Internalisasi Hubbul Wathan Minal Iman Untuk Menangkal Radikalisme
Salafusshalih.com – Maraknya kasus terorisme yang terjadi di Indonesia membuat pertanyaan besar bagi warga masyarakat sendiri. Ketika kasus radikalisme menjamur berarti harus ada yang dipertanyakan dari dalam diri setiap warga negara Indonesi yakni mengenai jiwa nasionalismenya.
Mempertanyakan seseorang yang rela mempertaruhkan jiwa, raga bahkan nyawanya atas dalih jihad. Hal tersebut dilakukan justru merusak keutuhan Negara Republik Kesatuan Indonesia (NKRI). Indonesia tanah tempat bernaung justru dirusak dengan dalih mempertahankan kemurnian Islam.
Nasionalisme adalah harga mati bagi setiap warga yang hidup dan menggantungkan hidupnya di negara tersebut hal ini dilakukan atas wujud kepatuhan terhadap dasar negara yakni Pancasila. Dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan semua yang mengikuti Pancasila adalah orang-orang yang bertuhan. Dan menjadi nasionalis bukan berarti tidak memiliki agama, kendati demikian beragama dan bernegara dapat berjalan berdampingan.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, ras, dan agama, dengan perbedaan demikian tidak menjadikan perpecahan dan pemisah antara setiap warganya, semua masyarakat harus guyup rukun dan menjunjung nilai toleransi bukan hanya dengan ia yang sekufu, se-keyakinan, namun juga kepada mereka yang berbeda keyakinan.
Hal ini yang akan mewujudkan sila ketiga dalam Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia”. Ketika Indonesia bersatu maka rakyat akan mendapatkan sila kelima dalam Pancasila yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Dalam beberapa kasus beberapa oknum justru mencederai rasa nasionalisme, mereka ingin mengubah dasar negara dan mengganti dengan yang mereka anggap benar dan sesuai syariat. Ini merupakan bukti bahwa kaum ini belum memahami makna nasionalisme yang sebenarnya. Dengan lantangnya kaum mereka menyerukan bahwa sikap nasionalisme kafir, Pancasila adalah taghut, mengharamkan hormat bendera, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah kafir karena lagu itu tak seharusnya dilantunkan sebagai seorang muslim yang kaffah.
Apabila tidak diputus matarantainya gerakan-gerakan radikal ini akan mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk memusuhi dan menebar bendera perang terhadap negaranya sendiri. Dari adanya berbagai pertentangan terdapat beberapa pihak yang memanfaatkan kondisi ini dan memperkeruh suasana.
Pemberitaan yang beredar digoreng sedemikian rupa oleh para pentolan-pentolan gerakan terorisme untuk menyatukan niat dan presepsi mengganti ideologi bangsa dan negara Indonesia. Kelompok ini menginginkan terbentuknya “negara Islam” yang tanpa mereka sadari bahwa Indonesia terdiri dari berbagai agama, ras dan suku bangsa. Kelompok radikal, yang kaku dan dengan pemikiran ingin menegakkan khilafahi ini merupakan bukti kesempitan berpikir para kaumnya.
Internalisasi Cinta Tanah Air
Lahirnya gagasan nasionalismen dipelopori oleh Sarekat Islam, Budi Utomo, dan beberapa organisasi lainnya, kendati demikian kini kedua organisasi tersebut telah bubar. Organisasi yang masih lestari dalam pelopor gerakan nasionalisme adalah Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi NU adalah penerus gerakan nasionalisme yang memiliki afiliasi dan bernafaskan Islam yang ramah. Pemikiran mengenai cinta tanah air, nasionalisme, dikemas dalam bingkai Hubbul Wathan Minal Iman yang tak lepas dari peran para ulama dan berbagai kiai Nusantara khususnya kiai-kiai NU.
Secara bahasa hub memiliki makna cinta, wathan bermakna tanah air (bangsa), dan minal iman berarti sebagian dari iman. Jadi makna Hubbul Wathan Minal Iman adalah cinta tanah air adalah bagian dari iman. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap nasionalisme adalah bagian dari iman. Konsep Hubbul Wathan Minal Iman ini merupakan pemikiran para kiai NU yang melatarbelakangi semangat nasionalisme yang tumbuh diberbagai elemen masyarakat.
Konsep ini digagas pertama kali oleh kaum pesantren, salah satunya adalah KH. Abdl Wahab Chasbullah beliau adalah salah satu pendiri dan sesepun NU. Lahirnya konsep Hubbul Wathan Minal Iman ini juga diaminkan oleh Presiden Soekarno atas restu berbagai ulama. Pengabdian Hubbul Wathan Minal Iman tidak sekadar dijadikan sebagai jargon, namun dikalangan NU konsep ini diabadikan sebagai lagu yang dikenal dengan lagu Syubbanul Wathan atau Yalal Wathan.
Pada tahun 1934, KH. Abdul Wahab Chasbullah merumuskan lagu Syubbanul Wathan dengan lirik sebagai berikut:
Ya Lal Wathan Ya Lal Wathan Ya Lal Wathan
Hubbul Wathan minal Iman
Wala Tajun minal Hirman
Inahadlu Alal Wathan
Indonesia Biladi
Anta ‘Unwanul Fakhoma
Kulu May Ya’tika Yauma
Thomihay Yalqo Himama
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintamu dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintamu dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Indonesia Negeriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancamm
Kan Binasa di bawah dulimu
Lahirnya lagu ini sebagai salah satu suntikan semangat untuk para pemuda dalam menyulut semangat nasionalisme. Dalam perjalanannya Nahdlatul Ulama selalu mengawal Indonesia dari era sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Meskipun NU adalah organisasi Islam, namun NU tidak pernah mendukung organisasi-organisasi yang ingin mendirikan negara Islam, negara Khilafah dengan dalil pemurnian Islam.
NU selalu konsisten untuk senantiasa menginternalisasikan Hubbul Wathan Minal Iman. Gagasan para Kiai NU mengenai internalisasi konsep Hubbul Wathan Minal Iman ialah gabungan dari spirit Islam dan kebanggaan. Sebelum kemerdekaan konsep Hubbul Wathan Minal Iman digunakan sebagai semangat melawan penjajah, namun kini konsep ini digunakan untuk menangkal radikalisme.
Semakin hari banyak organisasi maupun kelompok-kelompok yang menginginkan terbentuknya Negara Islam yang berdiri di tanah Indonesia, gerakan-gerakan mereka dilakukan di bawah tanah maupun terang-terangan. Doktrin-doktrin pemurnian Islam mereka gunakan untuk merekrut para anggota. Dengan adanya internalisasi konsep Hubbul Wathan Minal Iman diharapkan dapat menjadi benteng generasi muda dan seluruh rakyat Indonesia ketika didera oleh kaum-kaum radikalis.
(Anisa Rachma Agustina)