Mujadalah

Pendidikan Islam Dalam Ancaman Wahabisme

Salafusshalih.com. Mudahnya anak muda hari ini ngebom dan membongkar tempat ibadah agama lain, serta menuduh kafir dan menghalalalkan darah orang sesama muslim, adalah wujud dari ajaran keislaman yang sangat keras. Ajaran itu tertenun dalam biang-biang ajaran Wahabi.

Wahabi sebagaimana kita tahu, telah memprakarsai berdirinya kelompok teror macam Al-Qaeda, ISIS, dan Taliban. Khaled Abou El Fadl (2005) mengatakan bahwa kelompok-kelompok teror yang kini eksis adalah buah dari ajaran Wahabi.

Di Indonesia, mula-mula jalan ekspansinya melalui jalur pendidikan. Tidak sedikit universitas-universitas berbasis Wahabi berdiri. Serta pondok-pondok berdiri dan megah-megah. Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab (LIPIA) contohnya. Siswa, santri, dan mahasiswa setelah mereka lulus dari LIPIA kemudian mereka melanjutkan ke universitas-universitas Saudi untuk melanjutkan studi dan membawa pulang doktrin yang mereka pelajari ke tanah air.

Di pesantren dan sekolah Wahabi, dua kitab yang wajib dipelajari adalah Kitab al Tauhid dan Al Ushul al Tsalatsa karya Muhammad bin Abdul Wahab (Wahid, 2014). Semua buku atau literatur lain terlarang untuk dibaca oleh para siswa, mahasiswa dan santri. Bahkan sekadar membawa dan melihat saja tidak diperbolehkan.

Karya-karya yang ada di dalam institusi pendidikan Wahabi sudah dipasok dengan sistematis. Sehingga yang terbaca dan menancap dalam pikiran siswa hanyalah karya yang berisi tentang ajaran dan doktrin ala Wahabi. Dengan itu, mereka jadi sejadi-jadinya dan terkoyak dalam dunia terorisme. Tiga murid salah satu pesantren di Cirebon, yang beraliran Wahabi, menjadi pelaku bom bunuh diri di Masjid Kantor Polresta Cirebon, bom di JW Marriot dan Gereja Bethel di Solo sebagai contohnya.

Wahabi menutup pintu ijtihad dan telah mamasang gembok untuk tidak membuka diri pada pemikiran ulama-ulama lain-terdahulu. Mereka tidak mau taklid dan menganggap diri sudah benar ubsolut. Karena itu, mereka mendaku diri bahwa sesuatu yang tidak sama dan tidak mendukung dirinya adalaf kafir.

Wahabi sampai saat ini masih melakukan penghancuran pada situs-situs bersejarah. Di Arab Saudi sendiri tempat-tempat penting telah lenyap. Mereka melakukan genosida manusia dan budaya demi doktrin kuasa agama yang tanpa sadar sesungguhnya menyimpang. Akhirnya, yang terjadi, siswa dan generasi mudah, menjadi penerus dari eksklusivisme kekerasan berbasis agama.

Betapa runyam pendidikan dan keagamaan jika telah dimasuki ajaran Wahabi. Mereka hanya melayani apa yang menjadi keinginan dan ketentuan dalam praktik keagamaan serta pada politik kekuasaan dalam mengembangkan dakwahnya. Dan salah satu objek dakwah yang digarap adalah pendidikan, penerbitan buku-buku keislaman baik dari tokoh Wahabi atau dengan menerjemahkan karya-karya ulama mereka.

Yang terjadi kemudian, siswa dan santri terbatas akan keilmuannya. Yang didapat hanya ajaran-ajaran Wahabi. Kemudian ia nantinya siswa dan santri ini membangun garis damarkasi dan menodong orang lain dengan ancaman bid’ah, sesat, bahkan kafir. Praktik beragama ini membuka kemungkinan ketaatan yang berujung pada petaka.

Kini, dunia pendidikan kita berada dalam pusaran Wahabi. Ajarannya dilakukan melalui kurikulum, sistem pengajaran, serta halaqah-halaqah. Berapa ratus bahkan ribu santri dan siswa sudah menjadi bagian dan pelaku ajarannya. Wahabi itu kini sudah berada di sekitar kita dengan beragam nama: manhaj Salaf, ulama Salafi, dan ulama/ustaz Sunnah. Secara sadar mereka menyusup bahkan kepada lembaga pendidikan yang berbasis pada NU dan Muhammadiyah.

Dengan dukungan finansial yang mumpuni, mereka terus mengampanyekan ajaran Wahabi baik lewat daring dan luring. Dan itu menjadi saingan lembaga pendidikan Islam yang berafiliasi dengan NU dan MU. Jika keduanya tidak kokoh dan tidak kuat seperti Wahabi, maka dipastikan berapa banyak orang NU dan MU yang bakal menjadi pelaku Wahabisme.

(Redaksi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button