Hubbul Wathan

Tatkala Tuhan Dijadikan Sponsor Kekerasan Konflik di Maluku

Salafusshalih.com – Konflik kekerasan kembali mencederai tanah Maluku. Pekan lalu, di Seram Utara, Maluku Tengah, bentrokan pecah antara masyarakat Sawai yang mayoritas Muslim dan warga Rumah Olat yang berpenduduk Kristen. Insiden bermula dari perkelahian remaja, namun dengan cepat berubah jadi kekerasan massal yang memakan korban. Anggota Polsek Wahai dilaporkan tewas, sementara tiga warga Sawai mengalami luka ditembak senapan angin.

Laporan kepolisian mencatat keterlibatan warga Masihulan, desa tetangga berpenduduk Kristen, yang menambah serangan terhadap Sawai. Eskalasi pun tak terbendung, menunjukkan betapa rentannya kawasan Maluku dengan narasiprovokatif yang menggiring konflik ke arah primordialisme. Lebih memprihatinkan, pasca-bentrokan, narasi ekstrem mulai bermunculan secara daring.

Akun medsos anonym milik simpatisan ekstremis menyebut peristiwa itu sebagai ‘perang agama’ dan menyebarluaskan informasi keliru tentang pembantaian umat Islam oleh kelompok Kristen radikal di Suli, Ambon. Tanpa verifikasi, informasi itu dikemas secara dramatis, disertai klaim pengiriman bantuan milisi untuk membela umat Muslim yang dizalimi. Gaya retorikanya mirip Laskar Jihad di masa lalu.

Statistik pun menambah kekhawatiran. Pasalnya, dalam laporan Global Terrorism Index tahun 2023, Indonesia tercatat sebagai negara dengan eskalasi risiko konflik ideologis di kawasan Asia Tenggara, kendati secara nasional indeks terorisme melandai. Maluku, sebagai contoh, tetap riskan konflik. Riset Wahid Foundation pada 2022 mengatakan, intoleransi masih tinggi di wilayah-wilayah pasca-konflik, dan belum tertangani secara merata.

Maluku sendiri menyimpan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Konflik sektarian pada 1999-2002 telah menewaskan lebih 9.000 orang, memaksa lebih 500.000 jiwa mengungsi, dan memicu segregasi sosial di banyak wilayah. Pasca-Penandatanganan Kesepakatan Malino II, ketenangan relatif memang berhasil dipulihkan, namun kerentanan tetap ada. Batas-batas sosial begitu rapuh dan mudah dipecah provokasi. Konflik Maluku selalu menyiratkan satu hal: Tuhan dijadikan sponsor kekerasan.

Agama Jadi Tameng Ekstremisme

Di balik letupan kembali konflik di Maluku, terselip satu pola lama yang terus berulang: eksploitasi agama sebagai tameng ekstremisme. Narasi sektarian disulut oleh hasrat untuk menguasai ruang sosial-politik-ekonomi dengan cara paling murah tapi paling berbahaya: membangkitkan ketakutan kolektif lewat simbol agama—yang semestinya jadi sumber ketenteraman justru dipelintir para ekstremis untuk mengobarkan kekerasan.

Bentrok antarwarga di Seram Utara awal April ini merupakan contoh riil transformasi kenakalan remaja menjadi masalah sektarian. Dari pertikaian antarwarga, ia disulap jadi narasi ‘umat Islam diserang Kristen radikal’. Tak ada konfirmasi, tak ada ruang klarifikasi. Yang ada hanya aliran emosi yang membabi-buta, didorong jargon-jargon keagamaan yang sengaja dipelintir untuk menyalakan api kebencian.

Mengerikannya lagi, otoritas simbolik yang diklaim para penyebarnya, misalnya bahwa ‘Komandan TNI’ memberikan laporan langsung kepada mereka—seolah negara sendiri telah tunduk pada narasi militan. Tampak sekali agama menjelma sebagai justifikasi untuk menghapus keberadaan orang lain. Tuhan tak lagi menjadi entitas transenden yang disembah, dan menjadi identitas politik yang telah dimanipulasi.

Eksploitasi agama semacam itu merupakan bentuk paling vulgar dari kekerasan simbolis. Simbol agama diubah jadi alat mobilisasi massa. Seruan membela umat jadi alarm untuk menyerbu. Identitas kelompok digunakan sebagai sekat ‘yang benar’ dan ‘yang harus dihabisi’. Ekstremisme bercokol rapi untuk menjalankan propaganda politik kekuasaan yang sama sekali tak berhubungan dengan persoalan ketuhanan.

Di situlah terlihat dengan jelas bahwa agama jadi tameng ekstremisme; bersembunyi di balik ayat-ayat suci, namun tidak membawa pesan damai, melainkan tuntutan agresi. Mereka mengutip ayat Al-Qur’an bukan untuk menyebarkan kebajikan, tapi untuk memanipulasi emosi kolektif demi tujuan destruktif. Itulah wujud baru perampokan simbolis, ketika iman dipaksa mengejawantah sebagai ideologi ekstrem.

Padahal, ekstremisme tidak mewakili agama apa pun, sama sekali tidak. Mereka hanya menjadikan Tuhan sebagai sponsor untuk produk kebencian yang mereka produksi. Kekerasan mereka bersumber dari kepentingan semata. Dan sayangnya, selama masyarakat masih mudah tergiring narasi-narasi semacam itu, agama akan terus jadi perisai wajah asli ambisi kekerasan. Kaum ekstremis bertameng agama dari balik hasrat politiknya sendiri.

Hasrat Politik di Balik Ayat

Ihwal konflik Maluku, ada satu lapisan realitas yang kerap luput sorotan: bahwa di balik ayat-ayat pembenaran tindakan, tersembunyi hasrat politik yang sangat duniawi daripada Ilahi. Kekerasan yang dibungkus jargon keagamaan sejatinya adalah instrumen proyek kekuasaan—baik itu kekuasaan teritorial, pengaruh sosial, dominasi ekonomi, maupun penetrasi ideologi tertentu ke ruang-ruang yang semula tenang; status quo.

Konflik sosial di Maluku hari ini bukan sekadar reproduksi peristiwa masa lalu, melainkan juga ekspresi manuver politik yang tengah dipertarungkan di level mikro maupun makro. Ketika kerusuhan pecah karena hal sepele seperti tawuran remaja, dan kemudian meluas menjadi pertikaian antaragama, ketegangan identitas dan pergeseran narasi bisa terjadi sewaktu-waktu. Waspada pun jadi keniscayaan bersama.

Ketika narasi ‘umat diserang’ didiseminasi secara masif, publik dipaksa memilih sikap: diam dan dianggap pengkhianat atau ikut dalam arus yang digerakkan para orator ekstremis yang tengah menjalankan propagandanya. Ruang nalar nyaris terhapus, sebab Al-Qur’an dijadikan alat pukul untuk menegaskan posisi, membentuk barikade identitas, dan menggiring orang pada polarisasi mutlak. ‘Bersama kami atau lawan kami!’ itu pesan implisit para ekstremis.

Seperti disinggung berulang kali, Maluku pernah menjadi ladang basah konflik sectarian. Artinya, semua pihak perlu waspada. Luka sosial yang belum benar-benar sembuh membuat wilayah tersebut rentan dijadikan ‘etalase’ kelompok ekstremis dan oportunis politik. Mereka bisa datang dari luar daerah, membawa agenda ideologis yang anti-kebhinekaan, dan pulang dengan klaim kemenangan yang destruktif.

Kalau mau jujur, yang menjadi korban sesungguhnya adalah agama itu sendiri. Ajaran tentang perdamaian, keadilan, dan solidaritas ditenggelamkan gemuruh orasi dan provokasi yang nir-makna. Di saat itulah Muslim dan Kristiani perlu penguatan dialog dan persaudaraan lintas iman, agar tak dipecah-belah segelintir elite yang memperalat keyakinan untuk menaikkan posisi mereka di tangga kekuasaan.

Karena itu, berhentilah melihat konflik di Maluku semata-mata sebagai benturan antaragama. Ia adalah manifestasi hasrat politik yang diselubungi ayat suci. Jika tak diurai dan dibongkar dengan jujur, maka kekerasan akan terus direproduksi, agama akan terus dijadikan panggung drama kekuasaan, dan Tuhan dijadikan sponsor ekstremisme. Beranilah agar publik tak lagi tertipu, bahwa Tuhan kerap dieksploitasi para ekstremis berbahaya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

(Ahmad Khoiri)

Related Articles

Back to top button