Hubbul Wathan

Transformasi Kepemimpinan Negara ala Umar bin Abdul Aziz

Salafusshalih.com – Muharam bukan sekadar pergantian tahun dalam kalender Islam. Muharam adalah bulan untuk menghidupkan kembali semangat hijrah—baik hijrah spiritual, hijrah struktural, maupun hijrah kepemimpinan.

Judul artikel ini bukan hiperbola. Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz memang sungguh transformasional. Ia menunjukkan bahwa sebuah negara dapat berubah total hanya dalam waktu dua tahun lima bulan.

Bukan karena strategi ekonomi yang canggih, bukan pula karena penguasaan teknologi, melainkan karena keberanian moral dan kesungguhan menegakkan keadilan. Kepemimpinan yang tidak dilandasi kepentingan politik, tetapi keberanian menolak kenyamanan pribadi demi kemaslahatan umat.

Saya terhenyak saat membaca kembali kisah Umar bin Abdul Aziz. Bukan karena ia seorang khalifah, melainkan karena ia tidak tampak seperti seorang khalifah. Bahkan ketika ia menjadi pemimpin dunia Islam sekalipun. Ia tidak memiliki kendaraan khusus, tidak ada ajudan, tidak pula bergaya. Apalagi pencitraan.

Artikel ini bukan catatan sejarah, melainkan renungan kecil saya di awal tahun Hijriah—berusaha mengambil hikmah dan inspirasi dari langkah-langkah tokoh besar dunia yang berhasil membawa perubahan. Termasuk Umar bin Abdul Aziz, yang kisah kepemimpinannya sangat monumental.

Muharam tahun 99 Hijriah. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik wafat. Sebelumnya, ia telah menulis surat wasiat tentang siapa yang akan menggantikannya. Ditulis tangan, disegel rapat. Tidak seorang pun tahu isinya.

Begitu dibuka, nama Umar bin Abdul Aziz tertera di dalamnya. Gegerlah istana. Mengapa bukan salah satu anak Sulaiman, sang khalifah? Namun, surat wasiat itu sah, dan Umar bin Abdul Aziz pun dibaiat sebagai khalifah.

Umar sendiri sempat bingung. Ia menangis dan bahkan ingin menolak. Namun para ulama menyuruhnya menerima. “Amanah,” kata mereka. Dari situlah sejarah berubah arah.

Pada awal masa kekhalifahannya, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada keluarganya, “Kembalikan seluruh harta kekayaan yang kalian miliki dari kas negara.”

Istrinya, Fatimah—putri Khalifah Abdul Malik bin Marwan—menyerahkan seluruh perhiasannya ke Baitul Mal. Tanpa drama. Tanpa unggahan Instagram.

Dua tahun lima bulan. Hanya sependek itu masa jabatan Umar bin Abdul Aziz—dari tahun 717 M (99 H) hingga wafatnya pada 720 M (101 H). Namun, dalam waktu sesingkat itu, ia berhasil mengubah arah sejarah. Tidak ada lagi rakyat miskin yang layak menerima zakat, karena semua rakyat telah sejahtera. Tidak ada korupsi. Tidak ada pajak mencekik. Tidak ada pejabat daerah yang bermain proyek.

Saya pun berpikir, mungkin Indonesia tidak butuh sepuluh tahun untuk berubah. Mungkin cukup dua tahun saja, asal yang memimpin memiliki keberanian moral seperti Umar bin Abdul Aziz.

Apakah itu mungkin? Sangat mungkin. Asal pemimpin tidak sibuk membangun citra. Asal jabatan tidak dianggap sebagai hadiah, tetapi amanah. Asal tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menjamin anak, menantu, atau kroni-kroninya mendapat posisi, dengan segala cara.

Umar bin Abdul Aziz bukan manusia super. Ia hanya menolak hidup berlebihan. Ia hanya percaya bahwa keadilan lebih langgeng daripada ketakutan. Ia hanya tahu bahwa nama baik akan bertahan lebih lama daripada nama besar.

Di bulan Muharam ini, saya tidak ingin mengajak siapa-siapa. Saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri—bahwa dalam dunia yang penuh gemerlap ini, pernah ada seorang pemimpin yang hidup dalam kesederhanaan, tetapi harum namanya sepanjang zaman. Dan semua itu bermula di bulan Muharam.

Indonesia sebetulnya memiliki masa depan yang cerah. Kita memiliki potensi sosial, spiritual, dan intelektual yang luar biasa. Hanya saja, negeri ini membutuhkan keberanian bersama untuk menjalani transformasi yang sejati, seperti yang dicontohkan Umar bin Abdul Aziz.

Jika seluruh komponen bangsa—para pemimpin politik, birokrat, akademisi, dan masyarakat sipil—berkomitmen mendorong Presiden untuk lebih fokus pada agenda-agenda pembaruan yang hakiki, tanpa terus menoleh ke belakang, apalagi menunggu arahan presiden sebelumnya, maka bangsa ini bisa melesat jauh lebih cepat dari yang kita kira.

Momentum Muharam adalah saat yang tepat untuk menata ulang arah perjalanan bangsa. Asal kita mau saja.

(Ulul Albab)

Related Articles

Back to top button