Eks HTI dan Indoktrinasi Abadi tentang Anti NKRI
Salafusshalih.com – Diskusi publik digelar oleh para simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beberapa hari lalu. Tajuknya mengarah pada tahun Pemilu 2024 dengan ajakan memilih presiden yang membela Islam. Tayangannya di kanal YouTube mencapai puluhan ribu kali. Jika separuhnya digeneralisasi sebagai pendukung khilafah, NKRI masih jelas dibayangi ancaman. Dengan kata lain, sentimen anti-NKRI masih kuat yang mengindikasikan keberhasilan indoktrinasi. Benarkah demikian?
Ada dua kemungkinan. Pertama, animo masyarakat masih—dan akan semakin—kuat tentang kejayaan Islam. Fakta didukung oleh kuatnya narasi kejayaan Islam di berbagai lini, terutama media sosial, yang digadang-gadang berasal dari tegaknya khilafah. Kendati semangat seperti itu boleh sebagai pendorong ghirah keberagamaan umat Muslim, ia menjadi berbahaya lantaran berbalut indoktrinasi ideologi tertentu, yaitu HTI dan seluruh intrik politiknya tentang anti-NKRI.
Kedua, penindakan terhadap para pengasong khilafah masih berkutat sebagai wacana belaka. Fokus masyarakat menjelang Pilpres mendatang sangat kuat hingga mengalihkan fokus terhadap ancaman keberislaman mereka. Situasi tersebut dimanfaatkan betul oleh para aktivis khilafah, terutama para simpatisan HTI, untuk melangsungkan indoktrinasi abadinya. Penindakan yang tak kunjung terealisasi juga semakin membuat mereka masif beraksi—tanpa terjerat hukum apa pun.
Pada dua kemungkinan tersebut, HTI tidak bisa dianggap sebagai faktor tungal, namun indoktrinasi mereka lebih memengaruhi umat daripada kelompok terlarang lainnya. Mengapa demikian?
Investigasi Redaksi Harakatuna menemukan dua alasan mengapa HTI mendominasi indoktrinasi anti-NKRI ketimbang ormas radikal lainnya. Pertama, basis gerakannya yang politik-oriented. Berbeda dengan Wahabi yang mengorientasikan gerakan untuk memperbaiki moralitas umat dengan tauhid yang dianggap lebih murni, HTI seribu kali lebih sering bahas politik. Bahkan, setiap narasi mereka adalah narasi politik. Hanya saja, politik tersebut dibingkai dengan kata “syariat”.
Kedua, HTI jadi diaspora pejuang khilafah. Kader HTI boleh jadi tidak banya, namun simpatisannya berjumlah ribuan atau bahkan puluhan ribu. Jurus HTI yang tidak banyak disadari umat Muslim adalah upayanya menciptakan “kesepahaman tentang khilafah”. Tugas para aktivisnya adalah melakukan indoktrinasi abadi tentang khilafah dan khilafah tanpa bicara soal identitas ormas. Implikasinya, seluruh masyarakat jadi pejuang khilafah tanpa sadar bahwa mereka terjerumus doktrin HTI.
Antara basis gerakan yang politik-oriented dan diaspora pengasong khilafah adalah tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk segera merumuskan regulasi penindakan yang sah dan konstitusional. Yang jelas, spirit menegakkan negara di dalam negara tidaka dapat dibenarkan sama sekali. Mesti ada tindakan proporsional untuk siapa pun yang menyebarkan indoktrinasi anti-NKRI. Tidak ada alasan apa pun karena merongrong pilar-pilar kebangsaan.
Indoktrinasi abadi tentang anti-NKRI merupakan tantangan seluruh pihak. HTI akan terus berteriak khilafah sebagai sistem ideal, sekalipun Islam tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu selain teokrasi—dan itu tidak bisa diterapkan di Indonesia. Bersamaan dengan urgensi regulasi penindakan yang hari ini tidak kunjung terumuskan, penguatan pemahaman kolektif tentang demokrasi—juga realisasinya sebagai sistem pemerintahan—harus senantiasa ditingkatkan. Semangat!
(Redaksi)