“Kampung Salafi”, Momok Masalah Kebangsaan Hari Ini?
Salafusshalih.com – Sebelumnya sudah saya beberkan, keberadaan kampung salafi di Sukoharjo. Bagaimana penghuninya, bisnis, dan lokasi tempat di Sukoharjo. Sebuah kampung di mana ia dirancang untuk mengkampanyekan salafisme.
Sebenarnya kampung salafi tidak hanya ada di Sukoharjo. Di sejumlah daerah sudah banyak kampung-kampung atau perumahan, yang mengedarkan ideologi salafisme. Misalnya, di daerah Depok, Bekasi, hingga Yogyakarta. Di sana, ditemukan beberapa perumahan atau kluster yang dirancang khusus penghuni Muslim, dan muslimnya adalah muslim salafi.
Memiliki Peradaban
Kampung salafi di beberapa daerah telah teredar jauh hingga seperti memiliki peradaban sendiri. Mereka membuat pondok, sekolah, masjid, lapangan olahraga, dan sebagainya.
Banyaknya kampung salafi di beberapa titik, ada kekhawatiran dari masyarakat sekitar. Gejala-gejala tersebut, juga menambah bangkitnya segregasi dan intoleransi yang semula sangat diantisipasi oleh masyarakat muslim di Indonesia. Seperti terlihat di Sukoharjo, banyak anak-anak yang berbeda paham dengan orang salafi, malah seperti diintimidasi karena beda pemikiran dan keyakinan perihal agama dan konsep negara (meski ini tidak terlalu besar efeknya).
Mereka ingin memperlihatkan keislamannya di tengah-tengah masyarakat. Para penghuni kampung salafi ini berupaya ingin kembali kepada kehidupan yang Islami. Jadi, semuanya harus beragama Islam, sama-sama aliran salafi, dan juga sama-sama memiliki semangat berjuang akan agama dan kenegaraan. Sama seperti perumahan syariah, kampung salafi melarang warga non-Islam menjadi penghuninya.
Di kampung salafi ini penghuninya harus nurut kepada aturan-aturan yang diberlakukan atau yang telah disepakati. Mereka diwajibkan mengenakan hijab dan mensyaratkan tata aturan lainnya disesuaikan dengan hukum Islam. Apabila ada penghuni tidak nurut dengan aturan di atas, maka ada konsekuensi logis dan dampak moral yang akan mereka terima.
Bukan Strategi Marketing
Sebenarnya, kampung salafi tidak terlalu beda dengan perumahan syariat. Jika perumahan syariat dilekatkan dengan perumahan khusus muslim, yang kesannya hanya sebagai strategi marketing dari developernya saja, untuk masuk ke segmen yang mereka garap. Kampung salafi ini juga marketing dari sang ideolog salafi dalam mengedarkan ideologi salafisme ke masyarakat luar, secara bebas, liar, tapi fanatik. Di sinilah masalahnya. Orang-orang ini nantinya memiliki pemahaman yang sempit, yang berujung pada intoleransi, dan pada akhirnya mendekat pada pemahaman terorisme.
Gejala kampung salafi tidak hanya terjadi di perkotaan dan di kalangan kelas menengah ke atas, seperti yang dikatakan oleh banyak para peneliti. Kampung salafi ini hari justru merebak di kampung-kampung dan di kalangan kelas menengah ke bawah. Ini terjadi, karena adanya semangat keagamaan berlebih, pengentalan politik agama di satu sisi, dan kecenderungan untuk menciptakan ruang keagamaan eksklusif di sisi lainnya.
Ancaman Intoleransi
Hadirnya dan berkembangnya kampung salafi memutus ruang perjumpaan di kalangan muslim tertentu, karena secara sadar mereka membangun garis damarkasi bahwa yang lain salah dan mereka benar. Mereka menolak untuk berbaur, namun secara halus mereka ingin menjelek-jelekkan yang berbeda, lalu ingin memasukkan ideologinya. Maka itu, jika perumahan atau perkampungan salafi ini dibiarkan, ruang perjumpaan sosial untuk mendorong toleransi semakin sempit. Yang melebar justru hanyalah bongkahan-bongkahan intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Sudah banyak Densus yang menemukan bahkan menahan teroris yang tinggal di perumahan dan kampung salafi ini. Mereka sangat semangat dalam beragama yang mereka yakini, tapi menarik batas dalam kehidupan sosial. Seperti kata Mohammad Iqbal Ahnaf, kampung salafi ini, menjadi kekhawatirkan dan ancaman nyata karena telah menjadi basis safe haven bagi ekstremisme. Yang nantinya menghilangkan bentuk kultur toleransi di masyarakat kita.
Lalu apa yang bisa diupayakan? Salah satunya adalah kita harus berhati-hati dan mencermati perkembangan penghuni kampung salafi ini. Selain itu, kita mendorong pemerintah untuk melakukan pembongkaran terhadap konsep-konsep kampung salafi ini. Serta juga, pemerintah memberikan aturan khusus yang mengatur soal perumahan yang harus heterogen.
Seharusnya, keberadaan kampung atau perumahan tidak boleh didasarkan kepada latar belakang agama. Kampung-kampung atau perumahan harus mengacu pada UUD 1945 pasal 28, bahwa setiap warga negara berhak atas perumahan dan lingkungan yang layak. Sebuah kampung yang ideal, adalah kampung yang tidak membedakan suku, agama, ras dan golongan. Jika ini bisa terealisasikan, maka intoleransi dan pergerakan salafisme di Indonesia akan menurun.
(Agus Wedi)