Islamofobia Tak Ada di Indonesia, Hanya Isu Fabrikasi dan Politisasi
Salafusshalih.com – Beberapa waktu yang lalu, pemerintah diserang oleh isu Islamofobia. Tempo hari narasi Islamofobia mencuat pasca-Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyampaikan temuan terkiat 198 pesantren terafiliasi jaringan terorisme. Narasi Islamofobia kembali muncul pasca rencana pemetaan masjid radikal yang digaungkan oleh Polri dan Kemenag. Terbaru, gonggongan anjing ala Menag Yaqut juga bikin gaduh negara, dianggap maraknya islamofobia.
Apa sih sebenarnya Islamofobia itu? Pemahaman yang sahih terkait istilah ini penting agar kita tidak mudah terjebak ke dalam asumsi dan persepsi yang menyesatkan. Pemahaman yang salah membuat kita mudah menuding pihak lain anti-Islam atau Islamofobia. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Merujuk pada pendapat Zafar Iqbal dalam bukunya Islamophobia; History, Context, and Deconstruction, Islamofobia merupakan fenomena kebencian atau sikap anti terhadap Islam yang melatari sikap diskriminatif bahkan persekusif terhadap komunitas muslim. Menurut Iqbal, Islamofobia ialah penyakit sosial akut yang muncul karena kesalahan persepsi dalam memandang entitas asing. Islamofobia muncul dari cara pandang yang menganggap Islam sebagai musuh dan ancaman.
Ditinjau dari konteksnya, Iqbal menilai bahwa Islamofobia terutama di dunia Barat (Eropa dan Amerika) dilatari oleh peristiwa teror 11 September 2001 di Amerika Serikat. Peristiwa kelam itu seolah menjadi momentum memuncaknya sentimen kebencian masyarakat Barat terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Apa pun yang berhubungan Islam akan dikonotasikan dengan terorisme. Islamofobia menurut Iqbal telah menjadi problem akut di kalangan masyarakat Barat saat ini.
Tidak ada Islamofobia di Indonesia
Jika merujuk pada definisi di atas, maka pada dasarnya tidak ada fenomena Islamofobia di Indonesia. Indonesia seperti kita tahu merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim. Di negeri ini, Islam dan komunitas muslim mendapat hak istimewa sebagai warga negara kelas satu. Segala kepentingan umat Islam, baik dalam hal peribadatan maupun menyangkut urusan sosial, ekonomi, politik, dan budaya diakomodasi oleh negara. Di tengah kondisi yang demikian itu, mustahil ada pihak-pihak yang takut apalagi anti-Islam.
Maka, bisa disimpulkan bahwa narasi Islamofobia itu sengaja difabrikasi alias diciptakan oleh pihak tertentu, terutama kelompok Islam radikal yang memang membenci pemerintah. Narasi Islamofobia sengaja didengungkan dan diamplifikasi dengan mendeskreditkan kebijakan pemerintah. Saban kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan agama (Islam), saat itu pula narasi Islamofobia dipastikan akan mencuat.
Misalnya saja ketika pemerintah membubarkan HTI pada tahun 2017 dan melarang FPI pada akhir 2019 lalu. Saat itu muncul narasi yang menuding pemerintah anti-ormas Islam. Ketika aparat keamanan menangkap para penceramah agama provokatif seperti Nur Sugik, Bahar Smith, Yahya Waloni, Maher Thuwalibi (alm), muncul tuduhan pemerintah mengkriminalisasi ulama. Tempo hari ketika BNPT menyampaikan temuan ihwal 198 pesantren terafiliasi terorisme, mencuat cibiran yang menyebut pemerintah anti-pesantren.
Fabrikasi dan Politisasi Islamofobia
Termutakhir, wacana pemetaan masjid radikal oleh Polri, Kemenag, dan MUI pun disambut dengan munculnya naras Islamofobia. Intinya, setiap kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan bagi kelompok Islam radikal akan dicap sebagai bagian dari Islamofobia. Fabrikasi Islamofobia ini terus menerus direproduksi dengan tujuan mendelegitimasi kebijakan pemerintah. Efeknya ialah lunturnya kepercayaan publik pada pemerintah yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial-politik.
Lebih parahnya lagi, ada sejumlah pihak yang berusaha mempolitisasi isu atau narasi Islamofobia ini demi keuntungan elektoral. Hal ini biasanya dilakukan oleh elite politik yang memiliki kedekatan dengan gerakan radikalisme atau memiliki basis massa di kalangan pemilih muslim konservatif. Politisi sayap kanan tersebut menggunakan isu Islamofobia untuk merawat basis massa pendukungnya serta mencari simpati di kalangan pemilih muslim konservatif.
Ciri khas politisi sayap kanan (ultra-konservatif) ialah menebar politik ketakutan (politics of fears). Mereka selalu berusaha membangun ketakutan kolektif dengan menebar isu bahwa pemerintah bersikap zalim, anti-Islam atau Islamofobia. Di saat yang sama, mereka juga mencitrakan diri seolah sebagai pembela atau pejuang Islam yang akan membebaskan umat dari ketidakadilan dan ketertindasan.
Di sinilah umat Islam harus waspada. Agar tidak mudah terjebak dalam narasi Islamofobia. Umat harus sadar sepenuhnya bahwa kegaduhan akibat isu Islamofobia ini tidak lebih dari fabrikasi dan politisasi. Pada dasarnya tidak ada satu pun pihak yang benci, takut, apalagi anti dengan Islam di negeri ini. Narasi Islamofobia itu diciptakan oleh pihak tertentu, yakni kaum radikal dan kelompok anti-pemerintah dengan tujuan mengadu-domba antara umat dan umara-nya.
(Sivana Khamdi Syukria)