Bahaya Konservatisme Islam Dalam Dunia Pendidikan
Salafusshalih.com – Tidak sedikit umat muslim yang tersandera fanatisme terhadap sesuatu. Tak terkecuali dalam hal pendidikan, sebagian besar umat Islam masih mengutamakan nilai-nilai tradisional—konservatif—bahkan penolakan terhadap modernitas bukan isapan jempol belaka. Konservatisme ibarat ruangan nyaman yang penuh fasilitas, dan umat Islam dibiarkan tinggal di dalam ruangan yang disebut sebagai surga dan menjadikannya merasa nyaman.
Kenyamanan itu menghipnotis dan meninabobokan mereka sehingga ketika mereka tersadar dan terbangun dari tidurnya lalu keluar dari ruangan tersebut mereka melihat bahwa ruangan yang dianggapnya surga ternyata sangat kumuh dan kotor. Umat Islam telah tertinggal jauh karena dunia telah berubah dan berkembang dengan sangat pesat. Dengan demikian, konservatisme tidak saja menghambat perkembangan umat Islam, tapi menjadikan umat Islam mundur secara perlahan.
Umat Islam harus segera disadarkan, dan cara paling pasti untuk menyadarkan dan mengejar ketertinggalan adalah melalui pendidikan. Penolakan terhadap modernitas tidak boleh ada lagi, umat Islam harus mengitegrasikan dirinya dengan perkembangan zaman.
Fazlur Rahman (1995) mempertegasnya bahwa selama ini, tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akhirat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu untuk menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam.
Reorientasi Pendidikan Islam
Langkah awal untuk memulai gerakan pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam adalah dengan menentukan tujuannya. Saihu (2020) menguraikan secara sederhana namun sarat akan makna tentang tujuan pendidikan Islam. Menurutnya, tujuan pendidikan Islam adalah untuk menumbuhkan kesadaran manusia agar menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah hanya kepada Allah Swt sebagai perwujudan akan tugas menjadi khalifah di muka bumi guna mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Umat Islam akan berhasil menjawab tantangan zaman ketika mereka mampu menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Dengan kata lain, umat Islam harus berpikir inklusif—terbuka—terhadap perkembangan zaman dan tidak tersandera pada cara pandang yang ekslusif, tertutup. Sikap adaptif itulah yang kemudian akan menjadikan umat Islam mampu menyusul ketertinggalannya.
Fazlur Rahman (1995) menawarkan tiga pendekatan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Pertama, mengislamkan pendidikan sekuler. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menerima pendidikan sekuler modern yang telah berkembang pada umumnya di Barat dan mencoba untuk “mengislamkannya” yaitu mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Dengan kata lain, menyisipkan nilai-nilai keislaman agar dapat terinternalisasi dalam diri setiap umat Islam sehingga umat Islam tidak lantas menjadi sekuler.
Kedua, dengan menyederhanakan silabus-silabus tradisional. Rahman hendak mengatakan bahwa materi-materi tambahan yang sebenarnya tidak perlu sebaiknya tidak dipelajari. Dan terakhir dengan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru (Fazlur Rahman, 1995). Hal ini dapat dipahami sebagai upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern agar kualitas pendidikan Islam lebih bermutu.
Modernisasi Pendidikan Islam
Modernisasi dapat dipahami sebagai proses perubahan dari cara pandang tradisional menuju cara pandang yang lebih maju, modern. Modernisasi akan melahirkan sikap adaptif, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, dan sikap itulah yang akan menghantarkan umat Islam kembali pada masa kejayaannya, the golden age of Islam.
Terdapat dua cara yang dianggap paling efektif untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam. Pertama, tujuan pendidikan Islam yang sebelumnya bersifat defensif dan cenderung berorientasi hanya pada kehidupan akhirat harus dirubah. Tujuan pendidikan Islam harus diorientasikan kepada kehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada al-Qur’an.
Di samping itu, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus dihilangkan (Fazlur Rahman, 1995). Pengkajian terhadap suatu ilmu pengetahuan harus dilakukan secara komprehensif, historis, dan sistematis agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Selain itu, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus diubah. Tidak boleh ada lagi anggapan-anggapan bahwa ilmu-ilmu yang diproduksi oleh Barat pasti salah. Sebab menurut Rahman, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya (Fazlur Rahman, 1995).
Cara kedua untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam dengan membenahi sistem pendidikan Islam yang terdikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Seperti telah disinggung sebelumnya, yaitu dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Fazlur Rahman, 1995). Metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh Rahman itu pernah diimplementasikan pada masa keemasan Islam dan terbukti berhasil.
Jika proses modernisasi pendidikan Islam berhasil dilakukan maka akan lahir pelajar-pelajar Islam yang berkualitas, memiliki mutu yang tinggi yang kemudian akan membentuk masyarakat madani -sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin antara keseimbangan antara kebebasan individu untuk stabilitas masyarakat.
Namun, proses ini tergolong sulit bila hanya dikerjakan oleh sekelompok orang. Oleh karena itu, setiap umat Islam dari berbagai lapisan masyarakat harus melibatkan diri dalam upaya memodernisasi pendidikan Islam sehingga umat Islam dapat menyusul ketertinggalannya.
(Rezza Alviansyah)