Memberantas Total Pergerakan dan Propaganda HTI di Lembaga Pemasyarakatan

Salafusshalih.com – Gerilya para aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) telah menemui titik terang. Pada tulisan-tulisan sebelumnya, sejumlah elemen penting berhasil diungkap, mulai dari agenda mereka, kepentingan mereka, cara mereka bergerak, dan cara mereka bertahan atau aman dari jeratan hukum. Berikutnya yang penting untuk dibahas adalah, bagaimana menebus semua keteledoran Lapas tersebut, atau, bagaimana memberantas total pergerakan dan propaganda HTI di sana?
Penting untuk dicatat, seluruh data tentang HTI adalah valid. Tidak ada unsur hoaks atau fitnah, semua suguhan gagasan adalah untuk mengungkap apa yang tersembunyi dari masyarakat luas. HTI sekalipun sudah dibubarkan, diasporanya masih tidak terhitung. Hal ini penting untuk menyamakan persepsi, menepis kecurigaan bahwa semua ini adalah usaha memojokkan HTI dan aktivisnya. Alih-alih untuk kepentingan pribadi, semua ini adalah demi menyelamatkan Indonesia.
Ada dua hal mengapa mengungkap dan memberantas HTI merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Pertama, spektrum pergerakan mereka. Meningginya religiusitas masyarakat yang disertai semakin tingginya intoleransi bukan sesuatu yang kebetulan. Ada sesuatu di situ, yakni masifnya indoktrinasi isme-isme yang eksploitatif terhadap Islam. Masyarakat diajarkan ngaji Al-Qur’an tapi untuk menyemarakkan eksklusivisme, dan diajarkan sejarah Islam untuk menyemarakkan khilafahisme.
Kedua, fluktuasi perhatian masyarakat dan pemerintah. Kalau hendak jujur, sebenarnya masyarakat anti-HTI itu sangat banyak. Upaya kontra-narasi dari pemerintah pun juga sangat masif. Namun, baik masyarakat maupun pemerintah bersifat fluktuatif terhadap HTI, dan kelengahan tersebut kemudian dimanfaatkan para aktivis HTI untuk beraksi. Sampai akhirnya semua orang kebobolan. HTI bergerak tanpa sepengetahuan, dan ironisnya Lapas yang notabene milik pemerintah juga kecolongan.
Untuk itu, memberantas HTI secara total mesti jadi komitmen bersama. Tidak ada toleransi bagi mereka, sebagaimana mereka tidak akan menoleransi perbedaan. Dua hal bisa ditempuh untuk merealisasikannya, yakni memahami kamuflase dan melacak para aktor HTI itu sendiri. Dari dua hal ini, tindak lanjutnya hanya satu: menindaknya secara hukum.
Memahami Kamuflase
Propaganda khilafah di Indonesia dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya, seperti ditempuh Salafi-Wahhabi, adalah menarasikan degradasi syariat. Syariat yang ada saat ini, di Indonesia, dituduh tercemar ajaran-ajaran lokal yang bid’ah—tidak diajarkan Nabi. Untuk itu, propaganda mereka adalah ihwal berdirinya komunitas eksklusif yang murni dalam menjalankan syariat. Jemaah tabligh, sebagai contoh, yang mendekati Wahhabi secara ideologi, selalu bicara soal gerakan khaira ummah.
Propaganda lain yang sama-sama bertujuan mendirikan komunitas eksklusif di bawah panji Islam adalah dengan menarasikan degradasi moral. Masyarakat saat ini dianggap krisis moral, terlalu cinta dunia, terlena oleh sistem dunia dan melupakan sistem Islam. Untuk itu, komunitas ini mendesak masyarakat untuk segera hijrah agar terhindar dari sistem dunia yang dihegemoni kafir, yakni liberalisme, sekularisme, dan kapitalisme. Para aktivis HTI memainkan propaganda ini.
Baik degradasi syariat maupun degradasi moral jelas tidak lebih dari siasat belaka. Siasat HTI yang bisa dikategorikan cerdik adalah mengajarkan masyarakat apa yang seharusnya ketahui—dan orang lain tidak akan menginterupsinya—lalu menyelipkan doktrin-doktrin di bagian akhir. Gerilya mereka di Lapas memanfaatkan peluang ini sebagai taktik kamuflase. Jadi mereka mengajarkan Al-Qur’an, yang para napi memang membutuhkannya, lalu kelas mereka akan diseret masuk dalam komunitas mereka.
Jimat terampuh untuk membeli seseorang adalah hutang budi. Orang-orang HTI di Lapas bersikap royal, membagi-bagikan nasi dan lainnya, dan lemah-lembut terhadap mereka. Hati para napi disentuh hingga tumbuh militansi. Kelak ketika bebas, Metode Tahrir yang diajarkan kepada mereka mungkin sudah lagi berupa metode baca Al-Qur’an, tetapi menjurus hal-hal ideologis berupa militansi kepada Hizbut Tahrir itu sendiri. Artinya, tujuan para aktor HTI tercapai sempurna.
Melacak Para Aktor
Tidak sulit untuk melacak para aktor Yayasan Cinta Quran Foundation dan Yayasan Indonesia Bisa Ngaji, sebagaimana tidak sulit untuk melecak bahwa mereka adalah para aktivis khilafah yang sedang bergerak tebarkan propaganda di Lapas. Pelacakan para aktor bisa dilakukan dengan memahami struktural kedua yayasan tersebut, lalu memilahnya sesuai intensitas gerakan; memahami tingkat kebahayaan masing-masing mereka, lalu menindaknya secara hukum.
Di Cinta Quran Foundation ada Fatih Karim sebagai Dewan Pembina, Ketua Yayasan Hadi Azis Pratama, Sekretaris Ivan Sopian, Bendahara Ayu Lestari, Editorial Jajang Hartono dan Ulfa Mu’adhotin Qori’ah, Content Management Fikar Harakan dan Aulia Nur Hasan, Fotografer Fatih Solahuddin, Distributor Syafaat Nuryadi, Helmi Oky Purnama dan Boby Kurniawan, Kontributor Ulfa Mu’adhotin Qori’ah, Dita Neviyanti, Muhammad Zainuddin, Ali Rahmat, Amanda Dwi Praharani, Faqih Zulfikar, Fatih Solahuddin, Dinah Asraf Anaqah Syam, Lola Siti Hadriani, Siti Kharismayanti, dan Siti Sholihat.
Adapun di Yayasan Indonesia Bisa Ngaji ada Rezaldi Harisman sebagai Pembina, Nurdin Soga sebagai ketua, Indra Lesmana sebagai sekretaris, Hasan Syarif Nugaraha sebagai Bendahara, Khoiril Amin selaku pengawas dan masih banyak lainnya.
Aktor-aktor tersebut memang tidak familiar, tetapi masing-masing memiliki latar belakang ke-HTI-annya sendiri. Ada yang dari Gema Pembebasan, ada juga yang baru direkrut. Ada juga yang dari media HTI, dengan menyamarkan sebagai identitas aslinya. Dengan memahami kamuflase-kamuflase HTI dan men-tracing para aktornya, tindakan-tindakan preventif sangat mudah dilakukan. Apakah harus dengan penangkapan, itu terserah. Yang jelas, propaganda HTI terutama di Lapas tidak boleh dibiarkan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
(Ahmad Khoiri)