Tsaqofah

Mengarusutamakan Nilai Kemanusiaan Dalam Islam Cinta

Judul: Islam; Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan, Penulis: K. H. Husein Muhammad, Penerbit: Diva Press, Cetak: Pertama, Agustus 2021, Tebal: 296 halaman, ISBN : 978-623-6166-64-2.

Salafusshalih.com – Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin menemukan momentum di hati pemeluknya tatkala mampu dimaknai sebagai agama kemanusiaan, cinta, keindahan, dan perdamaian. Agama yang memanifestasi kelindan ajaran adiluhung soal kasih sayang, mengasihi sesama tanpa tendensi egoisme sektoral. Demikian hakikat kebermaknaan Islam. Bahwa dengan segala dimensinya, Islam hadir untuk manusia dan kemanusiaan.

Islam tilikan Husein adalah suatu entitas  jalan terang, pelopor kebahagiaan, dan selebrasi kemanusiaan. Berislam berarti menghidupi spirit kemanusiaan, bukan memantik sumbu perpecahan atas nama agama. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Orang Islam adalah orang yang kehadirannya membuat rasa aman orang lain, baik dari ucapan maupun tangan atau kekuasaannya” .

Esai-esai Kiai Husein Muhammad dalam Islam; Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan dengan subtil memaknai Islam dalam empat cakupan; keislaman, kenabian, kesetaraan, dan pencerahan. Dimensi keislaman merujuk upaya menautkan Islam dengan nilai kemanusiaan. Di situ Islam berarti keindahan (ihsan). Dalam Islam, sikap Hablun min An-nass menjadi bagian dari upaya glorifikasi sikap kemanusiaan.

Itulah mengapa Ihsan secara elaboratif bermakna kejujuran, kesabaran, kesederhanaan, ketulusan, menghargai orang lain, dan tidak mencaci mereka yang berbeda pandangan. Orang yang menjalani hidupnya dengan Ihsan mencurahkan segenap energi positifnya berbuat baik tak berpamrih apa pun.  Ini merupakan bagian paling sublim penafsiran ihwal Islam.

Bagi Kiai Husein, pemaknaan Islam yang subtil tidak hanya sekadar agama dengan seperangkat ritus yang mengagungkan justifikasi hitam putih. Bukan pula dimensi nalar kekerasan atas nama yang suci, Tuhan. Jauh dari itu, Islam memotivasi pemeluknya senantiasa bersikap arif dengan memungut makna di balik pendaran perintah-Nya. Perintah Tuhan yang termanifestasi sehari-hari begitu sarat makna.

Di sinilah Kiai Husein secara implisit hendak mengatakan bahwa adanya perintah Tuhan bukan tanpa alasan, perintah-perintah itu beralasan. Dari perintah Tuhan yang beralasan itulah lahir bulir hikmah patut dipungut dan direnung. Dalam puasa, misalnya, terselip hikmah momen perenungan. Ia mengendalikan hasrat-hasrat paling rendah dan sementara. Di sisi lain, puasa melatih sensitivitas pikiran, hasrat, dan tindakan agar selalu terkontrol dan terkendali (Hal-67).

Adanya muatan hikmah di balik perintah-Nya senantiasa momen mengaktualisasikan sikap kemanusiaan. Perintah jamarat dan  kurban merupakan simbol membebaskan egoisme. ‘Arafah: arena persaudaraan umat manusia. Dua perintah ini merupakan sekelumit hikmah dari sekian banyak perintah Tuhan.

Maka seyogianya manusia menjalankan semua tugas dan amanat Tuhan itu dalam rangka kemanusiaan. Ada semacam kontrol diri ketika semua amanat itu dilakoni dengan hati tulus. Ia membebaskan manusia dari egoisme yang membelenggu. Lalu menghantar kita ke titik paling agung menara keterhubungan substantif dengan-Nya.

Deskripsi pertautan antara hikmah di balik perintah Tuhan dengan nilai kemanusiaan yang didedah Kiai Husein merekonstruksi narasi masygul keberislaman mutakhir. Sekaligus menampik stigma negatif Barat yang telah lama mendudukkan Islam sebagai tempat berselubungnya berjibun kebencian. Islam yang diwartakannya merupakan peradaban yang unggul. Sekali lagi,  Islam baginya mengajari cinta dan kemanusiaan.

Ia kemudian mengajak pembaca memahami  konsep “trilogi Islam”. Trilogi ini mengajarkan dan mewadahi dimensi-dimensi manusia. Pertama, dimensi keimanan yang menjadi sebuah komitmen terhadap keesaan-Nya. Kedua, dimensi yang bertaut dengan aturan-aturan tingkah laku.

Ini berkaitan dengan aktualisasi bagi keyakinan yang bersifat esoterik. Dan ketiga, dimensi norma-norma yang mengatur dan mengarahkan gerak hati nurani. Ini merupakan aspek esoterik yang melahirkan kehalusan Budi, moral luhur, dan Akhlaqul Karimah (Hlm. 71).

Dengan demikian, Islam yang agama pencerahan, bagi Kiai Husein, perlu dipahami dengan segala dinamika dan verifikasi tafsirnya. Ia tak ingin berkubang pada realitas tafsir tunggal yang menurutnya berselubung hasrat kekuasaan. Hal ini terlihat dalam tiap esai yang kritis nan kontemplatif.

Hasil pergumulan pemikiran. Dan representasi pancaran hati Sang Kiai. Dengan begitu, esai-esai yang disuguhkan tidak menohok, dan bertendensi mengingatkan dengan refleksi yang berbobot.

(Redaksi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button