Indikator Moderasi Beragama Dalam Fenomena Populisme Islam
Salafusshalih.com – Istilah ‘Moderasi Beragama’ hingga saat ini terus digaungkan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama RI sebagai tolok ukur kehidupan antar umat beragama di tanah air. Keragaman Nusantara seperti, suku, budaya, bahasa, dan daerah menjadi alasan kuat agar umat beragama, terutama Islam, tetap hidup dalam nuansa kerukunan dan penuh nilai-nilai toleransi.
Tapi ternyata istilah yang kembali dipelopori oleh Menteri Agama RI 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin tersebut masih belum diterima sepenuhnya oleh beberapa kelompok agama. Alasannya beragam, namun menjurus pada satu titik jawaban yaitu tidak mempunyai landasan dalam kitab suci. Meski demikian apabila melihat dari indikator-indikator moderat, mereka pun mengklaim diri melakukan hal serupa, yakni berlaku adil dalam kehidupan sosial dan menjunjung nilai-nilai persaudaraan.
Tidak sedikit pula yang mengklaim hal demikian tapi tetap menyisipkan doktrin-doktrin eksklusif terhadap jamaahnya. Dalam organisasi masyarakat (ormas) Islam misalnya, ada beberapa elemen kecil yang mengaku berlaku adil terhadap sesama manusia, namun seperti bersikap diskriminatif terhadap di luar keyakinan mereka. Padahal pemebentukan sikap moderat salah satu tujuannya adalah mereduksi cara pandang demikian, karena hanya akan merusak kesatuan bangsa.
Maka penting kiranya untuk kembali memaknai indikator-indikator kelompok atau pribadi yang disebut moderat. Khususnya dalam kehidupan beragama umat Islam, agar tidak ada kesalahpahaman dalam menafsirkan istilah itu.
Moderat dan Wasathiyah
Kata ‘moderat’ mengalami perkembangan pemaknaan sejak dipublikasikan secara luas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Istilah tersebut untuk pertama kalinya menjadi penting dibahas pasca tragedi 911 di Amerika Serikat. Ancaman teroris pertama dalam skala internasional diperkenalkan di tanah Paman Sam dan kebetulan simbol Islam turut dipermasalahkan.
Presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush mengumumkan perang dunia terhadap aksi teror berkedok ajaran agama. Ia pun meminta kerja sama dari masyarakat muslim lainnya untuk merumuskan sebuah pandangan yang diistilahkan secara global yaitu moderatisasi dalam beragama. Kemudian dimunculkan pula term moderat Islam. Dalam analisa masyarakat umat Islam di Amerika Serikat saat itu menganggap term tersebut menggambarkan Islam dalam wajah yang kaku.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi penolakan itu, seperti kebijakan moderatiasi yang sangat bersifat politis dan keberpihakan pemerintah Amerika Serikat terhadap kedaulatan negara Israel. Masyarakat Islam menyebut term moderasi tidak akademik, tidak religius, tapi sangat politis. Pengembangan istilah moderasi beragama sempat stagnan serta tidak menunjukkan kemajuannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Tapi lambat laun term itu mulai mendapat positioning yang tepat saat dipersepsikan sesuai dengan istilah Wasathiyah dalam ajaran Islam. Wasathiyah diambil dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’aala dalam surah Ali Imran ayat 110, ummatan wasathan (umat yang adil atau seimbang). Jika dilihat dari arti moderat dan wasathiyah, maka akan menemukan titik kesamaan yakni sikap yang selalu mengambil jalan tengah, tidak terlalu ke kiri dan tidak juga monoton ke kanan.
Dalam buku Moderasi Beragama yang dikeluarkan Kementerian Agama RI, sikap moderat ibarat bandul jam yang bergerak dari pinggir kanan ke kiri tapi selalu menuju pusat atau sumbu. Terus bergerak dan tidak dalam keadaan diam statis. Jika ditafsirkan bahwa kehidupan moderat mengambil pengetahuan yang ada di kanan dan kirinya, bukan diam menerima begitu saja dari salah satu sisi.
Seperti term moderasi beragama yang mengalami pergumulan nilai dalam kehidupan masyarakat, hal serupa juga didapati dalam penafsiran istilah ummatan wasathan. Menurut pengamatan Prof. Ahmad Najib Burhani, cendikiawan Muhammadiyah, pada awal-awal penafsiran al-Qur’an istilah tersebut diartikan ‘komunitas yang adil’ atau ‘golongan yang adil’.
Memasuki abad ketujuh sampai kesembilan (masih terkait analisa Prof. Ahmad Najib Burhani), ummatan wasathan diterjemahkan sebagai ‘umat yang seimbang’, dikenal juga sebagai umat tengahan. Karena saat itu umat Islam hadir sebagai penengah serta menyeimbangkan hubungan antara umat Nasrani dan umat Yahudi yang sering bertikai karena klaim kebenaran ajaran masing-masing. Penerjemahan yang lain dipaparkan pula oleh salah satu mufasir Indonesia, Buya Hamka. Dalam Tafsir Al-Azhar disebutkannya bahwa ummatan wasathan adalah keadaan tidak berada dalam dua kutub ekstrim, tidak eksesif dan tidak ghuluw (berlebih-lebihan).
Penafsiran pada tahun 1373 Hijriyah dan seterusnya, Wasathiyah menjurus dalam pengertian ‘umat terbaik’ atau ‘umat yang unggul’. Makna itu sesuai dengan situasi ketika umat Islam dalam masa kejayaannya memimpin dunia. Penafsirannya berubah saat memasuki masa kemunduran pasca runtuhnya dinasti Turki Utsmani. Salah satu penafsirnya adalah Sayyid Qutb yang menafsirkan istilah tersebut sebagai pendorong agar umat Islam kembali memimpin setiap bangsa, ikut dalam politik praktis dan berupaya menegakkan syariat Islam.
Sementara dalam kehidupan bangsa Indonesia kekinian, ummatan wasathan dihadirkan dengan penafsiran yang lebih ramah serta memegang simpul cinta tanah air. Seperti yang dimaknai oleh dua ormas Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya menjamin representasi Islam Wasathiyah dengan komitmen menjaga identitas keindonesiaan yang berpondasikan keberagaman. Islam Wasathiyah atau Islam moderat yang ditampilkan haruslah tergolong sebagai umat tengahan dengan tetap memajukan keadaban.
Corak Moderasi Beragama
Fenomena populisme Islam yang memuncak sejak tahun 2016 silam telah melahirkan berbagai penafsiran dalam hal kehidupan beragama. Munculnya kelompok yang menolak sepenuhnya cara pandang kehidupan masa sekarang jika tidak dilandasi dalil serta riwayat hidup pada masa salafus shalih. Terkadang membuat sebagian masyarakat muslim merasa serba salah apabila harus terus berdebat untuk melayani pandangan konservatif, tetapi populisme Islam juga menunjukkan adanya ghirah yang semakin positif dalam kehidupan beragama.
Untuk mengaitkannya dengan moderasi beragama sebagai jalan kehidupan sosial umat beragama di Indonesia, maka perlu mendudukkan terlebih dahulu indikator-indikatornya. Dikutip dari buku Moderasi Beragama, setidaknya ada empat indikator penting yang sesuai dengan corak kehidupan di tanah air, yakni Komitmen Kebangsaan, Toleransi, Anti-Kekerasan, dam Akomodatif Terhadap Kebudayaan Lokal. Namun untuk poin terakhir, masih dapat didiskusikan kembali bahwa apakah terbukti seseorang yang semakin akomodatif terhadap tradisi lokal akan semakin moderat dalam beragama.
Sosialisasi terkait narasi moderasi beragama masih menjadi pokok pembicaraan rutin antar kelompok lintas iman, khususnya dalam jurusan Studi Agama Agama. Kampus-kampus Islam Negeri juga telah meletakkan mata kuliah moderasi beragama atau sejenisnya sebagai pelajaran umum. Upaya itu tentu akan mengembalikan marwah kampus Islam sebagai wadah lahirnya pemikiran Islam Indonesia yang beragam dan universal.
Sementara di tingkat pemerintahan Indonesia, gagasan moderasi beragama dirumuskan secara komprehensif sejak Lukman Hakim Saifuddin menjabat sebagai Menteri Agama dalam kabinet Jokowi-Jusuf Kalla. Pada saat itu, ia mengupayakan agar moderasi beragama menjadi bagian dari cara pandang pemerintah dalam merencanakan pembangunan nasional dan pembangunan sumber daya manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, sosialisasi terus digencarkan ke semua kelompok agama di Indonesia. Walapun Indonesia bukan negara agama, tapi nilai-nilai luhur dalam ajaran agama perlu menjadi inspirasi dalam membentuk moral, karakter bangsa, lebih berbudaya dan beradab sesuai falsafah Pancasila.
(Andi Novriansyah Saputra)