Mujadalah

Salafi-Wahabi dan Mahasiswa Tafsir yang Membantahnya

Salafusshalih.com – Kemarin saya membimbing mahasiswa tafsir belajar satu teori yang cukup populer dalam ilmu tafsir, yaitu al-wujuh wa an-nazhair. Teori ini sederhananya berbicara tentang satu kata yang punya beragam makna dan satu makna yang diterjemahkan dalam banyak kata. Sebut saja, kata “dharaba” yang bisa bermakna memukul dan bisa bermakna menggertak. Atau makna “manusia” yang bisa diungkapkan dengan kata insan atau bisa diterjemahkan dengan kata basyar.

Mahasiswa terlihat semangat mengikuti materi. Saya tegaskan bahwa belajar teori al-wujuh wa an-nazhair dapat menyelamatkan kita dari fanatisme. Saya teringat terhadap sikap Wahabi yang menyesatkan Ustaz Adi Hidayat karena dia memberikan makna surah asy-Syuara’ sebagai ‘para pemusik’. Wahabi tidak setuju dengan makna yang dikemukakan ustaz kondang ini karena, bagi Wahabi, musik itu bid’ah dan sesuatu yang bid’ah itu sesat. Jadi, musik dibid’ahkan dan disesatkan.

Saya menghela napas sejenak. Saya mencoba menimbang-nimbang kualitas keilmuan Ustaz Adi Hidayat dengan orang Wahabi yang mengkritiknya. Ternyata, Ustaz Adi Hidayat jauh lebih menguasai dalam memahami Al-Qur’an dibandingkan Wahabi tersebut. Buktinya, Ustaz Adi hafal Al-Qur’an dan sudah belajar, bahkan menguasai ilmu tafsir. Artinya, Ustaz Adi pasti sudah tahu teori al-wujuh wa an-nazhair. Terus, bagaimana dengan orang Wahabi?

Wahabi sebatas membaca dan memahami secara tekstualis teks Al-Qur’an dan hadis. Ingat, bahwa pemahaman tekstualis terhadap teks termasuk pemahaman yang dangkal. Masih berkutat di kulit teks, belum masuk ke kedalaman teks. Tentu, pemahaman tekstualis mengabaikan sisi lain yang penting diperhatikan ketika seseorang menafsirkan Al-Qur’an, yaitu sisi sosiologisnya, antropologisnya, dan seterusnya. Karena, semua itu dapat mempengaruhi makna teks.

Mirisnya, Wahabi hanya berkutat di makna luar saja. Jadi, makna terdalam dari teks mereka abaikan. Ini sangat berbahaya. Karena, teks tidak sepenuhnya dapat menerjemahkan maksud Tuhan sebagai pengarang. Jadi, sampai di sini Wahabi sudah mengabaikan maksud pengarang (Tuhan) dan hanya berpegang pada pemahamannya sendiri yang sempit dan dangkal.

 

Maka, pemahaman yang sempit dan dangkal jelas tertutup (eksklusif). Pemahaman ini membatasi dari pemahaman lain yang berbeda. Pemahaman ini menegaskan bahwa dirinya adalah yang paling benar, sedangkan yang lain keliru dan sesat. Tidak aneh, jika Wahabi dengan gampang menyesatkan dan mengkafirkan orang lain yang berbeda. Mereka melihat perbedaan sebagai petaka, bukan rahmat.

Ketertutupan berpikir Wahabi jelas dapat mengantarkan kepada tindakan-tindakan kriminal. Sebut saja, yang cukup populer adalah aksi terorisme. Pelaku teror sejatinya terjebak oleh kesempitan dan kedangkalan pikirannya. Mereka memahami teks dengan satu tafsir, bukan beragam. Semisal, kelompok teroris memahami perang melawan orang kafir dan orang musyrik sebagai legitimasi atas aksi terorisme. Mereka bahkan mengkafirkan demokrasi sebab tidak menggunakan hukum Al-Qur’an.

Maka, sebagai bangsa yang dilahirkan dan dibesarkan di negara yang plural ini hendaknya bersama-sama melawan cara berpikir yang eksklusif. Karena, bangsa dan negara akan hancur masa depannya jika dibiarkan terjebak di dalam eksklusivitas berpikir semacam itu. Perlu digarisbawahi bahwa berpikir eksklusif berlawanan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.

Sebagai penutup, saya bersyukur bisa belajar bersama dengan mahasiswa tafsir tentang ilmu tafsir yang dapat dijadikan bekal untuk membentengi diri, umat, dan negara dari gempuran paham eksklusif Wahabi. Wahabi akan takluk jika bangsa ini dibekali dengan pengetahuan yang benar dan cukup.

(Khalilullah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button