Aliran-Aliran Teologi Yang Masih Eksis Sampai Sekarang
Salafusshalih.com – Ada sebuah buku berjudul Al-Milal wa an-Nihal. Buku ini ditulis oleh Syahrastani, ilmuwan ahli Khurasan, yang saat ini masuk ke dalam wilayah negara Iran. Saya beberapa hari yang lalu mencoba membaca beberapa pembahasan di dalamnya, terlebih pemikiran aliran teologi, seperti Muktazilah, Khawarij, bahkan Asy’ariyah.
Sebenarnya banyak aliran teologi yang disinggung dalam kitab ini. Tapi, saya tertarik terhadap pemikiran aliran tiga ini, karena pemikirannya masih terlihat sampai detik ini. Khawarij dengan gagasannya yang demokratis, tapi keras dalam pengaplikasian. Buktinya, Khawarij menghalalkan darah orang yang dianggap kafir. Biasanya orang kafir, bagi mereka, adalah orang yang tidak menegakkan hukum Allah.
Di zaman sekarang pemikiran Khawarij terbingkai pada kelompok radikal yang getol menyuarakan doktrin agama kepada publik, namun mereka bertindak ekstrem dalam dakwahnya. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan kejahatan dengan pengeboman, bom bunuh diri, dan lain-lain untuk menghabisi orang-orang yang dianggap mungkar.
Selain itu, kelompok neo-Khawarij ini lebih tetapnya kalau dalam dunia politik termasuk kelompok oposisi pemerintah yang sah, tapi mereka gemar melakukan kekerasan dalam bertindak. Kelompok ini tidak mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan. Yang terpenting, kepentingan dalam meraih kekuasaan tercapai. Sungguh sangat berbahaya kelompok semacam ini!
Kemudian aliran teologi yang lain adalah Muktazilah. Muktazilah dikenal sebagai pengikut Washil bin Atha’ yang cukup rasionalis dalam menyikapi suatu hal. Mereka lebih tepatnya disebut sebagai kelompok liberalis. Peran akal, bagi mereka, berada di atas peran wahyu. Belakangan pemikiran Muktazilah terlihat pada diri Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, yang terkenal sebagai penulis Tafsir al-Manar.
Muktazilah bukan kelompok yang gemar berbuat kekerasan terhadap orang lain, meski orang itu tidak sepemikiran dengannya. Karena, Muktazilah percaya betul bahwa segala perbuatan manusia kelak akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Manusia yang baik akan dibalas dengan pahala. Sebaliknya, manusia yang jahat akan dihukum dengan hukuman yang pedih.
Hadirnya kelompok Muktazilah membawa angin segar pada perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia diajak berpikir, bukan percaya kepada dogma. Karena, perkembangan ilmu pengetahuan bertumpu pada kinerja berpikir yang logis. Tak heran pada waktu itu muncul tokoh sekelas Ibnu Rusyd (pakar filsafat), al-Khawarizmi (pakar matematika dan astronomi), Ibnu Sina (pakar kedokteran), dan masih banyak yang lainnya.
Namun, pemikiran Muktazilah yang berkembang di Baghdad pada waktu itu dicekal, karena berbahaya terhadap masa depan wahyu. Akhirnya, muncul aliran Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Asy’ariyah ini adalah Sunni atau Ahlus Sunnah. Kelompok ini lebih meletakkan wahyu di atas akal. Mereka menentang pemujaan terhadap akal.
Tokoh yang cukup berpengaruh dalam Asy’ariyah sampai detik ini adalah al-Ghazali. Tokoh yang satu ini pada mulanya menempuh jalan pengikut Muktazilah, tapi dia kemudian banting kemudi ke Sunni, karena frustasi tidak mendapat kebenaran yang dicari. Ternyata kebenaran itu ditemukan melalui kemudi Asy’ariyah. Sehingga, lahirlah ilmu tasawuf dengan kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din.
Sebagai penutup, aliran-aliran tersebut, baik Muktazilah, Khawarij, dan Asy’ariyah, sama-sama memiliki kekurangan. Tapi, Khawarij, bagi saya, yang lebih baik dihindari, karena efek negatifnya jauh lebih besar. Nilai-nilai kemanusiaan akan dikorbankan demi sebuah kepentingan.
(Khalilullah)