Mengantisipasi Ancaman Doktrin Neo-Khawarij Yang Menginfiltrasi Rumah Tahfidz
Salafusshalih.com – Belum lama ini, ramai beredar salah satu video kajian Ustadz Arrazy Hasyim yang dinilai memberi stigma buruk terhadap keberadaan rumah-rumah tahfidz di Indonesia. Video itu berisi cuplikan pertanyaan dari salah satu jamaah yang diajukan kepada Ustadz Arrazy Hasyim.
“Saya tadi menangkap isi khutbah yang ustadz sampaikan bahwa ustadz memberi stigma negatif kepada rumah-rumah tahfidz (kepada adik-adik kita yang tengah berjuang menghafal Al-Qur’an).”
Lanjut Ustadz Arrazy Hasyim meluruskan pemahaman jemaah ini dengan mengatakan bahwa beliau tidak mengkritisi rumah tahfidznya. Namun yang dikritisi ialah rumah-rumah tahfidz yang disusupi oleh paham-paham Khawarij. Oleh karenanya, pengajar rumah-rumah tahfidz seperti ini harus memiliki sanad yang jelas. Tidak hanya sanad bacaan, namun juga sanad pemahaman akan ilmu-ilmu agama.
“Yang saya kritik ialah rumah tahfidz yang tidak jelas ustadz dan sanad keimuwannya, sehingga rentan disusupi paham-paham seperti ini. Bapak kira saya bukan orang rumah tahfidz, saya juga penghafal pak, bahkan sampai sekarang saya masih mengulang-ulang hafalan saya,” tegas ustadz Arrazy Hasyim.
Kebanyakan rumah-rumah tahfidz saat ini dibangun oleh orang-orang kaya yang ingin beramal kemudian menggaji ustadz-ustadz yang didatangkan dari luar untuk mengajar di asrama atau pondoknya.
Sering kali proses seleksi untuk memilih ustadz juga ala kadarnya tanpa melihat kecakapan dan sanad yang dimiliki ustadz tersebut. Alhasil, jamak ditemui rumah-rumah tahfidz seperti ini tidak mempunyai tokoh sentral yang kompeten yang mampu mengasuh dan membina anak didiknya.
Ustadz Arrazy Hasyim memiliki pengalaman bahwa suatu ketika ada seorang anak yang dititipkan di salah satu rumah tahfidz, kemudian saat bulan Ramadhan anak ini diberi tugas untuk melakukan praktik kultum oleh pihak sekolah. Dan ternyata sedari awal hingga akhir isi pidatonya menyalahkan amaliah-amaliah yang ada di mushalla itu.
Di lain waktu beliau mendapat cerita dari gurunya, bahwa suatu ketika guru beliau pernah didatangi suatu kelompok, dan mengatakan bahwa rumah-rumah tahfidz seperti ini adalah proyek kami. Tidak lain yang dimaksud “kami” adalah kaum Khawarij alias Salafi-Wahhabi yang suka membid’ahkan dan mengafirkan sesama Muslim.
Minat membaca, belajar dan menghafal Al-Qur’an semakin meningkat di Indonesia. Hal ini ditengarai oleh banyaknya berdiri pesantren, sekolah-sekolah tahfidz, bahkan rumah-rumah tahfidz di sekitar kita. Fenomena hijrah yang selama ini digaungkan juga turut menjadikan spirit untuk mengkaji dan menghafal Al-Qur’an semakin digandrungi. Terlebih dalam dinamika religiusitas kaum masyarakat di perkotaan.
Fenomena seperti ini merupakan peluang bagus bagi kualitas keberislaman masyarakat Indonesia. Hubungan interaksi mereka dengan Al-Qur’an semakin dekat dan erat. Banyak kita temui anak-anak fasih membaca Al-Qur’an di usianya yang masih kecil, bahkan ada juga yang telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an.
Akan tetapi, di sisi lain di tengah menjamurnya sekolah tahfidz atau rumah tahfidz, orang tua harus teliti memilih tempat belajar anak. Mereka harus memastikan bahwa yang diajarkan di sekolah itu sejalan dengan nilai-nilai kebaikan di dalam Islam dan kebangsaan.
Saat ini, marak dijumpai instansi -instansi pendidikan yang mulai menggalakkan program hafalan kepada anak didiknya. Biasanya mereka menjadikan target hafalan anak didiknya sebagai syarat kelulusan. Hal serupa juga terjadi dibeberapa “pesantren” yang menawarkan program percepatan dalam menghafal Al-Qur’an.
Namun secara umum, mereka penyelenggara program ini sering kali abai dengan edukasi terkait keilmuannya. Padahal pemahaman sahih terhadap Al-Qur’an merupakan hal yang sangat penting.
Sebagian besar masyarakat juga berpandangan bahwa jika seseorang telah menghafal Al-Qur’an, maka sudah pasti paham dan mengerti detail ilmu-ilmu agama. Implikasinya, sering kali penghafal Al-Qur’an merasa cukup dan puas dengan hafalan mereka, sehingga enggan untuk mendalami keilmuan agama lagi.
Seiring dengan sabda Rasulullah terkait munculnya kaum Khawarij telah terbukti dengan maraknya orang yang fasih dalam membaca Al-Qur’an, tapi hati dan apa yang mereka amalkan sangat jauh dari akhlak Al-Qur’an.
Tekstualis dan cenderung rigid dalam memahami agama merupakan ciri utama kaum Khawarij. Semangat mereka dalam beribadah tidak perlu diragukan, namun semangat ini tidak diimbangi dengan pemahaman agama yang sahih.
Sejarah juga mengungkap bahwa Ibnu Muljam seorang khawarij yang membunuh sahabat Ali merupakan orang yang fasih dalam membaca Al-Qur’an. Bahkan di masa Umar bin Khattab, dia juga pernah diamanahi menjadi guru tetap di masjid untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Dalam konteks Indonesia, paham berpikir radikal tersebut turut menjangkiti pola berpikir individual maupun beberapa organisasi keagamaan. Fenomena ini perlu diwaspadai. Layak diapresiasi apa yang dilakukan pemerintah dengan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beberapa waktu lalu, sebagai langkah melindungi warganya dari sikap keagamaan yang radikal.
Khawarij juga mengafirkan mayoritas umat Muslim yang moderat dan menuduhnya sebagai pengecut. Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij salah satunya diwakili oleh paham Wahhabi di Arab Saudi pada abad Ke-12 H yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
(Abdillah Amiril Adawy)