Ilmu, Tafsir, dan Mikrofon: Syaiful Karim dan Tafsir yang Terlalu Jauh
Salafusshalih.com – Di era digital ini, siapa saja bisa berceramah. Mikrofon terbuka, YouTube menyala, dan ribuan orang tinggal klik “subscribe.” Tapi apa yang terjadi jika mikrofon itu dipegang oleh seorang dosen fisika, lalu ia menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendekatan yang membuat alis para ulama terangkat?
Itulah yang terjadi pada Syaiful Karim, dosen fisika di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), pendiri Pondok Pesantren Misykatul Anwar di Cimahi, dan kini: dai yang viral karena salah tafsir. Atau (dalam istilah MUI) “ngaco.”
Tafsir ‘Al-Qari’ah’
Kontroversi bermula saat ceramah Syaiful yang menafsirkan Surah Al-Qari’ah menjadi “pembaca perempuan” tersebar di media sosial. Menurutnya, kata al-qari’ah berasal dari akar kata yang bisa dihubungkan ke makna “perempuan pembaca”.
Masalahnya, tafsir ini melompat pagar ilmu tafsir yang sudah mapan. Dalam khazanah klasik, al-qari’ah secara konsisten dimaknai sebagai salah satu nama Hari Kiamat, karena getarannya yang mengguncang hati dan menghancurkan tatanan dunia. Tafsir ini dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir besar dari Imam Al-Thabari, Ibn Kathir, hingga Al-Razi.
Tentu saja, tafsir Syaiful Karim langsung mengundang reaksi keras. MUI menegaskan tafsir itu menyesatkan dan menyerukan agar umat tidak mengikuti ceramahnya. Akademisi Al-Qur’an pun ikut bicara: “Bukan cuma salah, tapi membingungkan.”
Tapi menariknya, sebagian masyarakat justru penasaran dan tertarik. Ceramah Syaiful yang menggabungkan fisika kuantum, tasawuf, dan kontemplasi eksistensial terasa segar di tengah dakwah yang kadang terlalu repetitif. Maka, kita pun terbelah: antara yang geleng-geleng dan yang justru angguk-angguk.
Antara Niat Baik dan Kekeliruan Akademik
Melihat latar belakangnya, Syaiful Karim memang bukan sosok sembarangan. Ia adalah lulusan Fisika IKIP Bandung dan ITB, peneliti bidang material elektronik, dan aktif mengajar serta membina pesantren. Ia mengusung semangat “tasawuf modern”, sebuah pendekatan yang mencoba mendamaikan agama, sains, dan pencarian makna hidup.
Namun, niat baik tak selalu berujung pada kebenaran ilmiah. Di sinilah masalahnya: ceramah tentang tafsir Al-Qur’an bukan sekadar soal opini, tetapi tentang ilmu yang bersandar pada metodologi, sanad keilmuan, dan penguasaan bahasa Arab tingkat tinggi.
Seorang profesor fisika bisa menjelaskan prinsip entanglement, tapi belum tentu bisa menafsirkan al-zinah dalam Surah Al-A’raf. Tafsir bukan lintas jurusan. Tafsir adalah lintas generasi ulama.
Tafsir, YouTube, dan Dunia Digital
Kasus ini juga jadi cermin besar bagi umat. Di zaman algoritma, siapa pun bisa jadi ustaz dalam semalam. Dan yang viral sering dianggap paling benar. Padahal, ilmu tidak ditentukan oleh jumlah view, tapi oleh kedalaman sanad dan adab mencari ilmu.
YouTube telah mengubah panggung dakwah. Tapi bukan berarti semua yang naik panggung itu siap. Ada yang berniat mencerahkan, tapi justru menggelapkan. Ada yang ingin memperluas wawasan, tapi malah menyebarkan kebingungan.
Mari Kita Refleksi
Dalam sebuah wawancara, Syaiful Karim menyatakan bahwa ia hanya ingin menjelaskan Al-Qur’an secara lebih ilmiah dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Tidak ada niat menyesatkan. Mungkin kita bisa mengapresiasi niatnya, tapi tetap mewajibkan kehati-hatian. Karena Al-Qur’an bukan ruang eksperimen.
Kata Imam Al-Ghazali, “Barang siapa berbicara dalam agama tanpa ilmu, maka dia telah menghancurkan dirinya dan orang lain.”
Kita boleh kreatif dalam berdakwah. Tapi saat sudah menyentuh wilayah tafsir dan akidah, satu hal tidak boleh dilupakan: hati-hati. Karena Al-Qur’an bukan papan tulis yang bisa dihapus dan ditulis ulang sesuka hati.
(Ulul Albab)