Mujadalah

Praktek Nikah Beda Agama Dengan Jadi Mualaf Temporer, Sahkah?

Salafusshalih.com – Pernikahan beda agama di Indonesia masih menjadi hal yang tabu, meskipun pada prakteknya banyak terjadi dikalangan masyarakat, namun sejak terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang larangan pernikahan beda agama dan dikuatkan dengan surat edaran dari Mahkamah Agung peluang masyarakat untuk melegalkan pernikahan beda agama di Indonesia menjadi semakin tipis.

Dilansir dari laman republika.co.id Peneliti dan Mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Andre Afrilian mengungkap nikah beda agama dengan modus mualaf temporer. Menurut dia, banyak daerah di Indonesia yang telah melakukan pratik ini.

“Daerah yang melakukan praktik ini tentunya banyak, terutama di daerah dengan keberagaman agama dan toleransi yang tinggi, tidak menutup kemungkinan banyak terjadi praktik ini karena tentunya sosialisasi masyarakatnya juga antar agama yang berbeda tentu ada yang menjalin hubungan hingga memantapkan untuk menikah,” ujar Andre saat dihubungi Republika, Selasa (30/7/2024).

Saat melakukan penelitian lapangan, Andre bahkan telah menemukan praktik ini di salah satu daerah di Kabupaten Malang, Jawa Timur.”Salah satunya yang saya jumpai di Kabupaten Malang, karena keterbatasan data biaya dan waktu saya belum sempat melakukan penelitian mendalam ke instansi terkait,” ucap Andre.

Kendati demikian, Andre telah menemukan dua narasumber yang melakukan praktik mualaf temporer tersebut. Menurut dia, mereka mengaku agar perkawinannya dicatatkan sehingga memudahkannya dalam mengurus administrasi di kemudian hari.

Sebenarnya, dia menjelaskan, praktik untuk memperoleh legalitas perkawinan tersebut sudah ada yang melakukan sejak lama, mengingat hal tersebut merupakan alternatif paling gampang untuk bisa dicatatkan dengan mengesampingkan apakah niatnya mualaf benar ikhlas dari panggilan hati atau cuma dengan adanya niat terselubung dan atau bahkan kembali ke agama asalnya setelah dicatatkan perkawinannya.

Dia mengatakan, banyak alternatif pasangan beda agama untuk mendapatkan legalitas, seperti menikah di luar negeri di negara anglo saxon yang menganut sistem hukum common law, mendapatkan penetapan hakim, atau mengikuti agama keyakinan salah satu calon.

Namun, larangan nikah beda agama kini telah dilarang secara tegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 dan Fatwa MUI VIII/16/Ijtima Ulama/VIII/2024. Sehingga, hal itu mengurangi alternatif yang digunakan pelaku nikah beda agama.

“Dengan terbitnya SEMA nomor 2 tahun 2023 yang juga didukung oleh fatwa MUI VIII Nomor 16 Ijtima’ Ulama VIII 2024 kemarin yang melarang bagi hakim mengabulkan perkawinan beda agama dicatatkan, maka satu alternatif berkurang dan banyak pasangan beda agama melakukan dengan cara mualaf bagi yang ingin menikah dengan pasangan Muslim,” kata Andre.

Dalam Islam, tambah dia, praktik ini sebenarnya juga sudah pernah terjadi yaitu pada Ummu Sulaim alias Rumaisha binti Malhan, ibunda Anas bin Malik yang dikenal sebagai sahabat sekaligus pelayan Rasulullah. Setelah Malik bin an-Nadhr, suami pertamanya meninggal, ia dilamar oleh seorang lelaki yang tampan dan kaya raya bernama Zaid bin Sahal an-Najjariy alias Abu Thalhah yang kelak menjadi salah satu sahabat Rasulullah.

Namun karena saat itu Zaid masih belum masuk Islam maka Ummu Sulaim menolak lamarannya, sehingga Zaid kemudian memantapkan diri dan hati untuk masuk Islam. Dia pun menjadikan status mualafnya sebagai mahar untuk menikahi Ummu Sulaim.

“Namun dalam konteks ini jika mualaf hanya dijadikan kedok yang kemudian kembali ke agama asal maka ini merupakan perilaku yang tidak etis dan merupakan pelecehan karena mempermainkan agama,” jelas Andre.

(Redaksi)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button