Salafi-Wahabi dan Para Kritikus Legendaris

Salafusshalih.com – Wahabi akan terus eksis jika tidak dilakukan kritik terhadapnya. Mereka akan merasa paling benar, sehingga mereka optimis tumbuh dan berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pentingnya kritik yang tiada jeda beriringan dengan semangat melawan Wahabi menguasai negara ini.
Bicara soal kritik terhadap Wahabi, menarik melihat siapa saja kritikus handal yang namanya dimuat di beberapa literatur. Pertama, Ibnu Abidin al-Hanafi. Dia punya nama asli Muhammad Amin bin Abdul Aziz bin Abdurrahim. Dia dilahirkan di Damsyiq, Syam. Dia sudah hapal Al-Qur’an sejak kecil, meskipun ayahnya seorang pedagang.
Ibnu Abidin mengkritik bahwa Wahabi tidak jauh berbeda dengan Khawarij. Mereka termasuk kelompok eksklusif yang pernah mengkafirkan dan menghalalkan darah Sayyidina Ali beserta pengikutnya, karena mereka mengambil sebuah keputusan di luar keputusan Allah.
Kedua, Ahmad ash-Shawi al-Maliki. Ash-Shawi adalah seorang imam, pakar fikih, guru besar, dan menjadi rujukan ahli tahqiq. Dia pernah berguru kepada imam terkenal, seperti ad-Dardir, al-Amir al-Kabir, dan ad-Dasuqi.
Ash-Shawi menyampaikan kritik yang tegas terhadap Wahabi bahwa Wahabi dikaitkan dengan Khawarij di masa sekarang. Kelompok ini menghalalkan darah kaum Muslim yang tidak sepaham. Kritik Ash-Shawi pada bagian ini tidak jauh berbeda dengan Ibnu Abidin.
Ketiga, Imam Isma’il ash-Shan’ani. Dia dilahirkan di daerah Kahlan, kemudian pindah ke Madinah bersama orang tuanya pada 1107 H. Dia pernah belajar kepada Zaid bin Muhammad bin al-Hasan, Shalah bin Husain al-Akhfasy, Abdullah bin Ali al-Wazir, dan Ali bin Muhammad al-Husna.
Isma’il menegaskan bahwa ideologi Wahabi fatal alias keliru. Kekeliruannya dapat dilihat dari ideologi Wahabi yang membenarkan klaim kafir dialamatkan kepada orang Islam. Ideologi semacam ini tak ubahnya sarang laba-laba yang rapuh. Hal ini dapat berdampak negatif, seperti terjadinya pembunuhan antar sesama Muslim.
Keempat, Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab. Dia adalah kakak kandung pendiri Wahabi Muhammad bin Abdul Wahab. Meski begitu, mereka bedua berbeda pemikiran, sehingga tidak jarang mereka saling mengkritik.
Sulaiman mengkritik Wahabi termasuk kelompok yang awam, jahil, dan tidak mampu. Semestinya mereka belajar terlebih dahulu kepada ulama yang sudah mendalam ilmunya. Mereka tidak pantas mengkafirkan orang Islam yang lain sementara orang Muslim ini sudah bersyahadat, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan berangkat haji.
Melihat kritik yang disampaikan beberapa tokoh tersebut, termasuk kakak kandung pendiri Wahabi, jelas bahwa Wahabi adalah kelompok yang tidak dapat dibenarkan. Maka, gagasan yang disampaikan hendaklah ditolak. Karena, membenarkan gagasan Wahabi sama saja mendukung perpecahan antara sesama Muslim.
(Khalilullah)