Tsaqofah

Perempuan Bekerja Dalam Sektor Publik Menurut Islam

Salafusshalih.com – Dewasa ini, kerap kita jumpai di setiap instansi maupun lembaga negara hingga pusat perbelanjaan seperti mall, supermarket dan pasar tradisional hampir semuanya dipenuhi oleh pekerja perempuan. Keterlibatan perempuan di sektor publik ini jumlahnya dari tahun ke-tahun terus meningkat. Hal ini disinyalir di antaranya selain dikarenakan faktor kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, juga karena banyaknya permintaan penerimaan tenaga kerja perempuan di sektor publik.

Keterlibatan Perempuan di Sektor Publik pada Masa Rasulullah

Dalam Islam tidak ditemukan ketentuan hukum yang sharih (jelas dan gamblang) tentang larangan bagi seorang perempuan, untuk bekerja di ranah publik sesuai dengan pilihan dan kemampuannya. Bahkan pada saat Rasulullah Saw. masih hidup, kaum perempuan telah memberikan kontribusi positif dalam berbagai sektor pekerjaan, seperti membantu para tentara, menjadi para medis mengobati korban peperangan yang terluka, dan pelbagai bidang pekerjaan lain yang lazim dan dibutuhkan pada masa itu.

Jika ditelaah lebih jauh, keterlibatan perempuan dalam pekerjaan sudah ada semenjak periode permulaan Islam. Sebagai contoh, menurut keterangan yang dipaparkan oleh Mutawalli Asy-Sya’rawi (w. 1419 H) dalam kitabnya Al-Mar’ah wa Ar-Rajul wa Khusum Al-Islam, ia menuturkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah menggembalakan kuda suaminya, serta mencarikan air dan makanan untuk kuda tunggangan tersebut dan pekerjaan lainnya.

Ibn Abd Al-Bar (w. 463 H) tatkala menceritakan profil Asma binti Makhramah mengungkapkan bahwasanya beliau menjual minyak wangi di pasar Madinah pada masa Rasulullah Saw., perempuan lain yang ikut dalam bisnis dan ikut andil dalam perekonomian di masa Nabi Saw. sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Sa’ad (w. 230 H) dalam kumpulan biografinya At-Thabaqat al-Kubro menyebutkan bahwa Zainab binti Jahsy berprofesi sebagai penyamak kulit binatang.

 

Ummu Salim binti Malhan berprofesi sebagai tukang rias pengantin, dan As-Syifa’ seorang perempuan yang pandai menulis pernah ditugasi oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab untuk menangani pasar Kota Madinah. Istri Abdullah Ibn Mas’ud dikenal sebagai wiraswasta yang sukses dan aktif bekerja karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya.

Dr. Nuruddin Itr (w. 1441 H) mengafirmasi dalam karyanya Amal Al-Mar’ah wa Ikhtilatiha wa Dauruha fi Bina Al-Mujtami’ perihal keterlibatan perempuan di sektor ekonomi yang terjadi semasa hidup Rasulullah Saw. tersebut:

وَكَانَ مُعْتَادًا وَلاَ يَزَالُ أَنْ تَنْزِلَ الْمَرْأَةُ أَسْوَاقَ الْمَدِيْنَةِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمْ- تَحْمِلُ سِلَعًا تَبِيْعُهَا، وَتَشْتَرِيْ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ

“Sudah menjadi kebiasaan yang terjadi secara terus-menerus, para perempuan menempati pasar Madinah pada masa Rasulullah Saw. membawa barang-barang yang mereka jual serta membeli apa yang mereka butuhkan.”

Beberapa keterangan yang telah disampaikan di muka menunjukkan bahwa tidak sedikit para perempuan di masa Rasulullah Saw. yang ikut andil dalam memajukan perekonomian kala itu. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada larangan bagi perempuan untuk terlibat dalam perekonomian dan bisnis yang notabene merupakan sektor publik.

Ketentuan Perempuan Bekerja di Sektor Publik dalam Islam

Secara prinsipil, melakukan aktivitas pekerjaan diluar rumah bagi perempuan merupakan hak yang disyariatkan dan diberikan legalitas hukum dalam Islam. Sehingga, perempuan diperkenankan untuk melakukan aktivitas pekerjaan di berbagai sektor publik seperti halnya sektor pertanian, perdagangan, pertukangan dan industri rumahan (home industri). Namun, menurut Dr. Abdul Halim Mahmud (w. 1397 H) dalam kompilasi fatwanya terdapat ketentuan yang harus terpenuhi yakni:

  1. Menggunakan pakaian yang dapat menutupi aurat dan tidak menampakkan lekuk tubuhnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat perempuan serta sebagai bentuk preventif. Guna menghindari fitnah serta menjaganya dari pandangan orang-orang yang berakhlak buruk.
  2. Adanya otoritas ataupun izin dari pihak wali (orangtua/suami) perempuan untuk melakukan aktivitas pekerjaan diluar rumah.
  3. Bekerja karena faktor darurat atau kebutuhan yang mendesak, sebab pada dasarnya dalam Islam perempuan tidak dituntut untuk menafkahi siapapun. Karena selama masih terdapat wali, maka kewajiban nafkah tersebut dibebankan padanya. Kendati begitu, bilamana perempuan ditinggal wafat oleh suaminya, atau sang suami masih hidup namun pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, atau dengan tujuan mengisi kekosongan akibat tidak melakukan kegiatan apapun, maka diperbolehkan bagi perempuan untuk melakukan aktivitas pekerjaan.
  4. Aktivitas pekerjaan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan syariat, maka diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan maupun profesi yang mengandung tujuan jelas serta tidak bertentangan dengan syariat.
  5. Bentuk pekerjaan layak dilakukan oleh perempuan berdasarkan karakteristik feminimnya, maka tidak diperkenankan seorang perempuan melakukan aktivitas pekerjaan yang terbilang berat seperti memikul barang ataupun mengendalikan alat berat seperti mesin traktor dan lain sebagainya. Sebab, aktivitas pekerjaan tersebut kontra dengan kemampuan fisiknya lebih daripada itu pekerjaan demikian sepatutnya dilakukan oleh seorang laki-laki.
 

Terakhir, sebagai respon atas fenomena perempuan yang umumnya memang tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi suami, anak maupun urusan rumah tangganya akibat bekerja di sektor publik. Dr. Nuruddin Itr (w. 1441 H) memberikan catatan bahwasanya perempuan sebaiknya tidak melakukan aktivitas pekerjaan yang memakan durasi lama sehingga bisa berdampak terhadap terbengkalainya kewajiban sebagai istri:

فَلاَ يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تُلْتَحَقَ بِعَمَلٍ سَيَشْغَلُهَا سَاعَاتٍ طَوِيْلَةً، يُؤَدِّيْ إِلَى تَضْيِيْعِ وَاجِبٍ عَلَيْهَا لِزَوْجِهَا أَوْ وَلَدِهَا أَوْ لِوَلِيِّهَا وَمَا إِلَى ذَلِكَ، فَإِنَّهَا مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ ذَلِكَ

“Tidak diperbolehkan bagi perempuan untuk melakukan aktivitas pekerjaan yang menyibukan dirinya dalam durasi waktu yang lama sehingga membuat terbengkalainya kewajiban sebagai seorang istri kepada suami, anak, dan orangtuanya. Karena, sesungguhnya ia bertanggung jawab akan hal tersebut.”

Karenanya, perempuan yang bekerja di sektor publik selain harus memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Islam juga diharapkan agar proporsional dalam membagi waktu. Pada satu sisi bagaimana agar ia tidak kehilangan profesionalisme dalam pekerjaan yang dijalankannya, di sisi yang lain pun dituntut untuk dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Tentunya, hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh perempuan pekerja tersebut.

Walhasil, tidak ada larangan dalam Islam bagi perempuan untuk berperan dan ikut andil di sektor publik, selama pekerjaan yang dilakukannya selaras dengan prinsip-prinsip syariat, menjaga etika dan kehormatannya, serta tidak sampai membuatnya menelantarkan anak dan kewajibannya sebagai sosok istri.

(Redaksi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button