Al Qur'an

Konsep Rahmatan lil Alamin dalam Al Quran: Tafsir Al Anbiya/21:107

Salafusshalih.com – Islam sebagai agama terbesar di Indonesia yang memiliki ajaran kasih sayang dan perdamaian seyogianya mampu memunculkan sikap-sikap toleran, anti-kebencian, anti-kekerasan di tengah masyarakat plural. Namun kenyataannya, berbagai gerakan radikalisme dan juga aksi-aksi kekerasan masih marak terjadi. Kasus bom bunuh diri misalnya yang terjadi di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung pada Rabu (7/12/2022) dan juga bom bunuh diri di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021) masih mewarnai jagad Indonesia.

Ketidakmampuan masyarakat dalam memahami ajaran agama yang dianutnya merupakan salah satu penyebab dari aksi-aksi di atas, sehingga uraian-uraian kedamaian dalam kitab suci cenderung luput dari pemahamannya. Ketidakmampuan semacam ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena dalam konteks keberagaman, al-Qur’an bersikap ambivalensi. Di satu sisi ia memerintahkan untuk berperang dan di sisi lain cenderung menghidupkan ajaran-ajaran kedamaian.

Salah satu upaya dalam menyelesaikannya adalah dengan melihat konteks ayat-ayat qital yang akan penulis bahas dalam tulisan selanjutnya (Re-interpretasi ayat peperangan: Upaya memahami kitab suci secara komprehensif). Namun pada kesempatan ini, penulis hanya akan mengulas konsep rahmat lil ‘alamin dalam al-Qur’an sebagai pijakan awal atas tulisan yang akan datang.

Konsep Rahmat lil Alamin dalam Al Quran

Secara etimologi, kata rahmat atau biasa juga disebut rahmah berasal dari kata rahima-yarhamu -rahmah yang disebutkan sebanyak 338 kali di dalam al-Qur’an, baik dalam bentuk kata kerja lampau sebanyak 8 kali, kata kerja saat ini sebanyak 15 kali, kata kerja perintah sebanyak 5 kali, maupun dalam bentuk kata benda. Adapun kata rah}mah itu sendiri disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 145 kali. Adapun secara terminologis, kebanyakan ulama mengartikan kata tersebut sebagai kelembutan, belas kasih dan kehalusan yang berpadu dengan rasa keibaan. Dari arti kata itu juga, rahmah bisa diartikan ikatan darah, persaudaraan dan juga hubungan kerabat dikarenakan ikatan tersebut lahir dari Rahim yang sama.

Kata rahmah yang digunakan al-Qur’an hampir semuanya subjeknya kepada Allah sebagai pemberi rahmat. Dengan demikian, apapun yang diterima oleh manusia baik itu kebaikan, anugrah maupun kasih sayang, kesemuanya dari Allah swt. Bahkan kesulitan atau musibah yang diberikan juga bagian dari rahmat yang diberikan oleh Allah. Di samping itu, hanya rahmat Allah pula yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat, sebagai berikut:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا مِنْ أَحَدٍ يُدْخِلُهُ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ» فَقِيلَ: وَلَا أَنْتَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي رَبِّي بِرَحْمَة

Terjemahnya

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayub dari Muhammad dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Tidak ada seorang pun yang dimasukkan surga oleh amalnya.” Dikatakan: Tidak juga Tuan, wahai Rasulullah? beliau menjawab: “Tidak juga aku, kecuali bila Rabbmu melimpahkan rahmat padaku.”

Menarik dicatat, hanya satu makhluk Allah yang juga menyandang gelar al-rahim yang tercatat dalam al-Qur’an yaitu nabi Muhammad. Implikasi dari gelar tersebut mengindikasikan perbuatan, perkataan, kepribadian dan juga ajaran yang dibawakannya merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluknya, sebagaimana yang disinggung dalam Qs. al-Anbiya/21:107:

﴿ وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ﴾

Terjemahnya

  1. Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya tafsir al-Munir menyatakan bahwa dalam ayat pendek yang sarat makna ini terdapat dua aspek rahmat. Pertama, aspek ukhrawi yang dimana nabi Muhammad sebagai delegasi Allah yang bertugas untuk menuntun, menyelamatkan dan membebaskan manusia dari segala bentuk kesesatan dan kejahiliyyahan. Kedua, aspek duniawi yang dimana nabi Muhammad membawa ajarannya yang berisikan tentang ajaran-ajaran kedamaian yang menekankan kesamaan hak-hak manusia, sehingga menyelamatkan manusia dari kehinaan, perselisihan, kebencian dan ketertindasan. Kesamaan hak-hak manusia mengindikasikan bahwa makna kata al-‘alamin dalam ayat ini tidak hanya dirasakan oleh orang yang mengikuti nabi Muhammad saja, tapi juga dapat dirasakan oleh seluruh manusia.

Argumen di atas setidaknya memiliki dua landasan. Pertama, terdapat riwayat yang memerintahkan kaum muslim untuk tidak hanya mencintai dan mengasihi sesama Muslim saja (saudara seiman) saja, tapi juga kepada saudara yang tidak seiman sebagaimana yang disyarah oleh al-Nawawi terhadap riwayat berikut:

أَخْبَرَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ حُسَيْنٍ وَهُوَ الْمُعَلِّمُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ

Terjemahnya

Telah mengkhabarkan kepada kami Musa bin Abdur Rahman, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Husain yaitu Al Mua’allim dari Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan bagi dirinya sendiri.”

Landasan kedua, secara etimologi kata ‘alam diartikan sebagai kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup secara sempurna maupun terbatas. Dalam pengertian, baik itu manusia, malaikat, jin, hewan dan tumbuh-tumbuhan mendapat rahmat atas kehadiran nabi Muhammad membawa ajarannya. Hal ini didukung oleh sebuah riwayat yang memerintahkan kita untuk mengasah pisau terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menyembelih hewan. Perintah nabi ini mengindikasikan rahmatnya kepada binatang. Hal serupa dapat kita temukan dalam riwayat lain yang dimana nabi melarang para sahabat untuk memetik bunga sebelum mekar.

Terlepas dari keragaman makna al-‘alamin yang disuguhkan oleh para ulama, dua landasan yang disebut penulis sebelumnya menguatkan argumen bahwa nabi Muhammad sebagai rahmat tidak hanya dapat dirasakan oleh umat Muslim saja tapi juga kepada seluruh manusia.

Sebagai penutup, izinkan penulis mengutip perkataan Mahatma Gandhi yang mengatakan bahwa “Akhlak mulia Muhammad-lah dan bukannya pedang yang mengantarkan umat Islam berjaya”. Wallahu a’lam.

(Muh. Azka Fazaka)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button