Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-Hadits Keutamaan Bulan Rajab

Salafusshalih.com – Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen spesial mengingat pergantian tahun merupakan momentum untuk introspeksi diri. Beralihnya tahun berarti bertambahnya umur. Sebagai umat Islam, tentu bertambahnya umur semakin mendekatkan pada kematian. Karenanya, selayaknya untuk memperbaiki diri berupa memperbanyak amal ibadah sebagai bekal di kehidupan akhirat nanti.
Sedangkan bulan Rajab, bulan ke tujuh dalam penanggalan hijriah ini merupakan momentum menempa dan melatih diri untuk mengerjakan amal kebaikan, terutama amaliah yang dianjurkan di bulan Rajab, salah satu bulan mulia yang disebut dalam al Qur’an (QS. at Taubah: 36). Sebagai persiapan untuk membiasakan diri melakukan amal kebaikan dipuncak kemuliaan nanti, yakni di bukan Ramadhan.
Ada beberapa amaliah yang memiliki keutamaan besar yang dianjurkan dikerjakan di bulan Rajab berdasarkan hadits Nabi dan pendapat para ulama. Namun, belakangan banyak yang mempersoalkan hadits-hadits keutamaan bulan Rajab beserta maliah di bulan tersebut. Ada yang mengatakan hadits-hadits tentang keutamaan dan amaliah di bulan Rajab adalah hadits palsu.
Sekalipun telah dijelaskan berulang-ulang, tetap tuduhan palsu selalu mengemuka dan biasanya dilontarkan oleh mubaligh era kini di media sosial, terutama dari kalangan kelompok Salafi-Wahabi. Karena haditsnya palsu maka amaliah yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak boleh diamalkan.
Pemahaman keliru seperti ini perlu diluruskan supaya tidak menimbulkan keraguan bagi umat Islam yang dari dulu telah mengamalkan beberapa amaliah yang dianjurkan di bulan Rajab, juga untuk mempertegas bahwa anggapan hadits-hadits tentang keutamaan bulan Rajab palsu adalah kesalahan.
Salah seorang yang menuduh hadits-hadits keutamaan amaliah bulan Rajab sebagai hadits palsu adalah Ustadz Adi Hidayat (UAH). Pernyataannya beredar di Youtube dan ditonton oleh banyak orang. Seorang ustadz pada biasanya alim dan memiliki pengetahuan mendalam tentang ilmu agama. Namun, kali ini tidak. Sehingga bisa disimpulkan, gelar ustadz/Kiai saat ini bukan gelar istimewa, siapa saja yang bisa berdalil sekalipun satu ayat dan hadits sudah disebut ustadz/Kiai. Gelar pasaran.
Di antara hadits yang dituduh palsu dan dianggap paling tidak logis ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi didalam kitabnya Fado’ilul awqot, No. 9 dan hadits No. 3520 didalam kitab beliau Syu’abul iman. Sebagaimana berikut ini.
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أبيه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ كَانَ كَصِيَامِ سَنَةٍ، وَمَنْ صَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِّقَتْ عَنْهُ سَبْعَةُ أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ صَامَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ، وَمَنْ صَامَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا نَادَى مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: قَدْ غَفَرْتُ لَكَ مَا سَلَفَ فَاسْتَأْنِفِ الْعَمَلَ قَدْ بَدَّلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ، وَمَنْ زَادَ زَادَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَفِي شَهْرِ رَجَبٍ حُمِلَ نُوحٌ فِي السَّفِينَةِ، فَصَامَ نُوحٌ، وَأَمَرَ مَنْ مَعَهُ أَنْ يَصُومُوا، وَجَرَتْ بِهِمُ السَّفِينَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ إِلَى آخِرِ ذَلِكَ لِعَشْرٍ خَلَوْنَ مِنَ الْمُحَرَّمِ “
Dari Abdul Aziz bin Sa’id, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Siapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka ia seperti berpuasa satu tahun. Siapa yang berpuasa tuju hari maka ditutup baginya pintu-pintu neraka jahannam. Siapa yang berpuasa delapan hari maka dibukakan pintu-pintu surga baginya. Siapa yang berpuasa sepuluh hari maka tidaklah ia meminta sesuatu kepada Allah kecuali akan dikabulkan. Siapa yang berpuasa lima belas hari, maka malaikat akan memanggilnya dari langit: ‘sungguh telah diampuni dosa masa lalumu’, maka perbaharuilah amalmu. Sungguh keburukanmu telah diganti dengan kebaikan. Siapa yang bertambah amalnya maka Allah akan menambah pula pahalanya, dan didalam bulan Rajab pula, Nabi Nuh diperintah naik ke perahunya, lalu Nabi Nuh berpuasa, dan juga memerintahkan orang-orang yang naik perahu bersamanya untuk berpuasa pula, lalu perahu itu berlayar dengan membawa Nabi Nuh dan kaumnya selama enam bulan, hingga akhirnya perjalanan itu sampai pada tanggal sepuluh yang bukan lagi dari bulan-bulan yang dimuliakan”.
Benarkah hadits di atas palsu dan tidak boleh diamalkan?
Telah kita ketahui bersama, bahwa mengamalkan hadits palsu sekalipun untuk fadho’ilul a’mal (yang tidak berkaitan dengan hukum halal, haram, jual beli, nikah, thalaq, dan lain lain) tidak diperbolehkan.
Namun, perlu diingat, butuh kejelasan pasti dari para ahli hadits untuk menentukan status sebuah hadist hingga dinyatakan palsu, bukan hanya angapan dari sebagian orang yang belum sampai pada derajat ahli hadist.
Sebab, boleh jadi hadits tersebut masih diperselisihkan statusnya, atau boleh jadi hanya dha’if bukan palsu, dan jika dha’if maka boleh diriwayatkan yang sudah barang tentu harus mengikuti aturan dan tata cara meriwayatkan hadist dha’if yang ditetapkan ahli hadist di dalam kitab-kitab musthalahul hadist untuk kepentingan fadha’ilul a’mal.
Ibnu Hajar al Haitami di dalam kitab Syarah al Arba’in an Nawawi menjelaskan:
قد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال؛لأنه إن كان صحيحا في نفس الأمر، فقد أعطي حقه من العمل به
Sungguh, para ulama telah sepakat dengan bolehnya beramal berdasar pada hadits dha’if dalam hal keutamaan-keutamaan amal, sebab jika hadits itu pada kenyataannya adalah shahih, maka sungguh seharusnya hadis itu diamalkan.
Terkait hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi di atas, Imam Suyuthi mengatakan:
Hadits itu terdapat banyak jalur periwayatannya, juga ada hadits lain yang jadi syahid (penguatnya) sehingga hadis itu naik derajat menjadi hadis dha’if.
Lanjut Imam Suyuthi, sesungguhnya hadis itu bagian dari hadits dha’if yang boleh diriwayatkan untuk fadha’ilul a’mal.
Sedangakan penyebab dha’ifnya hadits itu menurut para ulama ahli hadits dikarenakan di dalam mata rantai periwayatannya terdapat beberapa rawi yang dianggap lemah daya hafalannya, diantaranya adalah al Farrot bin Sa’ib dan Rusdin bin Sa’id.
Al Hafidz Ibnu Hajar al-asqalani mengutip hadis itu dan menjelaskan statusnya didalam kitabnya berjudul Amaalihi
هذا حديث غريب اتفق على روايته عن الفرات بن السائب وهو ضعيف
Hadits ini hadits gharib (tidak terkenal), ahli hadist telah sepakat bahwa periwayatannya dari jalur al Farrot bin Sa’ib lemah.
Sedangkan Rusdin bin Sa’id, al-Hafidz Ibnu Hajar menilai lemah daya hafalannya, akan tetapi haditsnya tidak sampai dihukumi palsu.
Lanjut Ibnu Hajar, Rusdin bin Sa’id masih diperselisihkan statusnya apakah tergolong sahabat atau bukan, dan banyak lagi para ahli hadits yang menjelaskan kedo’ifan hadits di atas.
Imam Suyuthi sendiri pada awalnya juga mempersoalkan matan hadits diatas.
Mengenai matan hadits di atas dimana di dalamnya terdapat banyak janji-janji pahala yang sangat fantastis dan terkesan berlebihan bagi yang melakukannya, hal itu sempat membuat Iman Suyuthi berfikir dan merasa ada yang ganjil. Pasalnya, pahala puasa yang disebutkan di dalam hadist qudsi yang shahih saja tidaklah demikian, justru allah terkesan merahasiakan besaran pahalanya seperti keterangan dari hadist qudsi berikut:
كل عمل ابن ادم له الا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به
“Setiap amaliyah ibadah manusia untuk diri sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya, puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalas amal itu”.
Pada akhirnya, keganjilan demi keganjilan itu terbantahkan dengan beberapa argumentasi yang sangat logis dari para ahli hadits yang lain.
Pertama, hadits qudsi di atas justru menunjukkan bahwa pahala puasa itu tiada akhir dan tiada batas. Dari hadist qudsi itu pula, terdapat petunjuk yang jelas bahwa puasa Ramadhan memiliki pahala yang lebih besar dari pahala puasa lainnya hingga Allah pun merahasiakan besaran pahalanya seperti pahala dari ibadah-ibadah wajib yang lain yang tak lain dalam pandangan sebagian ulama adalah sebagai cobaan bagi hambanya.
Kedua, bukti lain yang menunjukkan bahwa matan hadits di atas tidak kacau (itthirob) redaksinya adalah adanya perbandingan dengan matan hadits-hadits lain, seperti hadits yang menjelaskan tentang keutamaan puasa ‘asyura, puasa ‘arafah, dan puasa enam hari setelah puasa Ramadhan.
Di dalam puasa ‘asyura, pahala yang dijanjikan bagi yang melakukannya adalah sebagai pelebur dosa selama setahun, puasa ‘arafah dijanjikan sebagai pelebur dosa selama dua tahun, da puasa enam hari setelahnya akan sebanding pahalanya dengan puasa setahun penuh yang haditsnya termaktub dalam Shahih Muslim dan tidak dianggap hadits yang kacau (itthirob) redaksinya.
Sehinnga, pahala-pahala yang dijanjikan di dalam hadist yang diriwayatkan imam Baihaqi di atas kiranya tidaklah berlebihan ketika melihat padanannya atas matan hadits-hadits lain, sebab hal itu boleh jadi adalah sebagai motivasi (targhib) bagi yang hendak melakukannya.
Penjelasan para ulama yang benar-benar pakar hadits tersebut, justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan oleh segelintir orang di era sekarang yang menyatakan hadits tersebut palsu. Sehingga, bagi yang berpikir pastinya bisa menilai, apakah ustadz-ustadz medsos itu atau para ulama pakar hadits tersebut?
Apakah percaya kepada al Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqolani, Imam Suyuthi dan para Islam pakar-pakar hadits yang sependapat dengan keduanya yang sudah tidak di ragukan lagi, atau lebih percaya kepada ustadz-ustadz dadakan?
(Faizatul Ummah)