Mujadalah

Pentingnya Memberantas Total Radikalisme Keagamaan dan Manipulasi Klaim Kebenaran Tunggal

Salafusshalih.com – Umumnya persebaran paham radikalisme yang terjadi di Indonesia selalu mengenakan topeng agama. Sebagai masyarakat yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, rakyat Indonesia rawan terpapar doktrin radikal yang memanfaatkan sentimen keagamaan.

Beberapa di antaranya bahkan telah berubah menjadi pribadi radikal dan rela melakukan teror bom bunuh diri, sementara yang lainnya berubah menjadi pribadi yang mudah marah, suka berseteru dan melempar ujaran kebencian. Tentu saja, apabila ini terus diabaikan, persatuan dan kesatuan NKRI akan semakin terancam.

Harus diakui, sentimen keagamaan menjadi alat pemecah-belah bangsa yang paling manjur. Hal ini karena umat beragama selalu memegang teguh ajaran agama yang dianut dan bahkan rela mati atau berperang demi menegakkan panji-panji agama. Tak ayal, orang-orang menjadi pribadi yang mudah marah apabila keyakinan mereka terusik.

Sejarah juga mencatat, pada proses awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bangsa kita nyaris terpecah-belah karena penyebutan salah satu agama dalam dasar negara. Itulah sebab, frasa “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam naskah Piagam Jakarta kini diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila.

Untunglah, para pendiri bangsa berbesar hati mau menghapus tujuh kata yang dapat memecah-belah bangsa, meskipun awalnya penempatan 7 kata tersebut pada frasa sila pertama dalam naskah Piagam Jakarta telah disetujui. Kaum islamis pun berkenan menghapus 7 kata tersebut.

Hal ini karena Founding Fathers Republik Indonesia selalu menempatkan persatuan dan kesatuan sebagai prioritas sekaligus modal utama dalam membangun dan memajukan negara.

Klaim Kebenaran

Setiap agama pasti memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang diyakini oleh semua pemeluknya. Inilah menjadikan pemeluk agama yang tidak memiliki wawasan dan pemahaman keagamaan yang luas akan cenderung bersikap eksklusif, intoleran, bahkan arogan.

Klaim kebenaran yang diusung agama ini menjadi semacam tembok yang memisahkan antar-pemeluk agama yang berbeda. Tidak jarang, pemeluk agama hidup dalam cangkang kebenarannya masing-masing tanpa mengakui ada kebenaran yang lain.

Kondisi inilah yang dimanfaatkan oknum tertentu untuk memanfaatkan agama sebagai alat adu-domba, provokasi serta propaganda baik dalam konteks politik maupun radikalisme. Identitas keagamaan yang menjurus pada fanatisme dikomodifikasi dan dieksploitasi sedemikian rupa untuk membuat publik terpolarisasi dan terfragmentasi. Di tengah situasi yang demikian ini, kaum radikal akan dengan leluasa menyebarkan ideologinya (Nurrochman, 2021).

Mereka, bahkan dengan sengaja membelokkan tafsir keagamaan yang notabene dasar logika klaim kebenaran agama. Kepentingannya, ialah agar ideologi eksklusif dan kekerasan dapat diterima sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Akibatnya, pemahaman keagamaan yang inklusif kian pudar dari waktu ke waktu.

Dalam konteks tersebut, tentu saja doktrin semacam itu sangat berbahaya bagi keberlangsungan harmoni kebinekaan dan toleransi di NKRI.  Pembelokan dalil keagamaan yang melegalkan intoleransi dan kekerasan dapat memicu perpecahan dan konflik berdarah.

Maka itu, penting sekali bagi setiap umat beragama memiliki paham keagamaan yang benar yang tidak dibelokkan dan disalahtafsirkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Sekali salah, masa depan bangsa bisa saja yang dipertaruhkan. Ajaran kebencian dan dalil keagamaan yang sengaja dibuat eksklusif oleh aktor radikalisme agama akan meruntuhkan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Meluruskan Kebenaran

Dalam Islam, sungguh agama tidak didesain untuk melegalkan kebencian dan kekerasan. Dalam sejarah persebaran Islam misalnya, Nabi Muhammad sebagai pemegang risalah kenabian terakhir untuk menyebarkan Islam bahkan melakukan dakwah dengan santun dan penuh kasih sayang.

Bahkan, kepada pengemis buta yang selalu mengumpat Rasulullah, ia tetap lembut menyuapi pengemis tersebut. Ketika dilempar kotoran pun ketika berdakwah, Rasulullah tidak membalas. Ketika melakukan hijrah ke Thaif tidak diterima dan bahkan diusir serta dilempari batu pun, ia tetap mendoakan baik kepada kaum yang mengusir dan melemparinya tersebut.

Al-Qur’an sebagai sumber kebenaran Islam yang sah, juga membuktikan bahwa Islam ialah agama yang santun lagi penuh toleransi. Rasulullah, bahkan disebut dalam al-Qur’an: “Tidaklah Aku mengutusmu (Nabi Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyaa’: 107). Maka itu, segala bentuk klaim Islam melegalkan kekerasan dalam jihad ialah bertentangan dengan dalil Islam dan juga, sesat pikir doktrin keagamaan.

Fakta-fakta tersebut, selanjutnya meniscayakan kita untuk senantiasa waspada terhadap pembelokan ajaran keagamaan oleh kalangan radikalis. Caranya, kita harus lebih selektif lagi dalam mengambil sumber-sumber dalam pembelajaran keagamaan. Baik itu  dari media sosial maupun guru agama, pastikan dulu bahwa sumber tersebut kredibel dan bertanggung jawab.

Jangan salah pilih pengajian. Sekali salah pilih guru/ustaz dan pengajian dan kita menjelma menjadi intoleran serta penyuka kekerasan, niscaya harmoni kebangsaan dalam keberagaman NKRI yang selama ini kita perjuangkan bersama akan semakin terancam. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

(Hani Fildzah Rusydina, S.Pd.)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button