Mujadalah

Menguak Gerakan HTI dan Salafi-Wahabi di Dunia Pendidikan

Salafusshalih.com – Ketika segelintir orang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia hari ini berlebihan dalam menanggulangi terorisme dan kroco-kroconya, maka tanpa sadar mereka telah memberikan celah kepercayaan kepada para teroris dan radikalis untuk beraksi di negeri ini. Kelompok radikal tidak butuh apa pun, kecuali hati masyarakat. Anggapan-anggapan skeptis atas keberadaan mereka, adalah hadiah terbesar yang telah kita berikan untuk aktivismenya.

Kelompok radikal adalah kelompok yang militan, meskipun militansi tersebut sejatinya adalah kebebalan. Mereka tidak terpecah untuk merombak total negara ini; mulai sistem pendidikan hingga sistem pemerintahan. Yang sering kali cekcok adalah kita sendiri, antara yang percaya dan tidak. Pergerakan kelompok radikal diragukan, dianggap sebagai komoditas, dan upaya melawannya justru dianggap proyek. Kita sendiri, faktanya, yang memberi mereka ruang.

Seorang dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Dr. Juliana, S.Pd., M.E.Sy, terkonfirmasi melakukan penyebaran ajaran anti-Pancasila melalui media sosial dan forum-forum diskusi. Kendati baru ketahuan, dosen Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam itu sebenarnya telah lama jadi ASN yang merangkap sebagai simpatisan HTI. Di Aula Masjid Al-Furqon, UPI, beberapa tahun lalu, ia pernah mengisi kajian yang secara implisit berisi ke-HTI-an.

Selain itu, Juni lalu, Dr. Juliana juga sempat jadi pemateri bertajuk “Ironi Pajak: Si Kaya Diservise, Si Miskin Tercekik” di kanal YouTube yang berafiliasi HTI. Dalam kajian tersebut, sebagaimana lumrahnya siasat kajian HTI, arah diskusi adalah upaya memojokkan sistem pajak di negara demokrasi kita—untuk menawarkan sistem khilafah yang dianggapnya membela kaum tertindas. Aktivisme HTI sering sekali menggelar kajian semacam itu.

Kasus Dr. Juliana tentu saja bukan kasus tunggal. ASN yang sepertinya, yang menikmati gaji negara sambil merongrong negara, banyak sekali. Ini mengindikasikan bahwa meskipun hari ini pemerintah telah mati-matian memerangi radikalisme, kelompok radikal tidak pernah mati. Pengajaran anti-Pancasila tetap marak, seruan mendirikan khilafah juga selalu semarak. Kampus umum, terutama sekali, menjadi ladang dari pergerakan mereka yang merongrong  negara.

Ironi Kampus Umum

Kampus umum, sebagaimana lumrah dalam kultur masyarakat kita, adalah kampus kebanggaan. Kampus-kampus mentereng seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan PTUN lainnya memiliki magnet tersendiri di hati masyarakat sebagai kampus penuh prestasi membanggakan. Beda halnya dengan PTKIN, seperti IAIN dan UIN yang kerap kali tertuduh sebagai kampus liberal. Jelas, ini adalah ironi.

Faktanya, PTUN-lah yang rentan jadi sarang radikalisasi. Tumpah-ruah kelompok radikal di dalamnya, mulai dari mahasiswa, karyawan, hingga dosen, bahkan juga jajaran pimpinan. Jadi selain membanggakan dengan prestasi, kampus umum juga tidak jarang merongrong negara dengan radikalisasi. Lebih ironinya, pemerintah belum bisa memberantas habis. Dan yang paling ironis, masyarakat banyak yang tidak percaya dengan pergerakan mereka.

HTI telah lama bersarang di kampus umum, dan sarang mereka kuat—tidak mudah dimusnahkan. Karena itu, pemerintah tidak boleh leye-leye dan leha-leha, merasa bahwa mereka telah sukses dalam melakukan kontra-radikalisasi. Perlu political will yang lebih menggigit, yang lebih berani, dan bisa berefek kejeraan paten terutama bagi para ASN yang jadi kaki-tangan kelompok radikal di kampus umum. Hanya dengan itu, the decline of radicalism bisa sukses.

Namun apakah kemudian rongrongan kelompok radikal akan selesai? Tidak sesederhana itu. Yang kita bicarakan tadi adalah radikalisasi HTI. Faktanya negara ini punya aktor radikalisasi yang lain, yang mungkin lebih susah diberantas, yaitu: Salafi-Wahhabi.

Habis HTI Terbitlah Wahhabi

The decline of radicalism merupakan tesis Azyumardi Azra, profesor sejarah dari UIN Jakarta, yang bertolak dari kemasifan pemerintah dalam memerangi radikalisme. Dalam pandangan Azra, hari ini kelompok radikal tidak bisa berkutik, sehingga radikalisasi tidak lagi menjadi momok yang menakutkan. Semuanya berkat pemerintahan Jokowi yang tegas melawan kelompok radikal—sampai pada tahap yang oleh Vedi. Hadiz (2019: xix) disebut “represif”.

Namun tesis tersebut relevan hanya jika radikalisme dimaksud berbasis kekerasan. Setelah HTI dibubarkan dan FPI dilarang, di ranah publik memang relatif reda daripada sebelumnya. Tak ada aksi jalanan, tak ada persekusi. Narasi khilafah yang berbau bughat juga menurun drastis. Sepertinya radikalisme berbasis ekstremitas telah mati, sehingga tesis Azra tentang the decline of radicalism menemukan pembenarannya.

Namun apakah kelompok radikal hanya diperuntukkan bagi mereka yang menyuarakan kekerasan seperti HTI-FPI cs?  Ini harus diluruskan.

Rongrongan terhadap negara tidak hanya memakai jalur politis, melainkan juga jalur teologis. Dalam konteks ini, Wahhabi adalah dedengkotnya yang paling berbahaya. Meskipun para ustaznya, media, dan lembaga pendidikannya tidak secara terang-terangan menginstruksikan teror, namun ajaran mereka secara otomatis membuat pengikutnya terlibat terorisme. Karena itu, Wahhabi—atau Salafi, atau juga kaum Nyunnah—itu harus diberantas pula.

Tulisan-tulisan sebelumnya telah mengulas tentang Salafi-Wahhabi dan sepak terjang mereka dalam agenda Wahhabisasi global. Mereka punya sokongan dana yang besar, dari Arab Saudi, sehingga pergerakannya di Indonesia sangat masif dan seolah-olah didorong hati nurani ihwal pemurnian Islam. Kelompok radikal dari Salafi-Wahhabi ini punya lembaga pendidikan yang mapan, ratusan ustaz, ratusan media, yang siap menggempur Indonesia.

Kita, karena alasan tersebut, juga sebagai sikap tegas yang sama sebagaimana pada HTI dan FPI, harus menelanjangi Salaf-Wahhabi dalam segala lini. Masyarakat harus sadar bersama bahwa pemerintah sudah on the track ketika masif menghadapi kelompok radikal. Kendati HTI telah bubar, tetapi tugas kita masih menumpuk. Sebab, habis HTI terbitlah Salafi-Wahhabi. Sama-sama penyakit, dan sama-sama perongrong bangsa yang mesti dibabat habis.

(Ahmad Khoiri)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button