Memahami Konsep Ketuhanan dan Tasalsul atau Infinite Regress

Salafusshalih.com – Bayangkan Anda dan beberapa teman sedang duduk di sebuah kafe, membentuk satu barisan panjang ke arah belakang. Tiba-tiba, seseorang di belakang Anda menyodorkan sebuah botol kosong. Saat Anda menoleh, ternyata ia juga menerima botol tersebut dari orang di belakangnya. Demikian seterusnya hingga akhirnya kita menemukan seseorang yang tidak menerima botol dari siapa pun, melainkan dia sendiri yang membuat dan pertama kali menyerahkannya.
Ilustrasi ini menggambarkan konsep yang dalam ilmu kalam disebut tasalsul atau regresi tak berujung, yang dianggap mustahil oleh para teolog. Tidak mungkin ada rantai penyerahan botol yang berlangsung tanpa titik awal. Harus ada satu sosok yang menjadi permulaan, yaitu pembuat botol itu sendiri.
Konsep ini relevan dalam memahami hubungan sebab-akibat di alam semesta. Jika segala sesuatu yang ada merupakan akibat dari sesuatu sebelumnya, maka akal menuntut adanya satu sebab utama yang tidak bergantung pada apa pun. Jika tidak, kita akan jatuh dalam tasalsul, yakni rantai sebab-akibat yang tidak berkesudahan, yang secara logika tidak dapat diterima.
Oleh karena itu, dalam pandangan teologi, harus ada satu wujud yang keberadaannya tidak bergantung pada sesuatu yang lain, melainkan ada dengan sendirinya. Dialah yang disebut Tuhan, atau dalam istilah filsafat disebut ‘illat al-‘ilal (sebab dari segala sebab). Jika Tuhan masih membutuhkan pencipta, maka ia bukan Tuhan, melainkan makhluk.
Pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?” sebenarnya berangkat dari asumsi keliru bahwa segala sesuatu pasti diciptakan. Padahal, hukum kausalitas hanya menyatakan bahwa setiap akibat pasti memiliki sebab, bukan bahwa segala sesuatu harus memiliki sebab.
Tuhan tidak termasuk dalam kategori akibat, karena Ia adalah sebab utama dari segala sesuatu. Oleh sebab itu, mencari sebab bagi Tuhan adalah kesalahan berpikir, karena berarti kita menempatkan Tuhan sebagai akibat, padahal hakikat ketuhanan justru meniscayakan ketidak-terciptaan.
Segala sesuatu yang sebelumnya tidak ada lalu menjadi ada, pasti memiliki penyebab. Namun, sesuatu yang keberadaannya bersifat niscaya—ada dengan sendirinya tanpa bergantung pada sesuatu yang lain—tidak membutuhkan penyebab. Inilah perbedaan antara makhluk dan Sang Pencipta.
Keyakinan bahwa Tuhan tidak diciptakan bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan hukum akal. Justru, keberadaan Tuhan sebagai sebab pertama adalah solusi logis untuk menghindari tasalsul yang mustahil. Jika kita terus-menerus bertanya siapa yang menciptakan Tuhan, lalu siapa yang menciptakan pencipta Tuhan, dan seterusnya, maka kita akan terjebak dalam regresi tak berujung yang tidak masuk akal.
Maka, untuk menutup rantai sebab-akibat, harus ada satu keberadaan yang tidak disebabkan oleh apa pun—dan itulah Tuhan, yang menjadi sebab dari segala sebab.
(Ulil Abshar)