Hubbul Wathan

Upaya Menolak Total Ekstremisme: Membangun Kesadaran Kebangsaan

Salafusshalih.com – Setelah dijajah tiga abad lebih, akhirnya negara ini benar-benar merdeka. Pernyataan merdeka adalah bukti bahwa bangsa Indonesia sudah memiliki kedaulatan atas wilayah Indonesia dan merupakan hasil nyata dari persatuan dan cinta tanah air kita. Siapa pun lawannya, persatuan senjatanya, dan pastilah kejayaan hasilnya. Itulah esensi kesadaran kebangsaan.

Kini usia kemerdekaan bangsa Indonesia sudah terhitung 78 tahun. Dan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa sudah 78 tahun bangsa Indonesia bersatu. Ya, persatuan sebagai simbol pernyataan merdeka.

Namun iyakah kita betul-betul bersatu sebagai bentuk kemerdekaan kita? Atau justru kita hanya bersatu ketika ada musuh dengan alasan bahwa ketika itulah kita punya tujuan yang sama? Dan begitu kenyataannya; bahwa bangsa Indonesia lebih bersatu saat ada lawan, sementara ketika tidak menemukan lawan maka saudara sendirilah yang dijadikan lawan. Dari sinilah kemudian terjadi disintegrasi bangsa.

Mungkin hal ini terbilang wajar dengan alasan bahwa bukan hanya kita yang demikian. Hal ini juga pernah ditegaskan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf asal Inggris. Ia menyatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Dan memang begitu kenyataannya; bahwa fakta ini adalah bentuk kewajaran, namun kewajaran yang harus diperbaiki.

Indonesia punya potensi untuk menjadi lahan subur bagi tumbuhnya disintegrasi. Hal ini berangkat dari realitas Indonesia yang plural. Hal yang plural memang rentan terkena kutukan Hobbes.

Bukan tanpa alasan; salah satu tantangan dari pluralitas adalah adanya konflik. Oleh karena itu—dalam konteks Indonesia—perlu adanya peneguhan kembali soal prinsip kebangsaan dan persatuan. Kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang bersepakat untuk bekerja sama dengan membentuk keluarga yang harmoni.

Termasuk dari beberapa konflik yang agak pelik adalah berangkat dari keragaman paham agama. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia acap kali bertengkar soal paham keagamaan. Oleh karena itu perlu adanya penyatuan kembali soal pemahaman agama yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Mengapa bukan penyatuan pemahaman kebangsaan yang sesuai dengan konteks keislaman?

Perlu dipahami bahwa Muslim di Indonesia bukan orang Islam yang berkebangsaan bangsa Indonesia, melainkan bangsa Indonesia yang kebetulan beragama Islam. Hal ini karena kita semua tanpa terkecuali lahir pertama kali sebagai bangsa Indonesia.

Kemerdekaan kita dari penjajah adalah kelahiran kita sebagai bangsa Indonesia. Seandainya bukan karena persatuan seluruh rakyat Nusantara dulu untuk memaksa mundur pergi dari Indonesia niscaya tak akan ada Muslim di Indonesia. Jika pun ada ia hanya akan menjadi bulan-bulanan penjajah.

Berangkat dari itu, maka paham ekstrem-radikal yang kini ada—dan semoga tidak menjalar ke yang lain—adalah musuh semua bangsa Indonesia. Paham tersebut hanya akan merusak persatuan yang sebelumnya sudah terbangun kokoh dan menodai kesepakatan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bersatu. Mengapa paham radikal harus dihapuskan? Alasan secara umum adalah karena ia tidak sesuai dengan cita-cita berdirinya bangsa.

Sebagai penegasan kami akan mengungkapkan ciri paham radikal yang mencederai spirit kebangsaan.

Pertama, egoisme ortodoks. Tak jarang paham radikal menyuarakan konsep negara khilafah dan mengafirkan Pancasila. Hal ini berangkat dari adanya ketidaksadaran mereka bahwa kita adalah bangsa plural. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Hujurat, ayat 13:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat tersebut menegaskan bahwa  perbedaan adalah diciptakan untuk kedamaian. Ia disikapi dengan saling mengenal bukan dengan cara memaki dan membuat garis demarkasi antar satu identitas dengan yang lainnya. Salah satu sebab yang pasti dimunculkan dari adanya garis demarkasi adalah kelemahan. Dari itu maka bukan sesuatu yang tak lazim jika kemudian Indonesia dijajah lagi.

Kedua, penafsiran literal dan absolut. Tak jarang kaum radikal memahami teks secara mentah tanpa diolah dulu dengan konteks keindonesiaan. Ini yang kemudian menyebabkan munculnya konflik, baik antar-Muslim maupun antaragama. Di samping itu, mereka juga beratribut sikap fanatisme buta dalam memegang pemahamannya sendiri.

Termasuk dari kesepakatan orang berakal sehat adalah bahwa sikap fanatisme buta merupakan bibit dari perpecahan yang kemudian melahirkan peperangan. Secara tidak langsung sikap tersebut mengesankan akuisisi kebenaran secara mutlak.

Ketiga, kekerasan sebagai solusi. Menurut saya julukan yang pas untuk mereka adalah anak kecil. Apabila anak kecil mendapat sesuatu yang tak diinginkan atau tak mendapatkan sesuatu yang diinginkan maka tangisan sebagai bentuk luapan emosinya akan mengendalikan dirinya.

Seandainya ia mampu bertindak lebih mungkin bisa saja ia membunuh. Tak berbeda jauh dengan kaum radikalis, di mana ia kerap kali kalah dengan emosinya sehingga meluncurkan aksi kekerasan. Terorisme bagi mereka adalah teman sejati untuk mendapatkan keinginannya.

Sebagaimana anak kecil yang akan berhenti menangis ketika emosinya dialihkan pada hal yang disenangi semisal permen, kaum radikal juga sangat mungkin untuk menghentikan tindak kerasnya dengan semisal diberi uang. Sementara kemungkinan lain mengatakan bahwa bisa jadi semisal uang justru adalah kepentingan mereka dalam aksi kekerasannya. Mungkin.

(Ghufronullah)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button