Fikih

Larangan Menyerupai Suatu Kaum: Konteks Hadits, Budaya dan Tahun Baru Masehi

Salafusshalih.com – Banyak ustaz yang lantang mengharamkan hampir semua aspek kehidupan kita saat ini, hanya dengan berpedoman pada satu hadist, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti dia termasuk dari golongan mereka” (HR. Abu Daud no. 4031 dan Ahmad 2: 50). Lalu, bagaimana seharusnya kita memahami hadist ini dalam perspetif ilmu hadist, sejarah, budaya, dan politik?

Terdapat banyak perbedaan pandangan dari pihak tertentu, dari mulai Prof Samuel Hungtington, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat, sampai imajinasi Emak-emak penggemar media sosial yang membayangkan terjadinya benturan budaya. Sesungguhnya peradaban manusia dibangun melalui pertemuan dan percampuran dari berbagai budaya yang ada di dunia ini. Mulai dari bahasa, pakaian, makanan, karya seni, olahraga, sampai teknologi terdapat kesamaan yang apabila diusut kebelakang, kita akan dapat megidentifikasi personalitas dari tradisi tersebut.

Kita ambil contoh, makan menggunakan sumpit. Seorang bule Australia yang heran  melihat seseorang asal Indonseia tidak bisa makan menggunakan sumpit, padahal sudah 20 tahun lebih menetap di negara Australia. Sumpit bukan berasal dari negara Australia, tapi berasal dari Cina. Meskipun begitu, semua orang Ausie mulai dari anak-anak sampai orang tua mengetahui cara memakai sumpit. Bahkan, makan dengan sumpit sudah menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang di Australia.

Nah, bisakah hanya disebabkan makan dengan sumpit, kemudian Anda dianggap dari bagian mereka? “Mereka” itu siapa? Penafsiran “mereka” saja tidak jelas. Apakah makan mie pangsit menggunakan sumpit dapat menghilangkan jati diri Anda sebagai orang Jawa, Sunda, Ambon, atau Bugis? Saya rasa tidak. Perjalanan sumpit itu sudah panjang melintasi benua dan samudera. Jadi wajar saja, siapapun dapat makan dengan sumpit. Lantas, bagaimana makna yang terkandung dalam hadist di atas?

Kehidupan pada zaman Rasulullah saw. sekitar lima belas abad lampau, personalitas keislaman menjadi suatu hal yang sangat penting. Namun, bagaimana cara membedakan anatara Muslim dengan non-Muslim saat itu? Bukankah mereka mempunyai identitas sama sebagai orang Arab dan mempunyai tradisi yang sama, bahkan bahasa dan cara berpakaian mereka juga sama pula?

Pada suatu waktu, ada seorang kafir yang menyatakan masuk Islam di pagi hari, kemudian dia duduk dan berkumpul bersama komunitas untuk membicarakan strategi dakwah, tapi di sore hari orang tersebut murtad dengan menyatakan kembali kafir. Hal itu membuat Rasulullah saw. sangat murka. Tindakan orang kafir itu dianggap sebagai sebuah penghianatan terhadap kelaziman iman. Dari sini muncullah hukuman mati terhadap orang murtad, di abad modern ini mirip dengan hukuman yang diberikan pada pengkhianat dan pembocor rahasia negara.

Mulailah Rasulullah saw. melakukan konsolidasi internal, yaitu loyalitas dibentengi dengan personalitas khusus. Rasulullah saw. melakukan politik identittas dengan melarang umat Islam menyerupai kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik bahkan Majusi. Kemudian keluarlah aturan identitas sebagai pembeda dari soal kumis-jenggot, sepatu-sendal, hingga warna pakaian. Pesan dari Rasulullah saw. sederhana: berbedalah dengan mereka dan jangan menyerupai mereka. Sebab, barang siapa yang menyerupai mereka, maka kalian akan dianggap sama dengan mereka.

Inilah konteks hadist di atas, adanya politik identitas dari Rasulullah saw. untuk golongan Muslim saat itu. Sebenarnya para ustaz di jaman sekarang ini hendak mengukuhkan identitas keislaman bahwa kita berbeda dengan “mereka”, sehingga para ustaz gemar mengutip hadist tasyabuh di atas. Akan tetapi, para ustaz tak sadar bahwa kita tak lagi hidup di komunitas terbatas seperti pada 15 abad lalu di perkampungan Madinah. Sekarang ini, kondisi sudah berubah. Kita sudah menjadi citizen of the world (warga dunia), identitas keislaman tidak akan tergerus disebabkab pembeda yang hanya berupa asesoris semata. Identitas keislaman saat ini adalah akhlak yang mulia.

Berdasarkan sanad, hadist di atas tidak diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim. Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama dalam menentukan derajat hadist itu. Ada yang mengatakan bahwa hadist di atas sahih, ada yang mamandang sebagai hadits hasan, bahkan ada pula yang mendhaifkannya.  Ahmad bin hambal menyebutkan bahwa perawi hadist ini munkar. Abu Dawud mengatakan bahwa hal itu tidak masalah. An-Nasa’i menyebut hadist di atas sebagai hadist dhaif. Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa perawi adalah seorang yang jujur, tapi sering keliru, dianggap bermadzhab Qadariyyah, dan hapalannya mulai berubah di akhir usianya.

Begitu juga soal jenggot dan kumis, sekarang tak lagi menjadi pembeda antara identitas Muslim dan non-Muslim. Banyak pribumi yang memanjangkan jenggot, begitupun para tokoh non-Muslim. Bisakah kita menjadi kafir atau mereka menjadi Muslim hanya karena punya jenggot? Lalu, bagaimana dengan hukum merayakan tahun baru masehi bagi umat Islam? Jika Muslim berniat merayakan malam tahun baru dengan mengadakan acara bakar-bakar, seperti bakar ayam, jagung, dan lainnya, apakah perbuatan tersebut termasuk meniru perbuatan orang-orang non-Muslim, misalnya umat Majusi yang merayakan tahun baru dengan bakar-bakar?

Tidak ada anjuran dalam syariat Islam mengenai perayaan tahun baru masehi. Beberapa ulama memperbolehkan adanya perayaan tahun baru. Di antara yang memperbolehkan perayaan tahun baru adalah fatwa dari Dar al-Ifta’ al-Mishriyah (Dewan Fatwa Mesir). Argumentasi Dewan Fatwa Mesir yang disampaikan oleh Dr. Mahmoud Syalabi, Sekretaris Majelis Fatwa Mesir, bahwa tahun baru masehi bukan hari raya Nasrani atau acara keagamaannya.

Kebolehan merayakan tahun baru masehi ini berlaku apabila dalam perayaan tersebut tidak terdapat hal-hal yang diharamkan syariat, seperti meminum khamr, berbaur antara laki-laki perempuan yang bukan mahram, meninggalkan salat, dsb. Jika tahun baru diisi dengan amal yang sia-sia dan penuh maksiat, maka hukumnya menjadi haram.

Perayaan tahun baru ini hendaknya dijadikan momentum evaluasi diri dari tahun kemarin serta memaknainya sebagai momen perbaikan diri di tahun dengan. Tidak hanya itu, kita seharusnya menyikapi tahun baru masehi sebagai rasa syukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat-Nya dengan melakukan kegiatan-kegiatan positif, seperti mengadakan pengajian, kegiatan sosial, berdiskusi, dsb. Namun, dengan catatan bahwa kita mengadakan kegiatan tersebut bukan atas dasar niat untuk merayakan tahun baru seperti orang kafir.

Wallahu a’lam bi ash-showab.

(Redaksi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button