Masalah Relokasi Lahan Tuai Pro dan Kontra, Ini Hukum Penggusuran Tanah Dalam Islam
Salafusshalih.com – Belakangan ini ramai diperbincangan konflik perihal rencana pemerintah untuk merelokasi tanah warga guna mengembangkan investasi menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi. Merespon hal demikian, negara semestinya hadir sebagai pemeran utama guna membangun kebijakan yang berorientasi terhadap rakyat.
Termasuk di antaranya agar tanah berperan dan berfungsi sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi serta dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Karena tanah merupakan wasilah untuk pemenuhan hak-hak asasi manusia. Dalam Al-Qur’an Allah Swt. berfirman:
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْداً وَسَلَكَ لَكُمْ فِيْهَا سُبُلاً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّماءِ مَاءً فَأَخْرَجْنا بِهِ أَزْوَاجاً مِنْ نَبَاتٍ شَتَّى
Artinya: “(Dialah Tuhan) yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan dan meratakan jalan-jalan di atasnya bagimu serta menurunkan air (hujan) dari langit.” Kemudian, Kami menumbuhkan dengannya (air hujan itu) beraneka macam tumbuh-tumbuhan.” (Q.S. Thaha [20]: 53)
Mufasir klasik kenamaan Imam Fakhruddin Ar-Razi (wafat 606 H) dalam At-Tafsir Al-Kabir menjelaskan maksud ayat di atas:
الْمُرَادُ مِنْ كَوْنِ الْأَرْضِ مَهْدًا أَنَّهُ تَعَالَى جَعَلَهَا بِحَيْثُ يَتَصَرَّفُ الْعِبَادُ وَغَيْرُهُمْ عَلَيْهَا بِالْقُعُودِ وَالْقِيَامِ وَالنَّوْمِ وَالزِّرَاعَةِ وَجَمِيعِ وُجُوهِ الْمَنَافِعِ
Artinya: “Yang dimaksud dengan keberadan bumi sebagai hamparan yang telah Allah ciptakan adalah sekiranya manusia dan makhluk lainya dapat beraktifitas dengan duduk, berdiri, tidur, bercocok tanam, dan melakukan segala hal yang bermanfaat.” (Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Al-Hasan bin Al-Husain Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib [Beirut: Dar Al-Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi], vol. 22, h. 60)
Etika dan Ketentuan Penggusuran Tanah Yang Harus Diperhatikan
Imam Al-Mawardi (wafat 450 H) dalam Al-Ahkam As-Shulthoniyyah menceritakan bahwa tatkala Khalifah Umar bin Khathab Ra. memegang tampuk pemerintahan, beliau mencanangkan proyek pemugaran dan perluasan Masjidil Haram. Untuk tujuan ini, rumah-rumah dan lahan-lahan di sekitar masjid harus dibebaskan.
Bahkan beliau memerintahkan pembongkaran secara paksa terhadap bangunan yang enggan dijual oleh pemiliknya, meski begitu Khalifah tetap memberikan ganti rugi yang layak. Begitupula peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan Ra. (Abi Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Bahsri Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Shulthoniyyah [Kairo: Dar Al-Hadis], vol. 1, h. 246)
Tindakan kedua khalifah ini secara implisit menunjukkan bahwa meskipun seseorang memiliki hak sepenuhnya dalam menentukan keputusan untuk menjual atau tidak menjual tanah miliknya, namun tatkala terdapat kepentingan umum yang dipandang memiliki nilai maslahat lebih, diperkenankan bagi pemerintah untuk memaksa agar mau menjualnya dengan harga yang sepadan.
Namun demikian, kewenangan pemerintah harus tetap berada dalam bingkai rambu-rambu syari’at sebagaimana telah dirumuskan dalam tatanan fikih klasik. Sehingga dalam menjalankan tindakan politisnya, pemerintah tidak boleh begitu saja mengambil sebuah tindakan dengan dalih kemaslahatan umum, tanpa mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya. Karena kebijakan pemerintah harus berorientasi terhadap kemaslahatan publik. Hal ini ditegaskan oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nadzair:
وَوَلِيُّ الْأَمْرِ مَأْمُورٌ بِمُرَاعَاةِ الْمَصْلَحَةِ
Artinya: “Penguasa (negara) diperintahkan untuk membuat kebijakan yang mengacu terhadap kemaslahatan.” (Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadzair fi Qawaid wa Furu’ Asy-Syafi’iyyah [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiah], vol. 1, h. 121)
Dalam Islam terdapat beberapa aspek etika dan ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pihak pemerintah saat melakukan penggusuran tanah, yakni: Pertama, harus memastikan dengan betul bahwa tindakan penggusuran tanah tersebut dilakukan guna kepentingan umum, bukan individu maupun golongan.
Kedua, tidak boleh berbuat lalim dan sewenang-wenang yang berdampak merugikan warga yang terkena penggusuran. Ketiga, memberikan kompensasi secara adil dan sepadan dengan nilai kerugian yang dialami warga terdampak penggusuran. Keempat, memperhatikan secara seksama nasib warga pasca penggusuran tanah, jangan sampai terlantar. Kelima, warga diberikan bantuan dan jaminan untuk memulai kehidupan barunya.
Hukum Penggusuran Tanah dalam Tinjauan Fikih
Penggusuran merupakan suatu kegiatan penyediaan tanah yang akan digunakan sebagai penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan cara memberikan ganti rugi yang adil dan memiliki hak. Pihak yang memiliki hak dalam ganti rugi adalah yang menguasai atau memiliki objek tanah. Sedangkan objek dari pengadaan tanah ialah tanah, ruang atas dan bawah tanah, bangunan, tanaman, atau benda yang berkaitan dengan tanah (Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2015).
Menurut tinjauan fikih mazhab Maliki, tindakan penggusuran untuk perluasan infrastruktur serta menggantinya dengan adil pada dasarnya diperbolehkan. Imam Al-Kharsyi Al-Maliki (wafat 1101 H) dalam Syarh Mukhtashar Khalil menuturkan:
إذَا ضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إلَى تَوْسِعَةٍ وَبِجَانِبِهِ عَقَارٌ حَبْسٌ أَوْ مِلْكٌ فَإِنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُ الْحَبْسِ لِأَجْلِ تَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ وَإِنْ أَبَى صَاحِبُ الْحَبْسِ أَوْ صَاحِبُ الْمِلْكِ عَنْ بَيْعِ ذَلِكَ فَالْمَشْهُورُ أَنَّهُمْ يُجْبَرُونَ عَلَى بَيْعِ ذَلِكَ وَيُشْتَرَى بِثَمَنِ الْحَبْسِ مَا يُجْعَلُ حَبْسًا كَالْأَوَّلِ وَمِثْلُ تَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ تَوْسِعَةُ طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَقْبَرَتِهِمْ وَأَخَلَّ الْمُؤَلِّفُ بِتَقْيِيدِ الْمَسْجِدِ بِكَوْنِهِ لِلْجَمَاعَةِ
Artinya: “Ketika masjid dalam kondisi sempit, dan memerlukan relokasi guna perluasan bangunan, sedangkan disekelilingnya terdapat pekarangan rumah ataupun lahan yang dimiliki. Maka diperkenankan untuk membeli lahan tersebut guna perluasan masjid meski sang pemilik menolak untuk menjualnya. Ketika pemilik tidak berkenan menjual atau mencegahnya, maka menurut pendapat yang populer di kalangan Malikiyyah bahwasanya diperbolehkan memaksa sang pemilik untuk menjualnya serta membelinya dengan harga sepadan. Dan sama halnya dengan relokasi masjid ialah pembangunan infrastruktur seperti halnya jalan umum dan makam. Pegarang kitab ini meniadakan kata masjid sebab yang dimaksud ialah hal yang digunakan untuk kepentingan umum.” (Muhammad bin Abdulloh bin Ali Al-Kharsyi Al-Maliki, Syarh Mukhtashar Khalil [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 7, h. 95)
Begitupula, pemerintah diperbolehkan untuk mengintervensi kepemilikan pribadi atas dasar kemaslahatan umum. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili (wafat 2015 M) dalam ensiklopedi fikihnya:
وَكَذَلِكَ يَحِقُّ لِلْدَّوْلَةِ الْتَّدَخُلُ فِيْ الْمِلْكِيَاتِ الْخَاصَّةِ الْمَشْرُوْعَةِ لِتَحْقِيْقِ الْعَدْلِ وَالْمَصْلَحَةِ الْعَامَّةِ، سَوَاءٌ فِيْ أَصْلِ حَقِّ الْمِلْكِيَةِ، أَوْ فِيْ مَنْعِ الْمُبَاحِ وَتَمَلُّكُ الْمُبَاحَاتِ قَبْلَ الْإِسْلاَمِ وَبَعْدَهُ إِذَا أَدَّى اسْتِعْمَالُهُ إِلَى ضَرَرٍ عَامٍ … وَمِنْ هُنَا يَحِقُّ لِوَلِيِ الْأَمْرِ الْعَادِلِ أَنْ يَفْرَضَ قُيُوْداً عَلَى الْمِلْكِيَةِ فِيْ بِدَايَةِ إِنْشَائِهَا فِيْ حَالِ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ، فَيُحَدِدُهَا بِمِقْدَارٍ مُعَيَنٍ، أَوْ يَنْتَزِعُهَا مِنْ أَصْحَابِهَا مَعَ دَفْعِ تَعْوِيْضٍ عَادِلٍ عَنْهَا إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِيْ سَبِيْلِ الْمَصْلَحَةِ الْعَامَّةِ لِلْمُسْلِمِيْنَ
Artinya: “Begitupula berhak bagi negara untuk mengintervensi kepemilikan pribadi atas dasar keadilan dan kemaslahatan umum, baik dalam hal asal kepemilikan, atau dalam mencegah hal yang mubah, dan kepemilikan hal mubah sebelum masuk Islam maupun setelahnya ketika menimbulkan dampak bahaya… Dari sini, pemerintah berhak untuk memberikan batas-batas tertentu pada suatu kepemilikan pada permulaannya dalam konteks tanah terlantar. Atau menggusur lahan dari orang yang memilikinya besertaan dengan memberikan ganti rugi yang setara. Hal ini berlaku jika dilakukan atas prinsip kemaslahatan publik.” (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 6, h. 4581)
Kesimpulan
Berbagai referensi yang telah ditampilkan di atas menyatakan bahwa hukum melakukan penggusuran tanah bagi pihak pemerintah dalam tinjauan fikih ialah diperbolehkan apabila berlandaskan atas kepentingan maslahat yang umum, kepentingan umum disini yaitu kepentingan untuk menghasilkan suatu kemanfaatan atau menghilangkan dampak bahaya bagi mayoritas umat bukan kepentingan kelompok maupun individu.
Dengan demikian, kebolehan ini tidaklah bersifat mutlak sebab di samping itu pemerintah juga harus memperhatikan berbagai aspek etika dan ketentuan yang sudah ditetapkan seperti halnya tidak boleh berbuat lalim dan sewenang-wenang yang berdampak merugikan, memberikan kompensasi secara adil dan sepadan dengan nilai kerugian yang dialami, memperhatikan secara seksama nasib warga pasca penggusuran, memberikan bantuan dan jaminan terhadap warga terdampak penggusuran untuk memulai kehidupan barunya.
Oleh karenanya, tindakan perampasan atau penggusuran tanah secara paksa oleh pemerintah jika tidak mengidahkan aspek-aspek etika dan ketentuan yang berlaku merupakan tindakan semena-mena yang tidak dibenarkan dalam Islam dan hukumnya haram, entah berkenaan dengan perampasan hak milik individu maupun perampasan hak pengelolaan atas tanah tertentu. Dalam hal ini, negara justru harus memperkuat perlindungan terhadap kepemilikan dan daulat rakyat atas tanahnya. Bukan malah menjadikan rakyat sebagai kelompok lemah yang rentan ditindas atas nama pembangunan.
(A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari)