Menyiapkan Generasi Hebat Dengan Menanamkan Adab Sejak Kecil

Salafusshalih.com – Pendidikan sejati bukanlah semata-mata soal angka, peringkat, atau kemampuan akademik. Ia adalah proses panjang membentuk manusia seutuhnya—bukan hanya otaknya, tetapi juga hatinya. Di sinilah letak keutamaan pendidikan sopan santun dan budi pekerti, terutama pada masa usia emas anak-anak, yakni sejak usia dini hingga menjelang remaja.
Pada masa-masa ini hati dan jiwa anak masih jernih. Segala hal yang mereka lihat, dengar, dan rasakan akan membentuk pola pikir serta sikap yang akan mereka bawa hingga dewasa. Maka, menanamkan nilai-nilai adab, tata krama, dan akhlak mulia menjadi tugas yang tidak bisa ditunda atau digantikan oleh pencapaian akademik apa pun.
Salah satu contoh menarik datang dari Jepang. Di negeri matahari terbit itu, anak-anak tidak diberikan ujian akademik hingga usia mereka menginjak sekitar 10 tahun. Bukan karena mereka mengabaikan pentingnya pendidikan formal, melainkan karena mereka lebih memprioritaskan pembentukan karakter pada masa awal pertumbuhan.
Dalam tiga tahun pertama sekolah dasar, fokus utama bukan pada ujian atau rapor, melainkan pada nilai-nilai moral seperti rasa hormat kepada orang tua, guru, dan teman; kesadaran menjaga kebersihan; kebiasaan menolong sesama; serta pentingnya kedisiplinan dan tanggung jawab.
Apa yang dilakukan Jepang ini sejatinya merupakan pengejawantahan dari prinsip yang juga diajarkan dalam banyak ajaran agama dan nilai-nilai luhur bangsa kita: bahwa akhlak adalah mahkota peradaban, dan bahwa manusia yang baik bukan hanya yang cerdas, tetapi yang tahu cara menghormati orang lain, menahan diri, dan bersikap santun.
Dalam konteks pendidikan nasional, pelajaran budi pekerti seharusnya bukan hanya tempelan di dalam kurikulum, atau sekadar nama mata pelajaran yang diujikan. Ia adalah ruh dari keseluruhan proses belajar. Seorang anak yang terbiasa mengucapkan kata “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih” dalam kesehariannya telah menyerap pelajaran yang jauh lebih dalam daripada sekadar bisa menghitung cepat atau menghafal definisi ilmiah.
Anak-anak yang diajari untuk mendengarkan sebelum berbicara, membantu teman yang kesulitan, serta mengembalikan barang yang bukan miliknya, telah memiliki bekal untuk menjadi warga masyarakat yang amanah dan peduli.
Pendidikan budi pekerti sejatinya juga menjadi benteng dari berbagai krisis moral yang makin sering kita saksikan: intoleransi, kekerasan di sekolah, perundungan, hingga lunturnya sopan santun dalam percakapan sehari-hari.
Anak-anak yang tidak diberi ruang untuk belajar sopan santun di rumah dan sekolah akan tumbuh dengan kepribadian kering dan kasar. Mereka mungkin pandai dalam teknologi dan logika, tetapi tidak tahu cara meminta maaf dengan tulus atau memperlakukan orang tua dengan penuh hormat.
Menanamkan adab bukan perkara instan. Ia bukan hasil dari satu kali ceramah atau hukuman. Ia tumbuh dari keteladanan dan kebiasaan yang konsisten. Guru yang menyapa murid dengan senyum hangat, orang tua yang membiasakan mengucapkan salam saat masuk rumah, serta anak-anak yang dilatih merapikan kembali tempat duduk setelah digunakan—semua itu adalah pelajaran budi pekerti yang membentuk karakter dari dalam.
Di Jepang, murid-murid membersihkan kelas dan sekolah mereka sendiri setiap hari. Mereka tidak menggaji petugas kebersihan untuk melakukannya. Mengapa? Karena mereka ingin menanamkan rasa tanggung jawab dan kebersamaan.
Anak-anak belajar bahwa tempat belajar bukanlah ruang tak bernyawa, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dihargai dan dijaga bersama. Bahkan saat makan siang, mereka tidak makan di kantin, melainkan bersama di kelas, menyajikan makanan secara bergiliran. Proses ini bukan semata-mata rutinitas, melainkan pelajaran konkret tentang kerja sama, saling melayani, dan menghargai rezeki.
Filosofi pendidikan Jepang mengakar pada keyakinan bahwa membentuk manusia yang berperilaku baik jauh lebih penting daripada hanya mengejar nilai akademik sejak dini. Mereka menyadari bahwa kecerdasan intelektual bisa berkembang bila fondasi moralnya kokoh. Namun sebaliknya, bila moral rusak, sehebat apa pun kepandaian seseorang bisa menjadi malapetaka.
Prinsip ini seharusnya menjadi cermin bagi kita. Kita bisa belajar banyak, bukan untuk meniru sepenuhnya, melainkan untuk menggali kembali nilai-nilai luhur bangsa kita sendiri yang sebenarnya juga sangat menjunjung tinggi etika, tata krama, dan adab dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam budaya Jawa dikenal pepatah “Ajining diri saka lati, ajining raga saka busana” yang berarti harga diri seseorang dinilai dari ucapannya, dan penampilannya dinilai dari pakaiannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya tutur kata dan kesantunan dalam pandangan masyarakat kita.
Pelajaran budi pekerti seharusnya tidak berhenti di bangku SD. Ia perlu dibiasakan terus-menerus, dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke lingkungan masyarakat. Guru bukan hanya pengajar, tetapi teladan. Orang tua bukan hanya pencari nafkah, melainkan pembentuk jiwa anak. Dan kita semua—tetangga, pemimpin, figur publik—punya peran untuk menunjukkan bahwa kesopanan bukan hal kuno, tetapi kebutuhan mendasar dalam hidup bersama.
Kita sering kali terpukau dengan kecerdasan luar biasa anak-anak masa kini: mereka bisa mengoperasikan gawai sejak balita, berbicara dua bahasa sejak usia prasekolah, atau menghitung cepat sejak TK. Namun kita jarang bertanya: apakah mereka tahu cara menyapa orang tua dengan hormat? Apakah mereka tahu kapan harus diam dan mendengarkan? Apakah mereka paham pentingnya berbagi dan meminta maaf?
Kita boleh bangga pada anak yang nilainya tinggi, tetapi jauh lebih berharga jika anak itu bisa memperlakukan orang lain dengan kasih, rendah hati, dan jujur. Itulah makna pendidikan sejati.
Jadi, saat kita merenungkan masa depan anak-anak kita, mari kita pertanyakan kembali: apa sebenarnya yang lebih penting di usia emas mereka—nilai ujian atau nilai moral? Akankah kita terus mengejar angka dan prestasi sementara adab dan sopan santun ditinggalkan? Ataukah kita siap menanamkan nilai-nilai luhur sejak dini, walau mungkin hasilnya tidak langsung tampak di atas kertas?
Karena pada akhirnya, generasi yang akan membawa bangsa ini ke depan bukan hanya yang cerdas pikirannya, tetapi juga yang jernih hatinya dan lembut tutur lakunya. Dan semua itu bermula dari pendidikan adab dan budi pekerti di usia emas.
(Dwi Taufan Hidayat)