Hukum Non Muslim Ibadah di Dalam Masjid
Salafusshalih.com – Berpuluh abad lampau, persoalan ini sesungguhnya sudah lama sekali dibicarakan para ulama. Mereka berbeda pendapat soal itu dengan segenap argumen dan perspektifnya atau kecenderungan ideologinya masing-masing. Ada hadis mengenai hal ini, tetapi ditanggapi secara berbeda, terutama dari sisi validitasnya (keshahihannya). Ini dikemukakan oleh antara lain Ibnu Ishaq, ahli sejarah Islam klasik.
Syahdan, suatu hari yang cerah di Madinah, Nabi Saw. kedatangan rombongan umat Nasrani, berjumlah sekitar 60 orang. Beliau lalu menyambutnya dan menempatkannya di masjidnya yang agung menurut seorang perawi, ketika rombongan sampai di sana, Nabi Saw. sedang melaksakan shalat Asar.
Tak lama kemudian, tiba waktu kebaktian mereka. Disebutkan di situ: “Fashallu fihi” (mereka shalat di situ). Para sahabat keberatan jika mereka melaksanakannya di masjid. Namun, Nabi Saw. mengatakan:
دعوهم فاستقبلوا المشرق، فصلوا صلاتهم
“Biarkanlah mereka melaksanakan ibadahnya di masjid itu.” Mereka lalu berdiri menghadap ke Timur dan melakukan shalat (kebaktian).
Usai melaksanakan ibadah itu, mereka mengajak Nabi Saw. berdiskusi soal ajaran agama. Beliau menyambutnya dengan senang hati dan pikiran terbuka. Manakala mereka kalah dalam berdebat, Nabi Saw. tidak memaksa mereka masuk Islam. Beliau memberikan kebebasan memilih.
Hadis itu diakhiri dengan kata-kata yang menarik:
وقد أسلم بعضهم بعدما رجعوا إلى نجران
“Ketika mereka kembali ke Najran (desa tempat tinggal mereka), sebagian dari mereka masuk Islam.”
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ulama besar, ahli hadis murid utama Ibnu Taimiyah, mengatakan dalam karyanya Ahkam Ahl adz-Dzimmah, 1/397:
وقد صح عن النبي صلى الله عليه واله وسلم أنه أنزل وفد نصارى نجران فى مسجده وحانت صلاتهم فصلوا فيه وذلك عام الوفود
“Ada hadis shahih bahwa Nabi Saw. menerima utusan komunitas Nasrani Najran, di masjidnya, lalu tiba waktu shalat mereka. Mereka pun shalat di situ. Ini terjadi pada tahun datangnya para delegasi dari luar negeri.”
Ibnu Qayyim juga menyampaikan hal yang sama dałam karya besarnya, Zadul-Ma’ad, juz III, hlm. 549. Ibnu Qayyim selanjutnya menjelaskan bahwa kebolehan non muslim shalat di masjid tersebut sepanjang diperlukan dan tidak menjadi kebiasaan.
Ibnu Hajar al-Asqalani dałam kitabnya yang terkenal, Fathul Bari, komentar atas kitab Shahih Bukhari, juz II, hlm. 107, mengatakan bahwa masalah ini diperdebatkan ulama fikih. Mazhab Hanafi membolehkan orang non muslim masuk masjid mana pun, tak terkecuali Masjidil Haram.
Mazhab Maliki melarang sama sekali. Mazhab Syafi’i membolehkan selain di Masjidil Haram. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan dalam kitabnya Fathul Bari, dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mazhab Hanafiyah membolehkan. Mazhab Maliki dan AI-Muzani dari Mazhab Syafi’i melarang. Mazhab Syafi’i secara umum membedakan antara Masjidil Haram dan selainnya, sesuai dengan ayat. Ada yang berpendapat boleh hanya untuk Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) berlandaskan suatu hadis. Namun, hadis tersebut menolak hukum kebolehan ini. Sebab, Tsumamah bukanlah seorang Ahli Kitab, Yahudi atau Nasrani.
Uraian tentang pandangan para ahli fikih tersebut berikut argumentasi mereka cukup panjang. Pertanyaan kita ialah: mengapa tidak boleh? Apa yang salah dari mereka (non muslim) sehingga dilarang masuk dan shalat di masjid? Yang dibutuhkan oleh pertanyaan ini bukan soal sanad (transmisi) hadis, tetapi logikanya, reasoning-nya, rasio logisnya? Jika larangan itu terjadi dalam situasi permusuhan, konflik, atau perang, maka wajar, larangan tersebut bisa dipahami.
Bagaimana jika dalam situasi damai seperti sekarang?
Demikian penjelasan hukum Islam terkait non muslim yang beribadah di masjid. Kita tidak bisa serta merta mencomot pendapat ulama di atas berdasarkan kecondongan nafsu. Karena ulama berpendapat seperti itu tidak kosong dari ruang dan waktu, pasti ada latar belakangnya.
(As’ad Humam)