Menelisik Uraian Islam Tentang Ketidakbolehan Membunuh Sesama

Salafusshalih.com – Beberapa tahun terakhir, kekerasan berbasis Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) semakin sering terjadi di Indonesia. Pada masa Orde Baru, tindakan semacam ini dianggap tabu dan diredam dengan kuat oleh negara. Kini, kekerasan tersebut tidak hanya berwujud fisik tetapi juga marak dalam bentuk non-fisik, terutama di ranah digital.
Di berbagai forum daring, banyak orang saling mencaci, mengancam, bahkan menyebarkan kebencian atas dasar perbedaan agama, suku, atau golongan. Ironisnya, kekerasan non-fisik ini terkadang bertransformasi menjadi tindakan brutal di dunia nyata, memakan korban jiwa dan menghancurkan tatanan sosial.
Contoh nyata adalah tragedi yang menimpa komunitas Ahmadiyah di Cikeusik dan warga Syiah di Sampang, Madura. Di Cikeusik, tiga anggota Ahmadiyah dibunuh secara keji, sementara di Sampang, warga Syiah diusir dari kampung halamannya.
Kedua peristiwa ini mengatasnamakan agama, di mana Ahmadiyah dan Syiah dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam lainnya. Fenomena “sesat-menyesatkan” yang sebelumnya sempat memudar kini muncul kembali, memperlihatkan polarisasi baru dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Sejarah Islam di Indonesia mencatat bahwa fenomena saling menyesatkan bukanlah hal baru. Pada masa lalu, ketegangan antara dua organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sempat memanas akibat perbedaan dalam praktik ibadah.
Muhammadiyah, dengan semangat purifikasi Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis, sering mengkritik amalan-amalan yang dilakukan oleh warga NU, yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran murni. Sebaliknya, NU mempertahankan tradisi lokal yang dianggap sebagai bagian dari identitas Islam Nusantara.
Namun, seiring berjalannya waktu, kedua organisasi ini mampu meredakan tensi melalui dialog dan kerja sama. Kosmopolitanisme NU dan Muhammadiyah menjadi fondasi untuk membangun hubungan yang harmonis, di mana perbedaan dihormati dan fokus dialihkan pada persatuan umat. Kini, kolaborasi antara warga NU dan Muhammadiyah sering menjadi teladan bagi umat Islam lainnya.
Sayangnya, harmoni ini belum menjangkau kelompok-kelompok lain yang berada di luar arus utama. Kasus Ahmadiyah dan Syiah menunjukkan bahwa budaya toleransi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar.
Islam Menolak Kekerasan
Ajaran Islam yang memuliakan kehidupan manusia ini seharusnya menjadi pedoman dalam menghadapi perbedaan. Indonesia bukanlah darul harb (wilayah perang) yang menghalalkan penggunaan kekerasan atas nama jihad. Sebaliknya, jihad di Indonesia adalah jihad amar makruf nahi munkar, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan cara damai dan sesuai hukum.
Praktik saling menyesatkan tidak sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Dalam hadisnya, Nabi mengingatkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, namun hanya satu yang akan selamat, yaitu yang mengikuti jalan Rasulullah dan para sahabatnya. Sayangnya, hadis ini sering disalahpahami dan dijadikan pembenaran untuk menghakimi kelompok lain sebagai sesat.
Padahal, Nabi tidak pernah memerintahkan umatnya untuk saling berperang atau menyingkirkan kelompok tertentu. Sebaliknya, Islam mengajarkan jalan tengah (wasathiyah), yaitu menjadi umat yang moderat dan adil dalam menyikapi perbedaan.
Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas nilai-nilai kebinekaan. Kekerasan berbasis SARA hanya akan menghancurkan fondasi yang telah dirintis oleh para pendiri bangsa. Semua elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, harus berperan aktif dalam menyebarkan pesan perdamaian dan menghentikan praktik “sesat-menyesatkan.”
Dengan meneladani semangat toleransi yang ditunjukkan oleh NU dan Muhammadiyah, masyarakat Muslim di Indonesia dapat membangun kembali harmoni sosial. Kekerasan, baik fisik maupun non-fisik, harus dihentikan. Islam adalah agama yang memuliakan kehidupan, dan tugas kita sebagai umat adalah menjadikan ajaran ini sebagai dasar untuk menciptakan perdamaian dan keadilan bagi semua.
(Affandi Thahir)