembaruan penegakan hukum yang sesuai dengan hukum internasional di tingkat negara, dan pembaruan bidang pendidikan dan kebudayaan di tingkat akar rumput (grass root). Ujung jihad tersebut ialah terealisasinya moderasi beragama.
Moderasi Sebagai Tujuan
Jika Nahdlatul Ulama (NU) punya konsep Islam Nusantara, Muhammadiyah punya konsep Islam Berkemajuan. Sekalipun berbeda istilah, esensinya sama, yaitu menyuarakan pandangan keagamaan moderat. Moderat sendiri bisa bermakna sebagai antonim ekstremisme, yakni tengah-tengah antara ekstrem dan lembek; antara rigid dan liberal. Namun, memberantas patologi sosial-keagamaan jelas tidak cukup dilakukan satu pihak.
Semua kekuatan civil society harus dikerahkan. Masing-masih bisa bergerak dengan gagasannya sendiri, yang jelas muaranya harus sama: memperjuangkan moderasi atau wasatiah. Agama lain pun juga demikian. Perlu pelurusan paham agar ekstremisme tidak merusak citra agama itu sendiri. Ekstremisme tidak ada sangkut-pautnya dengan agama manapun. Tidak Islam, Kristen, tidak juga Hindu-Buddha.
Apa yang dijihadkan Muhammadiyah dengan demikian tidak dalam rangka memerangi suatu pandangan keagamaan, melainkan memerangi patologi keagamaan. Kampanyea Islam moderat harus bertolak dari masing-masing umat Islam itu sendiri. Muhammadiyah—juga demikian NU—adalah mediator moderasi beragama. Seluruh umat Islam itulah aktornya, dan ekstremisme sebagai musuh bersama.
Muhammadiyah sebagai civil society memiliki peran strategis dalam jihad menangkal ekstremisme, dengan berupaya mewujudkan masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam moderat dan inklusif. Tantangan yang ada harus dijawab dengan inovasi dan kerja sama, menjadikan Muhammadiyah berada di front terdepan dalam upaya menciptakan Indonesia yang bebas dan steril dari ekstremisme dan terorisme.
(Ahmad Khoiri)