5 Alasan Jangan Menyisakan Makanan Meskipun Hanya Sebutir Nasi
Salafusshalih.com – Ironis, Indonesia yang merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia nyatanya memiliki sampah makanan terbesar di dunia juga, yakni sekitar 23-48 juta ton per tahunnya (Bappenas, 2021). Ini tentunya bertentangan dengan akhlak seorang muslim terhadap makanan, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassallam.
“Apabila seseorang di antara kalian makan, maka jilatlah jari-jemarinya karena ia tidak mengetahui di bagian jari yang manakah keberkahan itu berada.” (H.R. Muslim)
Dan dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahuanhu, “Dan janganlah ia membersihkan tangannya dengan lap, hingga ia menjilat jari-jemarinya.” (H.R. Muslim)
Bayangkan kalau setiap muslim di Indonesia benar-benar meniru akhlak Rasulullah shalallahu alaihi wassalam terhadap makanan, yang bahkan tidak membiarkan sebutir nasi pun terbuang di lap serbet, sudah pasti jumlah sampah makanan akan berkurang drastis.
Faktanya saat ini, banyak muslim yang tidak memperlihatkan akhlak mulia terhadap rezeki berupa makanan yang Allah berikan pada mereka, mentang-mentang mampu membeli berbagai lauk, sampai tak menyadari bahwa kita bertanggungjawab menghabiskannya hingga butir dan tetes terakhir.
Coba periksa sendiri piring bekas kita makan, apakah benar-benar bersih, atau masih banyak butiran nasi tersisa, potongan sayur, bahkan potongan daging?
Masalah sampah makanan ini merupakan perkara yang dianggap remeh oleh banyak orang, namun sebenarnya telah merugikan bangsa ini senilai 213-551 trilyun setiap tahunnya. Adakah masih engkau pandang sebelah mata? Bahkan setelah mengetahui Rasulullah tidak mencontohkan membuang-buang makanan meski sebutir nasi?
Setidaknya ada 5 alasan untuk tidak menyisakan makanan, jika kita memahami alasan-alasan ini dengan sebenar-benarnya, insya Allah akan mengubah akhlak kita terhadap makanan sebagaimana yang Rasulullah contohkan:
Menjauhkan diri dari sifat mubadzir
Banyak orang tanpa menyadari telah bersaudara dengan setan, yakni karena menyisakan banyak makanan di piringnya, bahkan tanpa rasa bersalah apalagi menyesal.
“Aku kan sudah kenyang.”
Kalau begitu, semestinya membiasakan diri menakar makanan yang kita ambil di piring, jangan sampai berlebihan dan kemudian dibuang menjadi sampah, bukankah itu artinya kita telah menyia-nyiakan makanan?
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al Isro’: 26-27).
Selama kita tak bisa merasa bersalah dan menyesal karena masih ada butir nasi yang tersisa, selama itu pula akhlak kita terhadap makanan takkan pernah berubah. Bukankah setan tak pernah merasa bersalah? Maka, berhentilah bersaudara dengan setan, mulailah dengan bertanggungjawab menghabiskan makanan yang ada di piringmu sendiri hingga bersih!
Menghargai jerih payah banyak orang
Sadari bahwa setiap butir nasi yang kita nikmati adalah hasil jerih payah banyak orang hingga bisa terhidang di piring kita!
Ada keringat petani, sopir pengangkut beras, pedagang beras di pasar, sampai koki di restoran, atau istri di rumah yang telah bersusah payah menyajikannya untuk kita santap.
Itu baru beras, belum sayur dan lauk pauk lainnya. Kita bahkan tak perlu bersusah payah menanam atau memanen, hanya tinggal memasukannya saja ke dalam perut, apakah hal tersebut begitu rumit dan sulitnya hingga kita masih saja beralasan?
Padahal Nabi shalallahu alaihi wassalam telah begitu tegas meminta kita menjilati hingga setiap jari untuk memastikan tak ada yang tersia. Apakah pengakuan kita untuk mengikuti teladan Rasulullah hanyalah omong kosong belaka?
Menyadari banyak orang yang tidak seberuntung diri kita bisa makan setiap hari
Jika kita masih kesulitan menghargai betapa pentingnya sebutir nasi, saksikanlah anak-anak di daerah konflik yang harus memunguti remah-remah roti meski telah terjatuh di atas pasir. Mereka lah yang paham benar betapa berartinya makanan!
Mengetahui balasan mengerikan untuk orang yang tidak menghargai makanan
“Dulu, Bani Israil pernah beristinja dengan roti. Kemudian Allah kirimkan rasa lapar kepada mereka, hingga mereka mencari-cari di toilet mereka untuk dimakan.” (Ibnu Abid Dunya — Islah Mal — no. 344)
Demikianlah yang akan terjadi pada orang-orang yang tak dapat menghargai makanan, akan tiba masanya Allah kirimkan wabah kelaparan sehingga ia akan menangisi perbuatan yang pernah dilakukan sebelumnya dalam menghamburkan makanan.
Mencontohkan akhlak terhadap makanan melalui perbuatan nyata
“Percuma kalau cuma saya saja yang menghargai makanan, banyak orang yang masih terbiasa makan bersisa!”
Tugas kita hanyalah sebagai pemberi peringatan, bukan pemaksa, maka berdakwalah pada orang lain melalui contoh nyata, yakni memberi teladan dengan memakan sampai tak ada lagi yang tersisa di atas piring, ajarkan pula anak-anak kita melakukannya.
Hal besar bisa terjadi dimulai dari diri kita sendiri, maka mulailah dari hal kecil yakni dengan tidak menyisakan makanan meski sebutir nasi.
(Shinta Dewi Indriani)