Al Qur'an

4 Parameter Tafsir Al Quran yang Ideal di Masa Depan

Salafusshalih.com. Doktrin teologis tentang universalitas Al-Qur’an mendorong para Sarjana dan pemikir Muslim modern untuk menemukan mekanisme interpretasi baru yang mampu menghadirkan pemahaman kegamaan yang dinamis, peka terhadap zaman dan pada level tertentu juga ‘humanis’ yang bersumber dari teks paling primer Islam untuk merespon tantangan di masa mendatang.

Memang bukan perkara yang mudah untuk menilai suatu karya kitab tafsir itu tergolong ‘tafsir ideal’ atau bukan. Karena hal tersebut sungguh sangat relatif, yang mana tergantung oleh siapa makna ideal itu dipahami. Akan tetapi, bagi penulis sendiri, tafsir ideal atau kitab tafsir yang ideal itu parameternya adalah kitab tafsir tersebut menjadi rujukan oleh banyak orang, terutama oleh kalangan awam yang selama ini masih kesulitan dalam memahami isi Al-Qur’an serta menjadi rujukan dalam menuntaskan problematika-problematika yang ada saat ini dan masa yang akan datang.

Terlepas dari itu, semangat penulisan tafsir Al-Qur’an, tentunya tidak terlahir atas dasar iseng untuk mengisi kekosongan waktu. Akan tetapi, kemunculan tafsir Al-Qur’an itu sendiri dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-historis yang berada di sekelilingnya. Dalam konteks ke-Indonesiaan misalnya, seperti kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abd ar-Rauf as-Sinkilī yang disinyalir kuat sebagai tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz pertama di Nusantara, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm yang ditulis oleh Raden Pengulu Tafsir Anom V, tafsir Faidh al-Rahman, dan tafisr al-Misbah karya Quraish Shihab, dan lain-lain.

Dari banyaknya kitab tafsir yang ada hingga saat ini, lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana bentuk tafsir Al-Qur’an yang ideal di masa mendatang ? Setidaknya, penulis disini akan memaparkan parameter tafsir ideal yang kompatibel sesuai dengan eranya masing-masing. Sehingga bisa menjadi problem solving dalam menghadapi tantangan di masa sekarang dan yang akan datang.

Parameter Tafsir Ideal

Dalam menggagas tafsir ideal di masa depan, penulis merumuskan setidaknya ada empat hal penting yang harus dijiwai oleh seorang mufassir di masa depan, yaitu:

Pertama, kemapanan metodologi yang digunakan. Perlu diakui, bahwa sebuah karya kitab tafsir tentu harus mempunyai metodologi atau metode penafsiran yang baku untuk mempermudah dalam mengupas makna atau kandungan ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an.

Kedua, terdapat unsur novelty. Maksud dari kebaruan (novelty) disini adalah tidak menafikan temuan-temuan ilmiah dalam lintas disiplin keilmuan yang baru. Hal ini mengingat yang namanya ilmu itu pasti selalu berkembang dan tidak akan pernah berhenti sampai disitu saja. Dengan mengikuti tren perkembangan, maka penafsiran baru (re-interpetasi) terhadap produk-produk kitab tafsir yang sudah ada menjadi sebuah keniscayaan. Sehingga dalam suatu karya kitab tafsir pada masa yang akan datang tetap bisa kompatibel sesuai dengan zamannya, atau yang biasa kita sebut sebagai shalilh likulli zaman wa makan.

Ketiga, terbebas dari taasub (fanatisme) atas mazhab tertentu. Suatu produk kitab tafsir masa depan harus bisa melepaskan dari dikotomi madzhab tertentu. Jika karya tafsirnya masih bersifat sektarian, taasub terhadap madzhab A, madzhab B, dan seterusnya, penulis rasa karya tafsirnya tidak akan berkembang dan tidak akan bisa bermanfaat  bagi banyak orang. Tentu hal itu akan bertentangan dengan fungsi dari Al-Qur’an sendiri, yaitu hudan linnas yang jelas-jelas bukan hanya untuk suatu golongan tertentu.

Keempat, mengadopsi pendekatan interdisipliner, yaitu mengintegrasikan antara produk tafsir dengan disiplin keilmuan lain. Problematika abad 21 ini lebih kompleks dibanding dengan problematika di masa lalu atau era klasik. Dalam kata lain, seiring dengan berkembang dan bertumbuhnya teknologi, seringkali ditemukan masalah-masalah baru. Salah satu contoh seperti kasus pelecehan seksual dan seks bebas yang marak akhir-akhir ini, terorisme, radikalisme, human trafficking, korupsi, euthanasia, global warming, investasi bodong, illegal loging dan lain-lain. Dengan demikian, mau tidak mau Al-Qur’an menjadi rujukan primer dari masalah-masalah kontemporer tersebut.

Berkaca dari parameter di atas, maka sudah seharusnya kehadiran produk kitab tafsir dimasa depan mampu memberikan kontribusi positif dan dan ide-ide kreatif dalam menghadapi tantangan di masa mendatang. Hemat penulis, pada hakikatnya dari semangat itulah yang dibutuhkan era sekarang maupun dimasa depan.

(Tri Febriandi Amrulloh)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button